Permendikbud PPKSP Bukan Solusi Kekerasan di Satuan Pendidikan

Oleh : Mona Fatnia Mamonto, S.Pd

 

Permendikbud dikebiri lagi, dan lagi dengan regulasi yang masih sama namun dalam tingkatan yang berbeda. Ini pun bukan soal lamanya diterapkan, namun efektivitas dari aturan yang dipakai, terlebih dunia Pendidikan hari ini tak ada harapan, tawuran, seks bebas, bullyng dan tingkat kriminal yang tinggi rata-rata menyerang tingkat satuan pendidikan. Lalu urgentivitasnya apa ketika regulasi Pendidikan diperbarui kembali namun dalam penerapannya tak ada andil yang tepat didalam penyelesainnya ?

 

Permendikbud PPKSP : Regulasi berulang tanpa Kepastian

Kredit Mobil Gorontalo

Sejatinya Pendidikan adalah pondasi utama dalam memajukan sebuah negeri, yang dulunya terbelakang menjadi terdepan dalam segala bidang. Pun pada perkembangan negeri tersebut mengatarkan pada keberhasilan yang gemilang. Namun semua itu tidak akan berjalan sesuai tujuan ketika peserta didiknya serampangan dan salah jalan, tersebab regulasi yang tak tetap dalam pengaturannya.

Tak lama berselang, Mendikbudristek  secara resmi meluncurkan Merdeka Belajar ke 25: Permendikbudristek No. 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) sebagai payung hukum bagi seluruh satuan pendidikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan. Tentu hal ini merupakan angin segar bagi dunia Pendidikan terkhusus Pendidikan menengah atas sampai tingkatan bawah. (kompas, 08-08-2023)

Terkait akan hal itu, bukan merupakan wacana baru dalam dunia Pendidikan, terlebih kita tau bersama bahwa permendikbud tak pernah nyaman pada tempatnya, selalu berpindah dan menghadirkan warna serta aturan yang baru. Pun pada solusi yang diberikan dalam setiap point-pointnya hanya berkutat pada lingkaran yang sama.

Permendikbud ini pun seperti halnya mengulang pada orang yang sama, namun hubungan yang dibangun tak membuahkan kepastian juga. Melihat kasus-kasus yang sering terjadi di satuan Pendidikan hari ini bisa dibilang sudah masuk pada zona merah. Sebab aturan yang dibuat tak pernah diarahkan sebaik-baiknya. Melihat regulasi pada tahun kemarin yaitu Permendikbud 82/2015 dan Permendikbud 30/2021 yang pointnya tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan, seksual di Satuan Pendidikan dan Lingkungan Perguruan Tinggi. Tak pelak regulasi yang dibuat tak menyurutkan tindak kekerasan yang terus terjadi baik kepada peserta didik, pendidikan atau satuan lembaga kependidikan.

Bukan regulasi namanya bila tak menimbulkan kontroversi dalam penerapannya. Permendikbud 46/2023 ini adalah produk dari Merdeka Belajar, yang dimana memainkan peran penting dalam memenuhi mandat undang-undang dan Permen yang bertujuan melindungi anak-anak, pun dibuatnya peraturan ini untuk menggantikan peraturan sebelumnya. (itjen.kemendikbud.go.id, 08-08-2023)

Dalam fakta yang ada, meski berbagai aturan dkeluarkan dan diperbagus sedemikian rupa, tetap tak akan menghasilkan solusi yang maksimal. Parahnya lagi tingkat kekerasan tak pernah henti melanda satuan pendidikan, hanya berdalih ini untuk melindungi sektor satuan pendidikan yang ada, namun dalam pengimplementasiannya dilapangan minim tindakan, dan bukan mencabut akar masalah dari para pelaku tindakan tapi malah mencetak calon-calon kekerasan. Pada penerapannya di lingkungan sekolah  yang hari ini pendidik hanya fokus pada penyampai materi dengan selang waktu mengajar hanya 2-3  jam per mata pelajaran, tentu tidak akan bisa membentuk kepribadian yang sempurna dari seorang peserta didik, pun pada lembaga pendidikannya dipacu untuk bisa mengimplementasikan progam merdeka belajar yang fokusnya lebih kepada penguatan kompetensi dan minat bakat sesuai dengan kemaun peserta didik. Tentu hal ini malah menimbulkan jamur kerusakan dalam satuan pendidikan.

