Catatan : M. Sukri
(Ketua JMSI Kaltim)
LEBIH setahun pandemi Covid-19 belum juga berakhir. Beragam siasat negara, tak cukup ampuh menghentikan ‘tarian’ virus yang pertama kali merebak di Wuhan, China itu. Bukannya berkurang, lonjakan angka Covid makin sulit dibendung.
Akhir Desember 2019, Covid masih ‘berdansa’ di Jakarta dan Bogor, tapi sekarang Covid justru terus berselancar ke pegunungan dan lembah pedalaman.
Terbaru, Covid-19 merenggut nyawa sepasang suami istri di Kampung Linggang Purworejo, Kecamatan Tering, Kabupaten Kutai Barat. Daerah pedalaman berjarak sekitar 9 jam dari ibu kota Kalimantan Timur, Samarinda, Mereka meninggalkan seorang anak bernama Alviano Dava Raharjo atau Vino, bahkan Gubernur Kaltim Isran Noor pun berinisiatif untuk mengadopsi Vino yang kini harus hidup sebatang kara.
Istilah penanganan Covid pun silih berganti. Hampir tak terhitung. Perubahan judul itu setiap hari melintas di ruang pikir rakyat yang kian sesak berkelahi dengan urusan perut mereka.
Karantina, lockdown, local lockdown, PSBB, PPKM, PPKM Mikro, PPKM Mikro Diperketat, PPKM Darurat sampai sekarang diubah lagi menjadi PPKM Level 4.
Sementara dari rumah sakit dan rumah-rumah karantina para tenaga kesehatan, dokter dan perawat mulai kelelahan. Jumlah kasus yang terus melonjak membuat mereka harus mengeluarkan tenaga super ekstra dengan tingkat kehati-hatian yang super ketat. Pasalnya, sudah tidak terhitung tenaga kesehatan yang terpapar dan akhirnya meninggal dunia.
Pemimpin negara tak jarang selisih pendapat di depan rakyat. Koordinator PPKM Darurat Jawa Bali Luhut Binsar Pandjaitan misalnya bilang, Covid-19 terkendali. Sementara Si Pemberi Amanah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bilang Covid-19 sudah tidak terkendali sehingga membingungkan rakyat.
Belakangan, Luhut yang juga duduk di kursi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, mengakui keganasan Covid-19.
Secara terbuka dia lalu mengatakan, varian Delta tidak terkendali. Berikutnya, dia meminta masyarakat “paham” upaya keras dari pemerintah untuk menangani pandemi ini. Sehebat apa pun upaya pemerintah, tanpa dukungan masyarakat dan komponen bangsa lainnya, tidak akan maksimal. Kata Luhut.
Berbagai cara sudah dilakukan memang. Baik dalam upaya pencegahan dan penanganan pasien Covid-19, maupun langkah-langkah strategis untuk memulihkan ekonomi nasional yang jungkir balik dihajar Covid.
Mulai memberikan paket sembako Covid yang juga ‘disunat’ sana-sini oleh menteri dari partai penguasa. Ada pula bantuan untuk UMKM, masyarakat miskin, pekerja bergaji di bawah UMP dan segala macam. Tapi rasanya, kehidupan masyarakat tetap saja sulit.
Berbagai kebijakan pemerintah mulai soal protokol kesehatan, vaksin, refocusing anggaran untuk Covid dan segala kebijakan lainnya, ternyata tidak cukup ampuh untuk menghentikan Covid.
Kelompok kritis seperti Fadli Zon berpandangan. Pemerintah salah dalam mendiagnosa pandemi ini. Akibatnya, strategi dan kebijakan yang diambil pun tidak akurat. Hasilnya bisa dilihat secara kasat mata. Angka kasus positif Covid-19 di Indonesia, kian mengkhawatirkan.
