Kota Kendal Terancam Hilang Dari Peta Dunia

Kerusakan lingkungan hidup di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, benar-benar sudah dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan.

Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman penduduk serta penggalian atau penambangan bahan galian Golongan C di wilayah Kecamatan Kaliwungu, Pegandon, dan Pageruyung, dimana wilayah tersebut merupakan daerah resapan air, telah mengakibatkan menurunnya keseimbangan alam.

Ratusan hingga ribuan hektar lahan bekas penggalian bahan tambang galian Golongan C, ditelantarkan begitu saja menjadi lahan kritis dan belum terlihat adanya upaya konservasi lahan.
Lahan kritis tersebut sangat potensial menjadi penyebab terjadinya bencana lingkungan seperti banjir, banjir bandang dan tanah longsor.

Tambang Galian C di Jalan Raya Weleri Sukorejo. (Dok. foto:Adang)

Kerusakan hutan sebagai daerah resapan air telah menimbulkan erosi yang sangat masiv. Sebagai akibatnya adalah terjadinya sedimentasi dan pendangkalan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti Sungai Aji, Sungai Blorong, Sungai Bodri, Sungai Blukar dan beberapa sungai yang ada di Kabupaten Kendal.

Sedimentasi atau endapan lumpur juga terjadi di muara-muara sungai yang mengalir ke Laut Jawa, sehingga telah mengakibatkan pendangkalan yang luar biasa.
Pengamatan langsung oleh penulis pada 11 Januari 2021 lalu, didapat fakta bahwa pendangkalan muara Kali Kendal di pantai Bandengan Kendal, diperkirakan sudah mencapai sejauh 1,5 mil. Dimana kedalaman air lautnya hanya di kisaran 50-75 cm.

Hal-hal tersebut telah menyebabkan permasalahan lingkungan yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk menemukan solusinya.
Kondisi yang sudah memprihatinkan itu, semakin rumit lagi dengan permasalahan dan penanganan sampah yang tidak juga kunjung usai.


Pendangkalan sungai juga telah menurunkan kemampuan sungai untuk menampung air pada musim hujan manakala hujan yang turun intensitasnya tinggi. Potensi banjir akibat limpasan air sungai menjadi semakin meningkat dan sangat membahayakan bagi kehidupan warga yang tinggal di sepanjang daerah aliran sungai.

Banjir rob
Para ahli bersepakat bahwa di sepanjang pesisir Pantai Utara Pulau Jawa, telah terjadi fenomena geologi berupa penurunan tanah.
Penurunan tanah yang terjadi di Kendal, telah menimbulkan bencana lingkungan berupa banjir dan rob yaitu masuknya air laut ke daratan.

Penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Laboratorium Geodesi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB), terkait dengan penyebab terjadinya banjir dan rob atau naiknya air laut ke daratan, penurunan tanah di Pekalongan mencapai rata-rata 10 cm hingga 17 cm per tahun. Pengukuran tersebut dilakukan dengan memakai alat Global Positioning System (GPS).

Dampak rob di Jalan Laut Kendal Bandengan. (Dok. foto: Adang).

Sementara itu, Badan Geologi Kementerian ESDM, yang melakukan penyelidikan geologi terpadu di wilayah Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa antara lain daerah Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, dan Demak, terungkap bahwa di sepanjang tahun 2020, dimana hasil penelitiannya menunjukkan adanya penurunan tanah sekitar 6 cm per tahun.

Dikutip dari laman Kementerian ESDM RI, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Eko Budi Lelono, dalam diskusi virtual Badan Geologi yang diselenggarakan pada Rabu (20/1/2021), mengatakan bahwa besaran penurunan tanah memang bervariasi tergantung dari pengukurannya. Penurunan tanah atau land subsidence di wilayah Pantura Jawa Tengah memang semakin memprihatinkan.

Kepala Laboratorium Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Heri Andreas, Senin (2/8/2021), mengatakan bahwa di wilayah pesisir pantai di Indonesia ada 112 kabupaten/kota yang terancam tenggelam akibat perubahan iklim.

Pemanasan global, kenaikan muka air laut, dan pembuatan sumur air dalam serta alih fungsi lahan pertanian dan tambak yang diurug menjadi daerah permukiman serta industri, juga menjadi faktor penyebab terjadinya banjir dan rob di wilayah Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, dan Demak.

Kabupaten Kendal adalah salah satu dari 112 daerah yang terancam tenggelam. Banjir dan rob yang terjadi, secara perlahan-lahan telah menenggelamkan ribuan hektar lahan pertanian produktif, dan berubah fungsi menjadi tambak ikan maupun udang.

Lahan sawah yang terendam rob di bagian Utara Kelurahan Kalibuntu Kendal. (Dok. foto: Adang).