Terkait dengan Permendikbud No. 46/2023 itu sendiri, bukan lebih fokus pada penyelesaian masalah pangkalnya, melainkan lebih kepada lingkungan dari satuan pendidikannya, meski dalam point-point yang dibuat adanya mekanisme pencegahan dalam permendikbud tersebut, misalnya soal pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam tingkat satuan pendidikan, dan Satuan Tugas dalam tingkat pemprov serta pemkab/pemkot yang masa pembentukannya pun berselang 6 sampai 12 bulan setelah permendikbud tersebut diundangkan. Hal ini pun bertujuan agar penanganan yang cepat terhadap kasus kekerasan di lembaga satuan pendidikan tercipta lingkungan belajar yang inklusif, kebhinekaan, dan aman bagi seluruh warga di satuan pendidikan. Hal ini pun didasari pada beberapa hal ; Pertama, maraknya kekerasan di tingkat satuan pendidikan mulai dari peserta didik, pendidik dan staf pendidikan, yang dialami mulai dari kekerasan verbal, non verbal , fisik sampai seksual. Kedua, adanya hasil asesmen dari KPAI terkait kekerasan lingkungan pendidikan di Indonesia yang hasil temuannya 34% pesdik berpotensi mengalami kekerasan seksual dan 26% berpotensi mengalami kekerasan fisik, sedang 36% berpotensi mengalami perundungan.

Permendikbudristek ini tak akan menyelesaikan persoalan jika berkaca pada permendikbud sebelumnya, karena permen ini tidak menyentuh akar persoalan. Sebab regulasi yang dihadirkan hanya monoton pada siapa pelakunya dan bagaimana cara mengatasinya, hanya itu saja. Pasalnya melihat ratusan fakta kekerasan yang terusnya terjadi sampai dengan hari ini, pemerintah hanya menyelesaikan masalah dasarnya saja tanpa mau menggali pangkal persoalan. Fatalnya lagi dalam penerapan permen ini, mendikbudristek sendiri mengatakan bahwa pembagian tugas yang dikembalikan kepada sekolah masing-masing dengan membuat kelompok kecil didalam bertanggung jawab untuk menangani, mencegah dan memulihkan korban dari kekerasan di sekolah.

Artinya ketika regulasi itu sudah ada dan sudah siap diterapkan, namun tanpa dibaca oleh kepala sekolah terlebih dahulu isi dari permen tersebut, maka pihak satuan pendidikan tetap wajib membentuk tim didalam lingkungan sekolah, sungguh diluar ekspetasi apalagi logika untuk berpikir. Seharusnya bila regulasi telah siap pakai di satuan pendidikan tentu dari pemerintah sendiri harusnya saling berkoordinasi dengan baik dan tranparan terkait aturan yang nanti akan di terapkan terhadap peserta didik, pendidik, staff pendidikan dan warga yang ada ada  didalam satuan pendidikan. Ini seperti halnya makanan yang tak jelas kehalalanya lalu viral kemudian hanya ikut-ikutan untuk menikmati makanan tersebut, setelah tak viral lagi dilupakan, tanpa mau mencari tau asal usul pembuatan dan sumber bahan makanan tersebut.

Pada dasarnya, permen ini memang tak membawa perubahan besar dalam lingkup satuan pendidikan, harap mencetak agen berakhlakul karimah, malah hanya jadi regulasi yang pro dan kontra. Pun pada penerapannya hanya menghasilkan peserta didik gagal produk alias korban dari percepatan program tak terarah. Baik kurikulumnya sampai pada materi yang dipakai, semuanya dipercepat, hingga akhirnya melahirkan peserta didik yang minim akhlak namun kaya karakter rusak. Hal ini pun tentu disebakan oleh beberap hal ; Pertama, rusaknya generasi hari ini adalah hasil dari paradigma salah kapitalis-sekuler, yang menjadikan standar keberhasilan pendidikan hanya diletakkan pada ukuran materi, sedang nilai agama dan moral dijauhkan dari pendidikan sebab pandangan ini tidak memberikan nilai yang cukup tinggi dalam pendidikan. Kedua, Tidak adanya peran negara didalam menyelesaikan masalah mendasar rakyatnya, dan malah menyelesaikannya tanpa mau mencari tau akar dari masalah tersebut.

Benar adanya bahwa regulasi ini bukan mendatangkan perubahan tapi malah menambah ketidakpastian. Melihat keadaan satuan pendidikan hari ini saja sudah pusing kepalang, apalagi menjalankan aturan yang tak pasti, pun pada pembuat aturannya pun sering gonta-ganti kurikulum, bagaimana bisa terimplementasi dengan benar dan sampai kepada satuan pendidikan aturan yang dibuat sementara akar masalah belum selesai, diganti solusi yang lain.

Pun pada faktor pendukung kerusakan lebih banyak dibanding solusi yang diberikan. Pertama sistem sekuler, yang fokus sistem pendidikan hari ini bukan bermuara pada terbentuknya perilaku peserta didik yang seiya sekata, tapi materi adalah induknya yang bermuara pada akademik dan lebih kepada pengabaian nilai agama.