Salah satu langkah yang menurut Fadli Zon, tidak tepat adalah ketika Indonesia tidak bisa menghitung betapa rawan pandemi ini hingga urusan pemenuhan oksigen pasien.
Juni lalu misalnya, ketika varian Delta mengamuk di India, hingga rumah sakit di sana lumpuh kekurangan oksigen, Indonesia tanpa banyak analisa mengirimkan berton-ton oksigen ke India. Sebulan kemudian, justru banyak warga Indonesia yang terkapar mati karena rumah sakit sudah kehabisan oksigen.
Maka kritik pun dilancarkan. Penanganan pandemi ini, tidak bisa hanya dipimpin oleh Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Investasi dan Menko Perekonomian. Upaya mengatasi pandemi ini harus langsung dipimpin oleh Presiden Jokowi.
Maka tidak heran, di tengah masih tingginya kasus positif yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai pembatasan, masyarakat hanya bisa mengeluh.
Beragam meme di media sosial pun bermunculan. Salah satunya momen saat Presiden Joko Widodo terlihat duduk di tempat tidur di salah satu rumah sakit. Entah kapan foto itu diambil. Lantas di bawahnya tertulis “Bapak jangan sakit ya, biar rakyat aja yang sakit, kalo bapak yang sakit, siapa dong nyakitin rakyat.”
Tentu ini sindiran yang cukup menyengat Presiden. Jokowi pasti tidak ada sedikit pun niatan menyakiti rakyatnya. Sebaliknya, Presiden pasti punya keinginan besar, mimpi besar dan kerja besar untuk melindungi rakyatnya. Menyehatkan rakyat dan memulihkan kembali ekonomi nasional.
Tapi apakah niat Presiden itu benar-benar diikuti para pembantunya? Nah itu yang sulit diungkapkan dan sulit dibuktikan. Kecuali yang sedang dalam proses hukum untuk korupsi bantuan paket sembako korban Covid yang menyeret Menteri Sosial Jualiari Batubara dari PDIP.
Banyak usaha tutup, berjualan dibatasi, sopir taksi tak dapat penumpang, kuli pelabuhan makin sulit cari rejeki. Rakyat disuruh berdiam diri di rumah tapi pekerja WNA, leluasa masuk seperti di rumah sendiri.
Setujukah anda jika setahun ke depan gaji insentif dan lain-lain hak pejabat, mulai dari Presiden, Menteri dan setingkatnya, serta para kepala daerah, termasuk gaji/honor/tunjangan dan lain-lain pendapatan anggota badan-badan yang digaji negara dipotong untuk rakyat yang sedang menghadapi simalakama antara menghindari sakit dan harus mencari makan.
Para pejabat mungkin masih bisa makan, meski satu atau dua tahun berdiam di rumah, tapi orang-orang kecil yang belum tentu bisa makan dua kali sehari, akan semakin sulit bila tak diurusi oleh negara.
Diagnosa pandemi ini memang harus tepat. Sebab jika tidak, pasti bukan pejabat yang sakit, tapi rakyat. Karena mereka pasti sulit cari makan dan tak punya duit untuk bayar utang.
Rakyat itu tak ubahnya seperti sandal jepit. Jadi kemana pun sang empunya membawa pergi, dia akan setia dan patuh mengikuti sang tuan. Meski harus selalu sakit karena selalu di bawah dan diinjak-injak.
Maka kepada para pemimpin, bahagiakan lah rakyat kalian, jangan sakiti, jangan pula dana bansos dikorupsi, atau sibuk mencari keuntungan gede dengan kekuasaan di tangan di tengah sakit yang sampai hari ini masih dirasakan rakyat yang faktanya semakin sulit mencari makan.
Rakyat sebenarnya sudah muak dengan banyak diskusi, karena mereka hanya butuh eksekusi. Mereka juga akan taat patuh protokol kesehatan dan ikut menyukseskan program vaksinasi agar bisa kembali makan nasi, sehari tiga.[]