Membedah Pergub PSBB Gorontalo

Oleh : Dr. Duke Arie, SH.,MH.,CLA
(Ketua YLBHI Gorontalo)

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah sebuah solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mencegah melusnya penyebaran Covid 19. Pengaturan PSBB sendiri diatur melalui Pasal 59 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, kemudian diatur lebih lanjut melalui PP Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19. Sejumlah daerah Provinsi/Kabupaten/Kota telah pula menerapkan PSBB atas permohonan PSBB yang diajukan dan telah disetujui oleh Menteri Kesehatan, termasuk hari ini tanggal 4 Mei 2020 Provinsi Gorontalo resmi melaksanakan PSBB berdasarkan Peraturan Gubernur Gorontalo Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Covid 19 yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Gorontalo Nomor 152/33/V/2020 tentang Pemberlakuan Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Covid 19 di Wilayah Provinsi Gorontalo. Namun sayangnya materi dari PERGUB Gorontalo ini berpotensi melanggar sejumlah aturan, membingungkan dan bahkan berpotensi mencabut hak kebebasan seseorang.

Tulisan ini tidak membahas mengenai syarat formiil pengajuan PSBB Provinsi Gorontalo sebab Menteri Kesehatan telah menyetujui Permohonan PSBB ke – 2 yang diajukan Provinsi Gorontalo melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/279/2020 pada tanggal 28 April 2020. Meskipun jika dikaji kembali persyaratan untuk dapat diberlakukannya PSBB tersebut sebenarnya masih belum memenuhi syarat sbab masih kurang persyaratan misalnya masih terdapat kekurangan tenaga medis (Dokter Spesialis Paru masih kurang), di salah satu kabupaten yakni di Kabupaten Gorontalo Utara bahka masih zona hijau karena belum ada pasien positif Covid 19. Bahkan kemarin Ketua Gugus Nasional menjelaskan bahwa Gorontalo termasuk dari 14 Provinsi yang dinyatakan negatif peningkatan penyebaran Covid 19.

Mengenai evaluasi pelaksanaan PSBB di daerah-daerah, Pemerintah Pusat Melalui Menkopolhukkam Prof. Mahfud MD bahkan akan memodifikasi PSBB yang dirasa terlalu mengekang masyarakat sehingga perlu ada relaksasi PSBB. Sebab jika terlalu dikekang masyarakat akan stres dan menyebabkan imun tubuh seseorang akan melemah. Namun tidak demikian dengan PSBB di Gorontalo yang justru semakin diperketat. Hal ini berpotensi bertentangan dengan peraturan perudang-undangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum, yakni seperti memberlakukan batas waktu masyarakat beraktivitas, pengaturan moda transportasi yang membingungkan, kesalahan penulisan pasal, sehingga untuk itu perlu dilakukan review terhadap materi muatan yang ada didalam Pergub tersebut.

BERTENTANGAN DENGAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 9 TAHUN 2020

PSBB Gorontalo yang mengatur tentang Pembatasan Kegiatan di Tempat atau Fasilitas Umum yang menjadi permasalahan adalah pada Pasal 13 ayat 4 yang menyatakan “Kegiatan penduduk di tempat umum yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dari pukul 06.00 wita sampai dengan pukul 17.00 wita”. Pembatasan waktu dari jam 06.00 wita sampai dengan pukul 17.00 wita juga berlaku untuk melayani Pemenuhan kebutuhan penduduk selama pemberlakuan PSBB, Pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan, Pemenuhan kebutuhan terhadap layanan zakat, infaq dan sedeqah, Pemenuhan kebutuhan petugas penanganan Covid 19, dan Pemenuhan Kebutuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan (HHBK) dan perikanan dilakukan oleh petani, nelayan, pelaku usaha pengolahan hasil pertanian/peternakan/kehutanan (HHBK)/perikanan serta pendamping teknis lapangan.

Pembatasan waktu ini tidak mengikuti ketentuan atau bertentangan dengan pasal 13 ayat 6 PMK Nomor 9 tahun 2020 yang menyatakan “Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan dalam bentuk pembatasan jumlah orang dan pengaturan jarak orang”. Jelaslah bahwa pengaturan mengenai pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum bersifat limitatif yakni hanya mengatur pembatasan jumlah orang dan pengaturan jarak orang, bukan pembatasan waktu beraktivitas sebagaimana diatur dalam Pergub tersebut.
PMK Nomor 9 Tahun 2020 adalah merupakan peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh seluruh Pemerintah Daerah dalam menyusun Peraturan PSBB di daerahnya masing-masing. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 PMK Nomor 9 Tahun 2020 yang menyatakan “Dalam hal PSBB telah ditetapkan oleh Menteri, Pemerintah Daerah WAJIB melaksanakan dan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Diantaranya adalah UU tentang Hak Asasi Manusia, PMK 9 Tahun 2020, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Bahkan PMK 9 Tahun 2020 ini tercantum sebagai konsideran sebagai dasar hukum pembentukan Pergub Gorontalo Nomor 15 Tahun 2020 pada poin ke 17.