Melihat fakta yang ada saja, dari 1-100% hanya 25% peserta didik yang tahan didalam kelas ketika diajarkan pelajaran agama yang didapat pun hanya sepekan, sedang 75% lagi datang, duduk, diam dengar, cuek sampai yang lebih parah lagi tak mau ambil bagian dalam pelajaran tersebut alias bodo amat. Padahal agama adalah pedoman hidup  manusia.

Kedua, akar masalah lain dari kekerasan ini adalah keluarga yang tak harmonis dan korban perceraian orang tua, dengan itu pun menghasilkan anak yang kurang kasih sayang, sebab dalam proses pengasuhan saja orang tua tak ada andil besat, alih-alih ingin mewujudkan anak yang sholeh, tapi lupa diri dan sibuk dengan pekerjaan, akhirnya anak haus kasih sayang sehingga timbul pribadi kriminal.

Ketiga, media sosial yang melalang buana, mudah diakses kapan saja dan semaunya kita, tak terbatas usai dari muda sampai tua dengan konten yang beraneka ragam, hal ini menjadi pemicu dalam terbentuknya sikap kriminal yang menghasilkan pribadi rusak. Dengan mudahnya dari tiap anak bisa mencari konten bernuansa pornografi hanya sekali klik, pun kekerasan yang hari ini merajalela di media sosial, baik dalam permainan, sampai konten perorangan. Apapun yang disediakan media dilahap mentah-mentah oleh anak-anak tanpa ada filterilisasi usia, sehingga memicu mereka untuk terus mencari dan mencari isi konten, alih-alih berhenti yang ada malah ketagihan.

Regulasi ini hanya menambah rentetan aturan yang sama dengan pola yang berbeda tapi susunan katanya sama, namun tak melahirkan kepastian apapun. Maka jelaslah bahwa permendikbud No.46/2023 sebenarnya bukan solusi atas masalah kerusakan amoral yang terus terjadi dalam dunia pendidikan. Sebab dari awal hingga ujung pun ketika sistem yang dipakai adalah sistem yang rusak maka tetap akan melahirkan sistem yang rusak pula. Polanya pun akan sama pula ketika hanya membuat aturan baru kemudian bertambah lagi masalah, lalu kapan redanya coba ?

 

Pendidikan Islam Obatnya

Bukan pendidikan namanya, bila yang dihasilkan dari rahimnya adalah produk gagal nan rusak, sebab pendidikan sejatinya melahirkan generasi terbaik yang unggul dalam segala bidang yang diemban. Islam jelas memiliki solusi tuntas terhadap terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah,

Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terencana dan terstruktur, serta sistematis yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah sehingga melahirkan generasi terbaik sekelas Rasulullah SAW.

Dalam prakteknya saja , pendidikan Islam lahir dari sebuah paradigma Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, baik kehidupan sebelumnya maupun setelahnya, dan kaitanya antara kehidupan dunia dan akhirat. Dengan tujuannya dari pendidikan Islam adalah sebagai khalifah dimuka bumi.

Pun pada penerapan aturan yang dipakai berasaskan pada akidah Islam, yang asas ini sangat berpengaruh terhadap pendidikan, mulai dari penyusunan kurikulum, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, pengembangan budaya dan interaksi di antara semua komponen penyelenggara pendidikan.

Pengimplementasian pendidikan Islam sendiri dilaksanakan oleh negara sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam menyelesaikan persoalan rakyat, sebab fungsi dari negara adalah merawat dan menjaga keberlangsungan hidup masyarakat tanpa tebang pilih, termasuk sekolah.

Dalam penerapan aturannya pun, negara bertugas memastikan media yang dikonsumsi hanya menyediakan konten yang bermanfaat, dan ketika ditemukan konten yang mengarah pada kemudaratan, maka dari negara pun memutuskan sepenuhya media penyedia konten tersebut serta produsen dan penyebanya diberikan sanksi tegas karna telah merusak generasi.

Sama halnya pada keluarga, negara menjamin kesejahteraan terpenuhi, mulai dari lapangan kerja yang disediakan terhadap kepala keluarga, sehingga hasilnya ibu hanya fokus mengurus rumah, sebab disanalah generasi cemerlang terbentuk.

Oleh karenanya,  kenapa kerusakan terus terjadi pada lini pendidikan hari ini, sebab aturan yang menaungi kebijakan tersebut tak ada acuan yang pasti, yang hanya bisa diotak-atik sana sini, alih-alih memberi solusi tapi nyatanya menghasilkan polusi. Sebab hanya Islamlah yang mampu mengatasi segala problematika dengan dasar dan aturan yang pasti tanpa pernah dikebiri.

wallahu a’lam bishawab