Dinasti Politik, Menurun dari Pusat Hingga Daerah

Ada yang unik dari Kabinet Jokowi-KMA, dari sekian banyak menteri, rupanya ada beberapa diantaranya yang memiliki “darah” menteri.

Disebut berdarah menteri bukan karena takdir mereka jadi Menteri, tapi karena orang tua mereka pernah juga jadi Menteri.

“DARAH” MENTERI

Nama-nama anak menteri yang kemudian jadi menteri yankni : Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, ayahnya sangat terkenal di era Presiden Soeharto, Ir. Hartarto. Ir. Hartarto pernah menjadi Menteri Perindustrian ke 17, sedangkan anaknya menjadi Menteri Perindustrian ke 28.

Ir. Hartarto menjabat Menteri selama 16 tahun, sejak 1983 – 1999. Pangkat terakhirnya adalah Menko Perekonomian, sama dengan yang diemban anaknya sekarang.

Nama menteri berikut adalah Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Dia adalah anak dari Ginandjar Kartasasmita, salah seorang menteri Orde Baru dari tahun 1988 – 1988. Pernah menjabat sebagai Menteri Bappenas, Menteri Pertambangan dan Energi dan Menko Ekuin.

Yang menarik adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Ayahnya adalah Soemitro Djojohadikoesoemo. Soemitro adalah Menteri Keuangan era Soekarno sejak tahun 1952, lalu digantikan oleh Ong Eng Die (Menteri Keuangan kelahiran Gorontalo) pada tahun 1953, dan pada 1955 dia kembali menggantikan Ong Eng Die.

Soemitro juga pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan tahun 1950 – 1951 masih di era Soekarno. Lalu menjabat kembali di kementrian yang sama tahun 1968 – 1973 di era Soeharto.

Setelah menjabat Menteri Perindustrian, Soemitro pernah menjabat Menteri Riset pada tahun 1973 – 1978. Dia digantikan oleh putra Gorontalo BJ Habibie.

Menteri yang lain adalah Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro. Ayahnya tak lain adalah Sumantri Brodjonegoro. Sumantri adalah mantan Menteri Pertambangan dari tahun 1967 – 1973. Lalu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tidak sampai setahun karena tutup usia. Saat itu, Bambang baru berusia 7 tahun.

POLITIK DINASTI?

Kisah diatas hanya cuplikan dari sejarah dinasti politik di Indonesia, dan juga dunia secara umum.

Ada dinasti yang terbentuk karena memang ingin melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan dominasi ekonomi. Ada pula yang bertahan karena ada agenda ideologis yang sedang mereka perjuangkan. Agenda yang diperjuangkan biasanya karena orang tua mereka sebelumnya pernah dikucilkan oleh rezim sebelumnya atau dikejar-kejar rezim.

Setelah kita simak uraian diatas, apakah posisi yang diemban mantan anak-anak menteri itu karena memang perjuangan pribadi mereka atau karena faktor “darah” menteri yang mereka warisi?

Hal itu bisa terjawab dengan melihat proses mereka semenjak di keluarga, lalu bagaimana mereka bisa mendapatkan akses pendidikan, bagaimana lingkungan pertemanan terbentuk, bisa lihat pula bagaimana orang tua masing-masing menyiapkan usaha ekonomi bagi anaknya, hingga bagaimana anak itu memiliki posisi di partai politik.

Harus diakui bahwa Asia adalah salah satu kawasan yang masih menjadi surga dinasti politik, banyak pemerintahan yang memiliki kekerabatan dengan yang sebelumnya. Di ASEAN, misalnya di Singapura (keluarga Lee), di Malaysia (keluarga Razak), di Thailand (keluarga Shinawatra), di Filipina (keluarga Marcos dan Aquino), serta di Indonesia (keluarga Soekarno).

“Kekerabatan keluarga diatas tersebut selain ada yang ingin mengelola kekuasaan secara terus menerus, ada pula yang memang karena dendam politik atas kudeta yang dilakukan pada orang tuanya.”

Di level lokal Indonesia lebih gawat lagi, banyak dinasti politik yang dibangun secara turun temurun. Di Provinsi Banten, kasus Ratu Atut Chosiyah yang melibatkan adiknya, menunjukkan betapa kentalnya kekuasaan dinasti politik di Banten.

Ada pula dinasti Kutai Kartanegara. Beberapa waktu lalu, Bupati Kutai, Rita Widyasari, tersandung kasus korupsi mengikuti jejak sang ayah, mantan Bupati Kutai Kertanegara – Syaukani HR yang terlebih dulu tersandung kasus serupa.

Di Cimahi, Jawa Barat, Walikota Cimahi (2012-2017) Atty Suharty bersama suaminya menjadi tersangka kasus penerimaan suap proyek pasar Cimahi. Sang suami, Itoc Tochija, merupakan wali kota Cimahi selama dua periode.

