Banjir Jakarta Dari Masa Ke Masa

Oleh : Ilham Bintang

Sahabat FB yang kembali hadapi banjir harap bersabar, banyak berdoa sambil waspada bahaya aliran listrik. Serta waspada terhadap ancaman yang berbahaya lainnya.

Ada diskusi menarik. Kenapa di Jakarta sekarang sering/ gampang banjir?
Sebenarnya Jakarta dari dulu seperti ini. Sekurangnya saya pernah alami di akhir 70 an, waktu tinggal di Tomang, Jakarta Barat. Setiap hujan deras turun, setiap kali itu pula tempat tinggal kami terendam banjir 1 hingga 2 meter tingginya.
Juga di daerah lain. Di tahun – tahun itu, mobil saya malah sempat hanyut di depan Istana Merdeka. Baru pertama merasakan mobil lepas kendali, terapung-apung di atas air setinggi setengah meter. Kejadian itu subuh hari, sepulang antar kawan ke bandara Kemayoran.

Kredit Mobil Gorontalo

Tahun 70 an ada sebuah artikel tentang Jakarta yang memenangkan sayembara penulisan yang diselenggarakan Pemda DKI.
Tulisan itu sudah membayangkan keadaan Jakarta 25 tahun ke depan. Tahun itu saja penulis mengatakan Jakarta sudah tak layak ditinggali. Air tanah yang kita gunakan setiap hari sudah bercampur dengan air tinja.

Jakarta waktu dibangun memang hanya untuk didiami 800 ribu jiwa penduduk.

Mengutip dari OkeZone yang mengutip data dari berbagai sumber, inilah banjir terparah yang pernah melanda Jakarta. Masih di zaman Belanda, bangsa yang dianggap ahli mengendalikan air.

1872

Beberapa tahun setelah Belanda mendarat, pemerintahan kolonial sudah merasakan rumitnya menangani banjir di Batavia. Banjir besar pertama kali mereka rasakan di tahun 1621, diikuti tahun 1654 dan 1876.

Banjir besar gara-gara hujan turun dengan curah 286 milimeter, menyebabkan Ciliwung meluap, pintu air di depan lokasi yang sekarang menjadi masjid Istiqlal jebol. Kota Tua terendam, mulai dari kawasan Harmoni.

1918
Kesadaran perlunya diambil tindakan penanggulangan banjir sudah ada sejak lama. Hal itu menyusul banjir pada 1918 di Jakarta yang melumpuhkan Batavia. Gubernur Jenderal Batavia Jan Pieterszoon Coen, sampai menunjuk arsitek khusus untuk menangani banjir ini. Banjir waktu itu merendam permukiman warga karena limpahan air dari sungai Ciliwung, Cisadane, Angke dan Bekasi.

Prof. Ir. Herman Van Breen, seorang guru besar berkebangsaan Belanda, pada saat itu merencanakan satu konsep yang lebih strategis dalam menanggulangi banjir. Konsepnya adalah berusaha mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota.

Akibat banjir, sarana transportasi, termasuk lintasan trem listrik terendam air. Dua lokomotif cadangan dikerahkan untuk membantu trem-trem yang mogok dalam perjalanan. Banjir pada tahun itu merupakan yang terparah dalam dua dekade terakhir.

1979

Diperkirakan sebanyak 714.861 orang harus mengungsi saat banjir menerjang Jakarta pada 19-20 Januari 1979. Sebanyak 20 orang hilang ditelan air entah kemana.

Peristiwa itu terjadi pada era Gubernur Tjokropranolo. Banjir pada 1979 di Jakarta menggenangi wilayah pemukiman dengan luas mencapai 1.100 hektare. Banjir yang disebabkan hujan lokal dan banjir kiriman itu merendam pemukiman penduduk.

Bahkan saat bencana datang kala itu, Jakarta Selatan yang biasanya aman dari banjir menjadi tak berkutik. Pondok Pinang tenggelam ditelan air setinggi 2,5 meter. Di daerah itu 3 orang hilang. Puskesmas-puskesmas yang ada di Jakarta pun dikerahkan untuk melayani para pengungsi.

1996

Pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto, ibu kota tercatat pernah beberapa kali terendam banjir salah satunya pada 6-9 Januari 1996, Jakarta terendam setelah hujan dua hari. Sebulan kemudian, 9-13 Februari 1996, tiga hari hujan lebat dengan curah lima kali lipat di atas normal, merendam Jakarta setinggi 7 meter.

Akibat banjir, 529 rumah hanyut, 398 rusak. Korban mencapai 20 jiwa, 30.000 pengungsi. Nilai kerusakan mencapai USD 435 juta.
Tidak berhenti di situ. Banjir besar kembali terjadi pada pada 13 Januari 1997. Hujan deras selama 2 hari menyebabkan 4 kelurahan di Jakarta Timur terendam banjir akibat luapan Sungai Cipinang. 754 rumah, 2640 jiwa terendam air sekitar 80 cm.

Selain itu beberapa jalan utama di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat pun lumpuh akibat banjir. Banjir pada tahun itu juga menyebabkan sarana telekomunikasi dan listrik mati total.

Pada 26 Januari 1999 banjir terjadi lagi di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Ribuan rumah terendam, 6 korban tewas, 30.000 jiwa mengungsi.

2007

Pada 2-4 Februari 2007 Jakarta hadapi kondisi darurat. Banjir menggenangi sekitar 60 persen wilayah Jakarta. Sebanyak 150.000 jiwa mengungsi, 1379 gardu induk terganggu, 420.000 pelanggan listrik alami pemadaman.

Banjir yang terjadi pada era Gubernur Sutiyoso itu tercatat sebagai salah satu banjir terparah. Sebanyak 60 persen wilayah Jakarta terendam, dan 80 jiwa menjadi korban dalam tempo 10 hari, ada yang terseret arus, tersengat listrik, dan sakit.

Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Februari hingga keesokan harinya tanggal 2 Februari, ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang melintasi Jakarta yang tak tertampung.

Kerugian material diperkirakan mencapai triliunan rupiah, diperkirakan Rp 4,3 triliun rupiah. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007.

2013

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, tahun 2013 banjir melanda 720 RT, 73 kelurahan, dan 31 kecamatan dari total 44 kecamatan di DKI Jakarta. Kerugian ditaksir mencapai Rp 20 triliun.

Hingga 21 Januari 2013, tercatat sebanyak 20 orang meninggal dunia dan 33.500 orang mengungsi setelah Jakarta diterjang banjir sejak Selasa 15 Januari 2013.

Banjir ini terjadi pada era Gubernur DKI Joko Widodo. Waktu itu, banjir sampai melumpuhkan pusat kota. Air menggenangi kawasan Sudirman, termasuk Bundaran Hotel Indonesia (HI) akibat tanggul Kali Cipinang, di dekat HI. Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, mengklaim terjadinya kerugian ekonomi lebih dari Rp 1 triliun.[]