Sebagai perbandingan kita sandingkan dengan Pergub PSBB DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 pada bagian pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum Pasal 13 ayat 1 menyebutkan “Selama pemberlakuan PSBB, penduduk dilarang melakukan kegiatan dengan JUMLAH LEBIH DARI 5 (lima) orang di tempat atau fasilitas umum”. Pergub PSBB Jawa Timur Nomor 18 Tahun 2020 tidak mengatur pembatasan waktu setiap penduduk untuk beraktivitas. Pergub Jawa Barat Nomor 30 Tahun 2020 tentang PSBB di sejumlah kabupaten/kota di Jawa Barat juga tidak mengatur pembatasan waktu akan tetapi mengatur jumlah orang beraktivitas di tempat atau fasilitas umum.

Sehingga atas dasar ketentuan dan pertimbangan sejumlah Peraturan PSBB di beberapa daerah terlihat bahwa PSBB Gorontalo yang mengatur pembatasan waktu dari jam 06.00 sampai dengan 17.00 untuk beraktivitas tidak memiliki legal reasoning dan legal standing yang kuat sehingga hal ini dapat dinilai bertentangan dengan PMK Nomor 9 Tahun 2020. Hal ini akan berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yakni hak setiap orang untuk secara bebas bergerak, berpindah, hak untuk berkumpul, berapat dan berserikat sebagaimana diatur dalam UU Hak Asasi Manusia. Dengan adanya pengatutran batas waktu ini semua orang jadi kehilangan kebebasan untuk beraktivitas, berkumpul, bergerak, diatas jam 17.00 sampai dengan jam 06.00. Padahal hak asasi tersebut wajib dilaksanakan oleh Pemerintah daerah sebagaimana Pasal 12 PMK 9 Tahun 2020 namun tetap dengan memperhatikan dan menerapkan Protokol Pencegahan Covid 19. Sehingga pemenuhan hak asasi manusia tetap terjamin namun disisi lain Protokol Pencegahan Covid pada tempat dan fasilitas umum tetap dilaksanakan.

PENGATURAN MODA TRANSPORTASI YANG MULTI INTERPRETASI

Berawal dari pertanyaan wartawan kepada Gubernur yang menanyakan kalau ada suami istri berboncengan apakah boleh ? Lalu Gubernur menjawab tidak boleh, ada ojek online (Ojol). Dari persitiwa ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan kebingungan dikalangan warga, sebenarnya aturanya bagaimana ? Mengapa suami istri tidak boleh berboncengan ? Lalu mengapa dengan Ojol boleh?. Bukankah Ojol sepeda motor juga. Pergub PSBB Gorontalo yang mengatur hal tersebut ada di Pasal 21 ayat 5 huruf b yang menyebutkan “Pengguna Sepeda Motor dinas dan/atau pribadi termasuk Bentor yang digunakan untuk kepentingan pribadi wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut : b. tidak mengangkut penumpang/berboncengan”.
Lalu kemudian kenapa Ojol boleh. Disini kemudian letak kebingungannya. Pengaturan mengenai Ojek Online (Ojol) atau disebut juga angkutan beraplikasi diatur melalui Pasal 21 ayat 6 yang menyatakan “Angkutan roda dua berbasis Aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang”. Lantas Ojek Online (Ojol) yang dimaksud Pak Gubernur ini Ojol yang mana? Sebab dari Pasal 21 yang mengatur tentang Moda Transportasi hanya Pasal 21 ayat 6 yang mengatur tentang Ojol (angkutan roda dua berbasis aplikasi), selebihnya tidak ada mengatur tentang Ojek Online. Kalau yang dimaksud Ojol adalah Pasal 21 ayat 6 ini maka tetap saja si istri tersebut tidak bisa naik Ojol karena Ojol hanya dibatasi penggunaannya untuk pengangkutan barang.

Seharusnya hal ini tidak akan terjadi jika kita mengacu pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, diantaranya asas kejelasan rumusan. Pada penjelasan Pasal 5 huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya”. Apa yang terjadi pada rumusan pasal 21 Pergub ini terbukti pada prakteknya menimbulkan multi interpretasi atas apa yang dimaksud dengan Ojol tersebut, sehingga pembuat peraturan harus benar-benar hati-hati dalam merumuskan suatu pasal agar tidak terjadi multi interpretasi dikemudian hari.

Review ini dilakukan atas niat baik sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan masukan dan perbaikan kepada Pemerintah agar menjadi lebih sempurna lagi. [ ]