Masih Ada Ketimpangan Sasaran Penerima Subsidi Energi

Jakarta, (MEDGO.ID) — Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Ahmad Syaikhu  menilai ketimpangan dalam alokasi sasaran penerima subsidi energi terus berulang, dan merupakan permasalahan yang harus diselesaikan bersama. Menurutnya, perlu ada penelaahan secara menyeluruh dengan pihak-pihak terkait subsidi energi.

Berdasarkan hal itu, BAKN meminta masukan dan pandangan dari kelompok konsumen atau penguna terkait permasalahan alokasi pendistribusian subsidi energi. “Ini dilatarbelakangi temuan-temuan BPK, tentu menelaah temuan ini, kita ingin mengetahui sebetulnya kondisi di lapangan seperti apa, karena itu dalam rapat hari ini kami mengundang para kelompok konsumen yang memang banyak menerima keluhan dari pengguna,” kata Syaikhu di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (6/7/2020).

Hadir dalam rapat tersebut sebagai kelompok konsumen atau pengguna subsidi energi, antara lain Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Harya Koko Dilon, Ketua Umum Organisasi Angkutan Darat (Organda) Adrianto Djokosoetono, dan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.

BACA JUGA :  Reses Aleg Dapil Dungingi-Kota Barat, Antusias Warga Tinggi

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menuturkan, subsidi energi di Indonesia dalam satu dekade terakhir mencapai angka lebih dari Rp 100 triliun setiap tahunnya. Lebih dari itu, pada tahun 2014 angka subsidi energi mencapai Rp 246,5 triliun pada 5 kementerian/lembaga. Bahkan, belanja subsidi secara keseluruhan pernah dialokasikan hampir Rp 400 triliun atau 30 persen dari total APBN tahun 2014.

Tercatat subsidi energi dalam postur sementara APBN 2020 sebesar Rp 125,3 triliun, sedangkan dalam RAPBN 2020 sebesar Rp 137,5 triliun. Secara input, subsidi BBM dan LPG turun Rp 4,7 triliun menjadi Rp 70,6 triliun dibandingkan RAPBN 2020 yang sebesar Rp 75,3 triliun. Subsidi listrik dalam postur sementara APBN 2020 sebesar Rp 54,8 triliun, turun Rp 7,4 triliun dibandingkan RAPBN 2020 yang sebesar Rp 62,2 triliun.

“Dalam konteks besarnya angka subsidi itu, maka selama bertahun-tahun, subsidi energi menjadi salah satu beban fiskal yang signifikan bagi Pemerintah Indonesia. Rerata, pengeluaran terkait subsidi konsumen saja sudah mencapai sekitar 3,1 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) tahunan per tahun fiskal. Biaya ini menyebabkan ketidakstabilan makroekonomi dan cenderung membebani belanja pembangunan,” jelas Syaikhu.

BACA JUGA :  Lurah Huangobotu Menaruh harapan Besar, 5 Aleg Dekot Gorontalo Dapil Dungingi - Kota Barat

Oleh karena itu, kebijakan subsidi di Indonesia diharapkan dapat tepat sasaran dan memastikan kelompok masyarakat miskin agar tetap memiliki akses terhadap pelayanan publik, pembangunan ekonomi dan sosial. “Kita ingin subsidi energi ke depan bisa lebih efektif dan tepat sasaran pada masyarakat berpenghasilan rendah, yang memang perlu mendapatkan subsidi. Kedua, kita juga perlu menekan berbagai kebocoran distribusi BBM, karena itu masukan dari rapat hari menjadi catatan kami untuk melihat bagaimana pola-pola subsidi energi ke depan yang lebih efektif,” imbuh mantan Wakil Wali Kota Bekasi itu.

Sementara itu,  Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan subsidi energi khususnya untuk BBM perlu dicarikan solusi. Mengingat, saat ini tak penggunaan BBM bersubsidi belum tepat sasaran. Ia juga menyoroti, distribusi LPG 3 kg yang pada prakteknya terjadi anomali dan diorientasi sasaran, yang manfaatnya jatuh pada kelompok yang tidak semestinya.

BACA JUGA :  Malam Pembukaan UMKM Fest 2024: Dorongan Baru bagi Pertumbuhan Ekonomi Gorontalo

 

Tulus mengatakan, subsidi gas LPG 3 kg menjadi tidak tepat sasaran, karena pengguna 12 kg yang turun kelas merupakan kelompok masyarakat mampu. Sementara LPG 3 kg ditargetkan kepada kelompok tidak mampu atau miskin. Terjadinya anomali tersebut, karena disparitas harga yang tinggi dan tingkat kepraktisan.

“Saya kira anomali gas 3 kg ini harus segera di-reviewreview-nya seperti apa itu harus didiskusikan. Kalau mau didorong sebenarnya jangan menggunakan LPG, tetapi gas alam atau jaringan gas yang dengan konsekuensi jaringan ini dibangun Pemerintah. Dengan jaringan gas ini, masyarakat akan bayar gas lebih murah, lebih ramah lingkungan juga dan tidak perlu impor, karena bisa dipasok dalam negeri,” tandasnya. (Humas DPR/ann/sf)

Komentar ditutup.