Kampus Gorontalo Darurat Pelecehan Seksual: Tak Cukup Satgas PPKS, Butuh Solusi Tuntas !

Penulis : Cindi Aprilian

Akhir-akhir ini media Gorontalo ramai dengan memberitakan kasus pelecehan seksual yang terjadi didunia perguruan tinggi. Dimulai dengan laporan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Nadhatul Ulama (UNU) Gorontalo atas dugaan pelecehan seksual oleh Rektor UNU Gorontalo Amir Halid yang sejauh ini sudah menerima 12 laporan dari korban yang merupakan staf kampus, dosen, hingga mahasiswi. (CNN Indonesia, 26/04/2024)

Belum usai di kampus UNU Kembali disusul dengan kasus dugaan tindakan penganiayaan dan pelecehan seksual terhadap Wanita di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) oleh seorang oknum dosen Fakultas Hukum berinisial SA dan telah dilaporkan ke polisi. (tvonenews.com, 28/04/2024)

Beberapa kasus serupa ditahun sebelumnya dibulan Oktober juga terjadi di kampus UNG atas dugaan pelecehan seksual oleh seorang oknum dosen terhadap 2 mahasiswi. Dalam beberapa kasus tersebut, korban melaporkan dugaan pelecehan seksual berdasarkan Pasal 6 UU 12/2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).

Kasus ini tak kunjung surut dan justru makin meningkat setiap waktunya. Kasus-kasus serupa merupakan fenomena gunung es, mengingat kasus kekerasan seksual banyak terjadi diranah privat. Tidak semua orang berani melaporkan apalagi membawa kasusnya ke jalur hukum.

Maraknya kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan tinggi tentu menjadi catatan tersendiri, mengingat kampus merupakan tempat berkumpulnya kaum terpelajar. Kasus seperti ini harusnya terminimalisir bahkan terhapuskan dan pelaku harus mendapatkan sanksi tegas agar tak memakan korban-korban selanjutnya.

Tidak Cukup

Pembentukan satgas PPKS menjadi salah satu program yang diupayakan pemerintah sebagai ruang aman pengaduan dan memberantas kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Nyatanya sampai saat ini mengalami berbagai kendala dalam mengoptimalkan tugasnya. Jika sekedar meningkatkan jumlah laporan tindakan pelecehan seksual, maka keberadaan satgas ini benar. Dikarenakan tugasnya yang memberikan kepastian adanya pihak yang siap menerima laporan dan akan menindaklanjuti kasus kekerasan seksual.

BACA JUGA :  Marak Kasus Asusila Guru dan Siswa, Butuh Peran Negara!!

Namun tanpa adanya upaya pencegahan komprehensif yang dilakukan hingga menyentuh masalah akar, dapat dipastikan kekerasan seksual akan meningkat dimana saja, baik dalam lingkungan pendidikan maupun diluar pendidikan, baik ranah publik maupun domestik.

Bagaimana tidak, frasa “sexual consentataupersetujuan seksual yang menjadi landasan PermenPPKS, tepatnya pada klausul pasal 5 ayat (2) huruf I, diduga kuat justru menyuburkan perilaku seks bebas dan perilaku menyimpang lainnya seperti L687. Terbukti dari beberapa kasus viral pelecehan seksualdi kampus, diantaranya terjadi karena aktivitasberpacaran yang islam sendiri telah mengharamkannya. Sungguh aneh ketika aktivitas tersebut dilakukan atas dasar sexual consent atau sukasama suka, justru tidak dipersoalkan ataupundipidanakan. Padalah inilah yang menjadi celah.

Lebih parah lagi makin masifnya aktivitas dan komunitas L687 di Gorontalo yang seolah menjadirahasia umum dan akan terus berkembang seiringmasifnya kampanye penerimaan terhadap komunitas ini yang berlindung dibalik nama HAM. Disisi lain pihak kampus menginginkan terhapusnya kekerasanseksual dengan terus mensosialisasikan Permen PPKS, namun disisi lain justru tetap mengkampanyekansexual consent yang lahir dari asas pemikiran sekuler-liberal. Padahal, nilai rusak ini menjadikan umat muslim berperilaku bebas sesuka hati memperturutkanhawa nafsunya tanpa ada batasan yang jelas atas dasarkebebasan individu.

Terlebih lagi, sanksi yang diberikan kepada pelakukekerasan seksual sama sekali tidak memberikan efek jera. Merujuk pada Pasal 5 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual nonfisik bisa dipidana penjara maksimal 9 (sembilan) bulan dan/atau denda maksimal Rp10 juta. Untuk pelecehan seksual yang bersifat fisik, sanksinya beragam. Mulai dari kurungan penjara selama 4—12 tahun dengan denda Rp50 juta—Rp300 juta.

BACA JUGA :  Marak Kasus Asusila Guru dan Siswa, Butuh Peran Negara!!

Jika melihat dampak bagi individu dan masyarakat, sanksi ini jelas tidak berefek jera bagi pelaku. Akhirnya, besar peluang kasus serupa terus bermunculan di tengah masyarakat. Di sisi lain, sanksi ini tidak bisa mengganti trauma korban akibat pelecehan seksual dan pelaku masih berpeluang melakukan hal serupa. Lantas, bagaimana solusi Islam atas hal ini?

Solusi Mendasar Islam

Islam bukanlah ideologi reaktif yang memunculkan regulasi hanya saat muncul persoalan. Islam memberikan rahmat atas alam semesta melalui hukum-hukum Allah Taala. Sistem Islam memiliki seperangkat aturan khas yang mengatur sistem sosial dan pergaulan secara paripurna disetiap level komunitas masyarakat. Islam memiliki langkah preventif dan sistem sanksi yang berefek jera dan menutup celah terulangnya kasus serupa.

Sebagai Langkah preventif; pertama, islam menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan, baik di ranah publik maupun privat. Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Ini karena kejahatan seksual bisa terpicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’). Selain itu, kehidupan berjamaahantara laki-laki dan perempuan akan diatur terpisahyang dilandasi dengan sebuah pandangan ta’awun(tolong menolong) dan bukan dengan pandanganseksual, baik di sekolah, perguruan tinggi, hingga layanan publik. Tidak akan kita jumpai kasus pelecehan seksual di kampus akibat kehidupan campur baur atau ikhtilat.

BACA JUGA :  Marak Kasus Asusila Guru dan Siswa, Butuh Peran Negara!!

Kedua, sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar. Masyarakat akan saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi segala bentuk kemaksiatan, termasuk di lingkungan kampus. Semuanya akan dilakukan dengan cara yang baik. Pelaporan dan penjagaan berbagai aktivitas maksiat di lingkungan kampus semata karena dorongan kepedulian dan ketakwaan.

Ketiga, dalam aspek i’lamiyah (media dan informasi), negara memiliki peran strategis untuk membangun masyarakat Islam yang kokoh. Tidak akan dijumpai informasi-informasi yang menstimulus bangkitnya naluri seksual berupa tayangan pornografi yang merusak iman dan akhlak masyarakat. Ini juga menjadi jaminan perlindungan bagi mahasiswa dari kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebagaimana kerap terjadi pada media online sekuler kapitalistik saat ini.

Keempat, sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah). Sanksi tegas ini akan berefek jera (zawajir) bagi si pelaku sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumulhisab kelak.

Demikianlah, mahasiswa akan terbebas dari kekerasan seksual hanya dengan menerapkan syariat Islam secarakaffah (Menyeluruh) yang dapat menuntaskan persoalan pelecehan dan penyimpangan seksual , bukan dengan sistem yang lain! Wallahu A’lam Bishawab.[]