Politik dan Politisasi Covid-19

Oleh : Katamsi Ginano*

 

PANDEMI Corona memang bikin limbung. Bukan cuma individu dan keluarga (yang dengan penuh simpati dan empati) kurang mampu, tapi juga negara, bahkan dunia.

Untuk pertama kali peradaban manusia ditinju krisis yang belum pernah ada presedennya. Wabah hitam Eropa di abad pertengahan hingga Ebola dan SARS di era facebook dan WA meringkus jarak dan relasi, tiba-tiba terasa hanya sekedar angina kencang dibanding taifun Covid-19.

Kredit Mobil Gorontalo

Kita, dalam skala kecil, orang banyak di Manado; dan lebih mikro lagi umat Muslim, terbelah. Bahkan hingga ke ekstrim paling kanan dan kiri: mereka yang luar biasa berani dan yang sungguh-sungguh takut. Yang bernyali besar tak ragu berkumpul—termasuk bersikukuh memakmurkan masjid–, lalu-lalang dan tak henti bergiat. Corona, bagi mereka, adalah ujian. Entah dari Tuhan, kehidupan modern, atau sebab ada yang main-main virus dengan niat jadi senjata biologis.

Ujian harus dihadapi. Lulus atau tidak, perkara belakangan. Bila perlu, nekad adalah tekad.

Saya, bukan barangkali (sebab ini pengakuan pasti), berada di sisi yang tidak terlalu kiri: takut sembari dengan takzim mengikuti saksama ikhtiar para cerdik-pandai agar sedapat mungkin tidak diserepet Corona dan dot! Nasihat Ayah saya yang selalu terngiang, ‘’Di tengah keriuhan, berhenti, menarik nafas, cermati sekitar, berpikir dengan dingin, baru ambil tindakan.’’

BACA JUGA :  Bahasa dalam Era Digital: Kebutuhan Baru Generasi Z dalam Pemerolehan Bahasa

Terlalu hati-hati atawa penakut? Sekali lagi: ya! Maka, di awal-awal Corona masuk Indonesia, saat bersigegas pakai masker, rajin cuci tangan, dan memulai work from home (WFH), saya sama sekali tidak tersinggung saat ada yang menyindir, ‘’Ente takut amat.’’ Ini bukan soal nyali; tapi bagaimana menggunakan otak pada tempatnya.

Ya, saya memang takut pada sesuatu yang belum selesai didefinisikan. Dan karenanya mencoba dengan serius menggunakan otak. Corona, setelah berbulan-bulan sejak pertama diiidentifikasi di Wuhan, Cina, belum jua ketahuan juntrungan definisinya. Setiap hari simpton virus ini membuat kejutan. Mula-mula katanya bersarang di tenggorokan, menyerbu saluran nafas, dan membuat paru-paru jadi agar-agar. Lalu informasi yang lain datang, tiap hari, membuat badan panas-dingin membayangkan kekejaman si Corona ini.

Otak saya yang jauh dari jenius masih bisa mengikuti, tanpa sempoyongan, perkembangan vitus ini. ODP, PDP, dan segala idiom dan istilah yang mengikutinya. Juga ikhtiar pekerja medis yang dipaksa keadaan mesti punya nyali sekeras batu berhadapan dengan ribuan penderita, baik yang mesti dirawat maupun yang tak kuat dan tumbang; serta para ilmuwan yang siang-malam mencoba segara cara membuat vaksin penjinak Cvid-19 sialan ini.

Kepala saya yang tampaknya memang sempit, justru terguncang tatkala di hadapkan pada fakta skala kecil, orang banyak di Manado; dan lebih mikro lagi umat Muslim—khususnya menjadi interaksi virtual saya (lewat WA dan media sejenis) di hari-hari belakangan ini. Saya takjub ketika mendapati, Corona dan dampak yang dibawanya lebih banyak dipandang dari sebagai sebuah peristiwa politik yang mesti dipolitisasi sepuasnya.

BACA JUGA :  Menyelami Dualitas Emosi : Kecemasan dan Motivasi dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Saya terperangah ketika seorang Bupati menyemburkan kemarahan yang viral karena bantuan terhadap mereka yang tak berdaya dianggap berbelit, dia seolah jadi pahlawan, sembari kita seolah lupa: kemana saja orang-orang yang berkuasa dan mengemban amanah ini, selama ini, hingga mereka tak pernah menyiapkan manajemen krisis? Seolah-olah krisis datang dengan terlebih dahulu mengetuk pintu, mengabarkan ketibaannya, agar kitab oleh bersiap dan bersolek terlebih dulu?

Pertanyaan, atau lebih tepat kritik, seperti itu butuh nyali besar; karena pasti menentang arus umum. Sebab pertanyaan itu sama sekali tak populis. Tak punya damak politik. Apalagi bisa dipolitisasi.

Diperlukan pula nyali yang sama tatkala, misalnya, bersetuju dengan Satpol PP Manado yang mengeruduk dan membubarkan penjual takjil demi tindakan preventif terhadap penyebaran Corona. Soalnya adalah: pembubaran penjual takjil mudah ditafsir sebagai tindakan politik yang tidak populis. Tak berpihak pada orang kecil. Dan tindakan tak populis di tengah situasi tak karuan adalah bahan bakar politisasi yang luar biasa ampuhnya.

BACA JUGA :  Menyelami Dualitas Emosi : Kecemasan dan Motivasi dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Olehnya, tidak bisakah kita berhenti sejenak, mencermati situasi, manarik nafas panjang dan berpikir, lalu tanpa keributan cara politik dan politisasi, turun tangan—sesuai kemampuan dan kebisaan masing-masing—ikut andil menangani pandemi yang bikin dunia demam goyang ini? Tidak bisakah kita belajar dari sekelompok orang yang sejak Februari lalu diam-diam mendonasikan pikiran, tenaga, upaya, dan duitnya untuk niat mulia, sembari menjauh dari kamera dan rekaman publisitas media?

Yang senyap di tengah keriuhan biasanya amat berarti dan bernilai.

Tidakkah kita malu tatkala asik meributkan sah-tidaknya, boleh atau haram, Satpol PP membubar-paksakan orang kecil yang berjualan takjil; sementara diam-diam seorang professor ITB bersama sekelompok relawan siang-malam bekerja keras membuat ventilator dari bahan-bahan yang ada di sekitar kita? Atau sebuah pesantren di ujung lain negeri ini yang dalam sunyi menjejerkan Sembako di lapangan terbuka untuk mereka yang memerlukan.

Pandemi akibat Covid-19, buat saya, memberi pelajaran déjà vu, bahwa: ketika cara pandang politik dan politisasi masih jadi arus utama hidup dan bermasyarakat, yang berbahaya bukanlah virus yang setiap saat bisa merengut nyawa. Pikir dan tindakan kitalah yang lebih mara bahaya.***

*) Wartawan Senior