Perempuan Uighur Kerap Diperkosa Saat Berada Dalam Tahanan

China Gunakan Perkosaan Sebagai Strategi Penyiksaan Tahanan Uighur

 

Warga Uighurs yang pernah ditahan di kamp tahanan di Xinjiang, China, mengatakan mereka telah dianiaya secara seksual dan diperkosa ketika diinterogasi oleh pihak berwenang China. Mereka juga menyaksikan tahanan-tahanan perempuan lainnya yang diperkosa.

Tursunay Ziyawudun, perempuan penyintas kamp tahanan Uighur yang kini tinggal di negara bagian Virginia, mengatakan pada VOA bahwa ia telah dipukuli, dianiaya secara seksual dan diperkosa beramai-ramai saat diinterogerasi di sebuah kamp tahanan di distrik Kunis, di utara Xinjiang, pada 2018.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional memperkirakan ada lebih dari satu juta warga Uighur dan kelompok minoritas lain yang berbahasa Turki di Xinjiang, yang telah ditahan di kamp-kamp itu sejak awal 2017.

Kredit Mobil Gorontalo

Berdasarkan dokumen yang bocor di kalangan internal pemerintah, China menyebut fasilitas-fasilitas semacam itu “transformasi lewat pusat-pusat pendidikan,” guna “mencuci otak, membersihkan hati, memperkuat kebenaran dan menghapus kejahatan.” China juga menggambarkan kamp itu kepada masyarakat internasional sebagai “pusat pelatihan kejuruan” untuk mengatasi “terorisme dan ekstremisme keagamaan.”

Kisah Ziyawudun pertama kali dilaporkan oleh BBC pekan lalu.

Ziyawudun yang suaminya yang berasal dari etnis Kazakh, merupakan penduduk asli Xinjiang. Mereka pindah pertama kali ke negara tetangga Kazakhstan untuk membuka sebuah klinik medis pada 2011.

Namun pada November 2016 ketika mereka kembali ke China, pejabat-pejabat lokal di Xinjiang menyita paspornya. Pada April 2017 mereka mengirim Ziyawudun ke sebuah kamp tahananan untuk “dididik kembali” sebelum melakukan perjalanan dan tinggal di Kazakhstan, satu dari 26 negara yang oleh pemerintah China dinilai sensitif.

Setelah beberapa minggu, Ziyawudun dibebaskan dari kamp tahanan itu, dan pada Juni 2017, polisi mengeluarkan paspor suaminya. Dengan paspor itu, suaminya bisa kembali ke Kazakhstan selama dua bulan, sementara Ziyawudun ditahan di China sebagai jaminan kembali ke Xinjiang, tanpa terlibat “kegiatan anti-China” di Kazakhstan.

Suaminya tidak kembali ke China seperti yang diinginkan pihak berwenang negara itu. Pada Maret 2018, sebagai hukuman atas keputusan suaminya, Ziyawudun untuk kedua kalinya dibawa ke kamp tahanan. Di situ, ia menyaksikan apa yang disebutnya sebagai “penganiayaan seksual paling barbar dan tidak manusiawi terhadap dirinya dan sesama penghuni tahanan lain.”

Sejumlah perempuan etnis Uighur meninggalkan pusat edukasi politik di Kashgar, Wilayah Otonomi Xinjiang Uighur, 6 September 2018.

Perkosaan Sistematik

“Dalam empat kesempatan berbeda saya dibawa ke ruang interogasi di mana saya dipukuli, bagian intim saya disetrum dengan tongkat bermuatan listrik dan saya diperkosa beramai-ramai,” ujar Ziyawudun pada VOA.

Dia menambahkan bahwa sebagian tahanan perempuan yang menjadi temannya tidak pernah kembali ke sel mereka setelah dibawa ke ruang interogasi, dan yang kembali ke sel diminta untuk tutup mulut atau menghadapi konsekuensi.

Pada Desember 2018, setelah sembilan bulan berada di kamp itu, Ziyawudun dibebaskan. Ia mengatakan pihak berwenang China membebaskannya di bawah tekanan karena kampanye suaminya di Kazakhstan.

Pada September 2019, pemerintah China mengizinkannya mengunjungi Kazakhstan selama satu bulan ke Kazakhstan untuk tinggal dengan suaminya. Di Kazakhstan, permohonan suaka politiknya ditolak, tetapi ia dapat tetap tinggal bersama keluarganya meskipun berisiko dideportasi kembali ke China.

Pada September 2020, pemerintah Amerika mengizinkannya datang ke Amerika.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin pekan lalu mengatakan klaim perkosaan Ziyawudun “tidak memiliki dasar faktual sama sekali.”

Pejabat-pejabat Amerika mengatakan “kekejian ini mengejutkan hati nurani dan harus ditanggapi dengan konsekuensi serius.”

“Kami sangat terusik oleh laporan tersebut, termasuk kesaksian langsung tentang perkosaan sistematik dan penganiayaan seksual perempuan-perempuan di kamp tahanan bagi etnis Uighur dan kelompok Muslim lain di Xinjiang,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika pekan lalu dalam sebuah pernyataan.

