KPK Berencana Ambil Alih Penganganan Kasus Jaksa Pinangki

JAKARTA — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan KPK sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung (Kejakgung) soal kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam pusaran kasus korupsi Djoko Tjandra. Namun, Firli juga membuka opsi mengambil alih kasus itu bila tak kunjung selesai.

“Kita sudah koordinasi dengan Kejaksaan Agung, dan kasus itu kita lakukan supervisi untuk penanganan selanjutnya. Tapi kalau tidak selesai, sesuai pasal 10 A bisa kita ambil,” kata Firli di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Senin (31/8).

Sebelumnya, Kejakgung menegaskan, menolak menyerahkan penyidikan tersangka jaksa Pinangki ke KPK. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono menegaskan, agar KPK, tak mencampuri proses penyidikan Korps Adhyaksa dalam mengungkap skandal hukum upaya fatwa bebas untuk terpidana korupsi Djoko Sugiarto Tjandra tersebut.

“Penyidikan masing-masing institusi, mempunyai kewenangan. Jadi tidak ada yang dikatakan inisiatif menyerahkan perkara ke institusi lainnya,” kata Hari saat konfrensi pers di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejakgung, Jakarta, Kamis (27/8).

Menurut Hari, semestinya KPK menengok ‘aturan main’ dalam penanganan kasus. Meskipun KPK, dikatakan Hari sebagai institusi khusus penanganan korupsi, akan tetapi Kejakgung, juga punya koorps penyidikan yang sama.

BACA JUGA :  Detik- detik 3 Tersangka Proyek Kanal Tanggidaa Provinsi Gorontalo Dijebloskan Ke Lapas

“Perlu diketahui juga, kami di Kejaksaan Agung, juga ada penyidik tindak pidana korupsi. Penuntut umumnya, juga ada di sini,” kata Hari menambahkan.

Pernyataan Hari itu merespons Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango yang mengatakan, Kejakgung sebaiknya menyerahkan kasus suap Pinangki kepada KPK.

“Saya tidak berbicara dengan konsep pengambilalihan perkara yang memang juga menjadi kewenangan KPK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019, tetapi lebih berharap pada inisiasi institusi tersebutlah yang mau menyerahkan sendiri penanganan perkaranya kepada KPK,” kata Nawawi.

Secara terpisah, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, KPK bisa menyampaikan pada Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM (Kemenko Polhukam) bila permohonan supervisi terkait kasus Jaksa Pinangki tak direspons Kejakgung. Arsul mengatakan, berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 KPK diberi wewenang untuk melakukan kordinasi dan supervisi khusus dakan penanganan kasus korupsi. KPK bisa mengajukan kewenangan tersebut pada Kejagung.

BACA JUGA :  Polda Gorontalo Tangkap DPO Kasus Pencabulan Anak Tiri di Pohuwato

“Jika Kejakgung tidak merespons dengan baik permintaan kordinasi dan supervisi ini maka bisa KPK menyampaikannya melalui Menko Polhukam,” kata Arsul saat dihubungi Republika.

Dalam hal ini, Kemenko Polhukam merupakan pembantu Presiden yang diberi wewenang termask dalam urusan melakukan kordinasi penegakan hukum diantara institusi-institusi penegakan hukum.

“Kami di Komisi III meminta KPK bekerja konkret dulu untuk bekerja mengajukan koordinasi dan supervisi tersebut dengan Kemenko Polhukam dan Kejagung,” kata Arsul.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai UU KPK yang terbaru, yakni UU Nomor 19 tahun 2019 menyulitkan KPK untuk menangani kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari terkait dugaan suap oleh koruptor Djoko Tjandra.

BACA JUGA :  Detik- detik 3 Tersangka Proyek Kanal Tanggidaa Provinsi Gorontalo Dijebloskan Ke Lapas

“Ini bukti kekemahan UU No.19/2019 UU KPK yang baru yg mengedepankan pendekatan koordinasi, sehingga KPK hanya bisa mengharapkan kasus pinangki diserahkan kepada KPK secara sukarela,” kata Fickar yang dikutip dari  Republika, Jumat (28).

Padahal, kata Fickar, UU KPK yang lama sebelum direvisi, supervisor KPK bisa mengambil alih penanganan korupsi baik di kejaksaan maupun di kepolisian. Pengambilalianh kasus dapat dilakukan jika ada pelambanan, conflict of interest, bahkan jika ada korupsi di dalamnya.

“Dengan komisioner KPK Nawawai Pomolango meminta kepada kejaksaan agar kasus Pinangki diserahkan kepada KPK ini satu indikasi bahwa dalam penanganan kasus tersebut telah terjadi dan tidak memenuhi syarat untuk diambil alih oleh KPK,” kata Fickar menegaskan. (*)

Sumber : republika.co.id