Omnibus Law Di Sahkan, Selamat Datang Di Orde Paling Baru!!

Oleh: Bayu Harundja

(Seorang jurnalis yang jarang pulang, dan seorang mahasiswa biasa yang ingin menjadi manusia merdeka)

Kalau ahli hukum tak merasa tak tersinggung dengan pelanggaran hukum, sebaiknya dia jadi tukang sapu jalanan” (Pramoedya Ananta Toer)

Kredit Mobil Gorontalo

MEDGO.ID– Mosi tidak percaya!!! Kami tujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat serta Pemerintah yang saat ini hati nuraninya mati tertutup oleh hasrat membabi buta.

Ada apa dengan negeri kita saat ini? Disaat pandemi menyerang, dimana salus populi suprema lex esto yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun adagium tersebut masih jauh dari apa yang terjadi di negeri kita saat ini.

Hari ini, sore ini, dan seterusnya negara ini tak lagi sama. Semua hal tentang rakyat tak ada lagi yang di pentingkan, yang ada sekarang kepentingan oligarki melalui di sahkannya Rancangan Undang-undang Omnibus Law (RUU Cipta Kerja).

Seperti yang kita ketahui, Rancangan Undang-undang Omnibus Law atau yang lebih kita kenal dengan Undang-undang Cipta Kerja, merupakan undang-undang yang banyak di tolak masyarakat karna merugikan rakyat sendiri.

Jika kita menelaah lebih dalam apa itu omnibus law, dan kenapa omnibus law di tolak banyak kalangan?

Omnibus law sendiri berasal dari bahasa latin yaitu “Omnibus” yang berarti untuk semuanya, sedangkan kata “Law” sendiri yang berarti hukum. Dan jika kita satukan maka Omnibus Law sendiri berarti sebuah regulasi yang menyatukan satu undang-undang dengan undang-undang lainnya.

Dilansir dari Hukumonline.com Omnibus Law atau Omnibus Bill adalah sebuah undang-undang yang mengatur dan mencakup berbagai jenis materi muatan yang berbeda-beda atau mengatur dan mencakup semua hal mengenai suatu jenis materi.

Dengan berdasarkan penjelasan di atas jika kita kaitkan dengan Omnibus Bill yang di terapkan di negara common law seperti Inggris, menurut penulis sendiri sangat bertolak belakang dengan Indonesia yang menganut sistem civil law atau dalam artian menganut sistem hukum Eropa Kontinental.

Omnibus Law sendiri sejak di umumkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Oktober 2019, sudah menjadi perdebatan dalam satu tahun ini.
Mengapa tidak? Banyak kebijakan-kebijakan atau regulasi yang sangat merugikan rakyat itu sendiri.

Dan dalam hal ini yang yang paling dirugikan adalah para buruh itu sendiri. Dalam penerapan UU Cipta Kerja penerapan itu sendiri merugikan parah buruh dengan menerapkan Upah Minimum yang hanya di dasarkan pada UMP (Upah Minimum Provinsi) dan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) serta UMSK (Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota) akan di hapus. Dengan di hapusnya UMK dan UMSK maka upah dengan hasil kerja buruh akan menurun dan merugikan buruh itu sendiri.

Bukan hanya pada upah minimum saja, bagi pekerja yang mengundurkan diri karna pensiun tidak mendapatkan pesangon dan pekerja yang di PHK tidak mendapatkan apa-apa dari perusahaan yang mempekerjakan pekerja tersebut.

Berdasarkan kebijakan-kebijakan itulah banyak buruh yang menolak di sahkannya RUU Cipta Kerja yang merugikan buruh sendiri.

Lantas apa yang membuat DPR ngotot ingin kebut-kebuttan membahas Omnibus Law? Sudah nyata di depan mata, bahwa DPR memiliki kepentingan oligarki melalui pebisnis. Mensejahterakan para pebisnis dengan membuka karpet merah melalui omnibus law dan merugikan para rakyat melalui pekerja buruh yang melarat karena upah minimum.

Dan saat ini kita telah mendengar kabar bahwa sudah resmi RUU Cipta Kerja sudah di sahkan menjadi UU setelah UU Minerba di sahkan.

Selamat datang di orde paling baru, dimana wakil rakyat menjadi wakil kepentingan oligarki. Sudah saatnya kita turun ke jalan, mengangkat megafon dengan meneriakan kata “Lawan” dengan lantang.

Saat ini negeri kita sedang tidak baik-baik saja, hanya orang gila yang mengatakan negeri ini sedang baik-baik. DPR butuh asupan kritik, sudah saatnya kita hujani mereka dengan beribu-ribu kritik.

Meskipun kita gagal menjegal omnibus law untuk di sahkan, mari kita berjuang untuk mendesak DPR dan pemerintah untuk mencabut UU Cipta Kerja sebelum di undangkan. Saatnya berjuang menggugat ke Mahkamah Konstitusi, karena perjuangan belum selesai.

Mosi tidak percaya kami tujukan kepada DPR dan Pemerintah yang merugikan rakyat melalui disahkannya UU bermasalah. Akhir dari penutup tulisan ini penulis ingin mengutip satu adagium hukum “Melius est acciepere quam facere injuriam” yang artinya ebih baik merasakan ketidakadilan, dari pada melakukan ketidakadilan.

Cabut UU Omnibus Law!!