Fakta di lapangan bisa kita lihat secara kasat mata ada di wilayah Desa Mororejo dan Wonorejo di Kecamatan Kaliwungu, kemudian di Kelurahan Karangsari, Bandengan, Balok dan Kalibuntu di Kecamatan Kota Kendal serta Desa Wonosari dan Kartika Jaya di Kecamatan Patebon.

Di Wilayah tersebut, banjir dan rob sudah menenggelamkan ratusan hektar lahan sawah produktif, yang menjadi lumbung padi bagi Kabupaten Kendal.
Bahkan banjir rob juga telah menenggelamkan areal persawahan di sepanjang Jalan Laut Kendal, yang masuk di wilayah Kelurahan Bandengan dan Ngilir, dimana jaraknya kurang lebih 3 km dari garis pantai Bandengan.

Jika kondisi tersebut tidak segera dilakukan upaya untuk mencegah semakin meluasnya areal genangan akibat rob air laut, maka bukanlah hal yang mustahil jika dalam waktu yang tidak lama, Kendal akan tenggelam dan hilang dari peta dunia.

Moh. Supri, warga Kelurahan Karangsari, Kecamatan Kota Kendal, mengatakan bahwa saat ini banjir rob telah merendam puluhan hektar lahan sawah milik warga.
“Beberapa tahun yang lalu, kira-kira 5 atau 6 tahun yang lalu, lahan yang terendam itu adalah lahan pertanian padi yang sangat subur dan produktif. Tapi saat ini sudah tidak bisa lagi ditanami padi. Sudah jadi tambak”, tutur Moh. Supri.

Alih fungsi lahan picu permasalahan baru
Di sisi yang lain, alih fungsi lahan di Kabupaten Kendal untuk keperluan Kawasan Industri Kendal (KIK) yang mencapai lebih dari 5.000 hektar, yaitu dengan cara mengurug lahan di sepanjang pesisir pantai mulai dari Desa Mororejo di Kecamatan Kaliwungu yang direncanakan hingga Desa Kartika Jaya di Kecamatan Patebon.

Wilayah yang diurug tersebut semula adalah areal tambak dan rawa yang juga berfungsi sebagai daerah tampungan air.
Hilangnya daerah tampungan air tentunya akan menimbulkan persoalan baru, dimana air yang dulu menggenangi akan mencari tempat yang lebih rendah, sehingga potensi serta ancaman bencana banjir akan semakin besar dan sulit untuk dielakkan.

Alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman penduduk di Kelurahan Bandengan Kendal. (Dok. foto: Adang).

Namun hingga sekarang, belum terlihat adanya upaya dari pihak-pihak terkait untuk meminimalisir dampak negatif seperti banjir yang sangat mungkin terjadi, apalagi saat ini telah memasuki musim hujan.

Rob dan alih fungsi lahan turunkan produksi padi
Berkurangnya lahan pertanian subur karena terdampak rob dan alih fungsi lahan untuk kawasan industri, telah berdampak pada penurunan produksi gabah di Kabupaten Kendal.

Terkait dengan hal tersebut, Plt Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Kendal, Pandu Rapriat, S.P, Minggu (21/11/2021), saat dihubungi via telepon selulernya, membenarkan bahwa kedua hal tersebut telah mengakibatkan terjadinya penurunan produksi padi atau gabah.

“Maraknya alih fungsi lahan jelas berpengaruh terhadap produksi padi. Untuk mengejar target produksi dilakukan dengan memanfaatkan peran dari teknologi pertanian diantaranya dengan percepatan tanam, dan menanam benih padi varietas- varietas genjah. Sementara itu, untuk lahan-lahan produktif dengan irigasi teknis diupayakan bisa 3 kali tanam atau bahkan 4 kali dalam satu tahun”, papar Pandu.

Plt. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kendal, Pandu Rapriat, S.P. (Dok. foto: IST).

Menurut Pandu, banjir rob yang merendam lahan persawahan sudah tentu tidak bisa lagi untuk ditanami padi. Selain itu, banjir rob juga telah menyebabkan kadar garam (Salinitas) air di persawahan menjadi tinggi dan menyebabkan produksi padi mengalami penurunan.

Karena kejadian tersebut selalu berulang, lanjut Pandu, upaya yang sudah dilakukan oleh para petani diantaranya dengan tidak melakukan pertanaman di lokasi yang biasa tergenang di waktu yang sama atau menanami padi dengan bibit padi varietas tahan salinitas tinggi.

“Lahan yang terkena genangan rob, harus menunggu sampai kondisi genangan air laut surut dan ada pergantian air pada lahan sawah itu. Karena jika dipaksakan digarap dan ditanami padi, akan berdampak pada pertumbuhan tanaman padi, karena pertumbuhannya menjadi tidak sempurna karena tanaman menjadi layu dan mati, selain dapat mengeluarkan bulir padi hampa atau kosong”, tandas Pandu. (*).
Penulis: Adang Purnomo.