Di Klaten, Jawa Tengah, Bupati Sri Hartini (2016-2021), terkena operasi tangkap tangan KPK karena diduga melakukan jual beli jabatan. Kepemimpinan Sri ini juga tidak lepas dinasti politik yang dibangun suaminya, mantan bupati Haryanto Wibowo (2000-2005). Terakhir kasus di Kendari yang melibatkan Asrun mantan Walikota Kendari dua periode dan anaknya yang juga penggantiny.

Kasus-kasus itu memperlihatkan bahwa dinasti politik seringkali sangat rentan dengan kasus korupsi. Kebijakan publik banyak diambil karena pengaruh keluarga bukan karena sistem.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) ada sejumlah 58 daerah yang terindikasi politik dinasti. Itu data tahun 2015 sebelum pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 dan 2017. Berarti ada sekitar 11 persen kepala daerah di Indonesia yang dikuasai oleh dinasti politik.

Dari fakta itu, lalu DPR RI menuangkan anti politik dinasti dalam Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Namun, Mahkamah Konstitusi mencabut kembali pasal 7 huruf r UU No.8 Tahun 2015 karena dinilai melanggar hak-hak konstitusi warga negara.

Faktor yang ikut memperkuat politik dinasti yakni semakin lemahnya ikatan ideologis di antara partai politik, politisi, dan pemilih, hingga cara untuk memperkuat legitimasi dengan cara memperkuat dinasti politik. Artinya, “nama besar”, “orang kuat”, jaringan kekerabatan adalah instrumen untuk memperkuat kembali partai politik, politisi dan pemilih. Termasuk bagaimana kemudahan dan akses serta fasilitas bisa memberi ruang lebih pada pelanjut atau pewaris dinasti tersebut.

MEMATAHKAN DINASTI?

Sebagai sebuah fakta politik, memang ada kehendak umum untuk mesti mematahkan politik dinasti di Indonesia. Keinginan ini terkait dengan sejumlah fakta korupsi pusat dan lokal yang terjadi karena pewarisan kekuasaan dari antar keluarga, sehingga cenderung salah dalam menggunakan kewenangan. Belum lagi dengan banyaknya fakta bahwa generasi “bayi tabung” ini tidak memiliki kompetensi dan kapasitas dalam hal tata kelola pemerintahan.

Para “bayi tabung” ini hanya bisa melanjutkan dinasti karena memang didukung oleh sumber daya politik yang kuat dari generasi keluarganya yang sudah mengakar.

Di saat yang lain, misalnya di internal partai politik, banyak jumlah kader partai politik yang membangun karir dari bawah, merangkak naik, sering jatuh dalam kontestasi politik seperti pemilu, namun karena keterbatasan sumber daya, harus mengikhlaskan karir dan peluang politik pada generasi “bayi tabung” yang barusan lahir.

Namun, sebagai negara yang memiliki prinsip bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama dalam berpolitik, sehingga pasal pelarangan dinasti politik harus dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.

Prinsip persamaan hak itulah yang mau tidak mau mesti dilihat secara lebih arif. Memang untuk “memenggal” hak berpolitik bagi keluarga yang sedang berkuasa juga tidaklah elok secara konstitusi, namun hal ini juga menjadi pelajaran bagi semua dinasti politik di Indonesia untuk menata keluarganya dengan lebih baik.

Penataan keluarga dinasti yang dimaksud adalah dengan memberikan ruang bagi generasinya untuk bisa berkompetisi secara fair, secara etis, dan tidak menggunakan sumber daya kekuasaan yang sedang digenggam dengan sewenangnya.

Keluarga-keluarga dinasti yang hendak dimajukan dalam kontestasi politik mesti sudah dari jauh-jauh hari dikaderisasi secara sehat melalui lembaga/organisasi kemahasiswaan, kepemudaan, keagaaman dan termasuk melalui jenjang perkaderan politik dari bawah.

Selain itu, perlu pula untuk memberi ruang belajar bagaimana pengelolaan kekuasaan yang lebih arif, bukan sekedar melanggengkan kekuasaan. Secara garis besar misalnya mesti memiliki kompetensi dan kapasitas dalam membaca dan menyusun dokumen perencanaan, bisa mengambil keputusan yang mandiri, mampu mengelola keuangan secara lebih transparan dan akuntabel, bisa menggunakan anggaran secara efektif dan efisien, hingga dalam perumusan kebijakan lebih mengedepankan prinsip partisipatif.

Sehingga, kerentanan politik dinasti pada korupsi seperti pada contoh kasus diatas akan bisa dihindari dan diminimalisir. Jika tidak, maka perulangan sejarah politik dinasti yang buruk seperti yang heboh di Indonesia bisa diatasi secara lebih dini.

Sebab, mematahkan dinasti politik secara konstitusional agak sulit, namun bagi dinasti politik yang melakukan kesalahan dan cacat sejarah, akan sulit dipatahkan dari ingatan kelam publik.

Maka, yang penting dipatahkan adalah sejarah politik dinasti yang buas, yang sewenang-wenang dan berkarakter haus kekuasaan. Ini mesti diganti dengan cara berpolitik yang arif, pengayom, membahagiakan serta mensejahterakan warga.

Penulis Funco Tanipu merupakan Sosiolog UNG, lihat artikel lain ulasannya di website funco.id