Bukan Fenomena Baru

Kekerasan seksual terhadap perempuan Uighur di China bukan fenomena baru, ujar Zubayra Shamseden, Koordinator Chinese Outreach di Uyghur Human Rights Project.

“Lingkungan yang membatasi, ketakutan akan pembalasan oleh pemerintah China terhadap anggota keluarga dan hubungan sosial lain, dan karena sensitivitas budaya; banyak korban kekerasan seksual, penyiksaan dan pelecehan oleh pihak berwenang China tidak dapat bicara,” ujar Shamseden.

Shamseden sebelumnya telah mewawancarai sejumlah perempuan Uighur yang mengalami pelecehan seksual dan penyiksaan selama ditahan di China.

Menurut Maya Wang, peneliti senior China di Human Rights Watch, kombinasi ketidakseimbangan kekuatan yang kuat antara suku Han-China dan Uighur, obsesi yang berlebihan terhadap perempuan Uighur dalam imajinasi populer, korupsi, dan dorongan negara tentang romansa antaretnis, yang menciptakan lingkungan di mana perempuan dan anak-anak Uighur berisiko selama penumpasan ini.

“Namun, sejauh mana kekerasan seksual secara sistematis itu dilakukan terhadap perempuan Muslim Turki di Xinjiang, Human Rights Watch masih belum dapat memastikan karena sifatpelanggaran semacam itu yang tersembunyi,” ujar Wang pada VOA.

Perkosaan di Kamp Lain

Qelbinur Sidiq pada 2017 mengajar Mandarin di dua kamp tahanan perempuan dan laki-laki di Urumqi, di ibu kota Xinjiang. Perempuan berusia 51 tahun itu mengatakan salah seorang petugas polisi perempuan membahas dengannya perkosaan dan penganiayaan seksual terhadap perempuan Uighur yang ditahan polisi laki-laki China.

“Ketika teman polisi saya menceritakan rincian penganiayaan seksual dan perkosaan yang mengerikan terhadap perempuan-perempuan Uighur di beberapa kamp oleh polisi-polisi China, dan bagaimana hal itu menjadi topik pembicaraan yang normal saat makan malam di antara polisi di kamp tahanan China, saya tidak bisa berhenti menangis,” ujar Sidiq, yang sejak Oktober 2019 lalu tinggal di Belanda.

Mengingat kamp-kamp tahanan di Xinjiang berbentuk ruangan tertutup di bawah pengawasan fisik yang ketat dengan hanya sedikit sekali kemungkinan komunikasi eksternal, Vanessa Frangville, seorang pakar kajian China di Universitas Libre di Brussels, mengatakan sangat mungkin banyak tahanan yang menjadi korban penganiayaan seksual dan perkosaan.

“Tuduhan semacam itu jelas konsisten dengan serangkaian pelanggaran HAM yang telah dilakukan dengan kekebalan hukum penuh di China, bukan hanya di Xinjiang,” ujar Frangville pada VOA.

“Para biarawati Tibet misalnya, pada beberapa kesempatan telah melaporkan perkosaan sistematik ketika berada di penjara, demikian pula beberapa kesaksian dari rumah tahanan dan kamp-kamp ‘pendidikan kembali; di China,” ujarnya merujuk pada fasilitas penahanan Falun Gong di Beijing, yang dioperasikan sejak akhir 1990an.

Perkosaan Terhadap Pria

Abduweli Ayup adalah seorang ahli bahasa Uighur berusia 48 tahun yang kini tinggal di Norwegia. Pada 2013, dia ditahan selama 15 bulan di penjara karena memperjuangkan penggunaan bahasa Uighur di sekolah-sekolah di Xinjiang.

Ia menuduh bahwa ia telah diperkosa dalam interogasi pertamanya, dan kemudian menyaksikan sejumlah teman satu selnya diperkosa, sebeluma atau setelah proses interogasi itu.

“Setelah saya tidak pernah menyerah pada tuntutan pengakuan atas ‘kejahatan’ yang tidak pernah saya lakukan, misalnya, dengan menjadi ‘separatis atau mata-mata bagi Amerika,’ mereka menyetrum saya dengan tongkat beraliran listrik,” tutur Ayup pada VOA.

Setelah itu, imbuh Ayup, di bawah pengawasan empat polisi dia dialihkan ke ruangan lain dan diperintahkan untuk diperkosa oleh beberapa laki-laki China yang mengenakan seragam penjara.

Ditambahkannya, perkosaan itu dilakukan secara sistematis untuk mengintimidasi dan memaksa para tahanan Uighur terpaksa membuat kesaksian.

Adrian Zenz, pakar kajian China di Victims of Communism Memorial Fund di Washington, mengatakan pada VOA bahwa tuduhan-tuduhan perkosaan itu dapat membuat kategori baru tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan memberi bukti tambahan tentang genosida.

“Hal ini akan membawa rasa urgensi yang nyata dan kuat dari masyarakat internasional tentang krisis yang terjadi di Xinjiang ini,” tambahnya. [em/ft]

Sumber : voaindonesia