Oleh : Eka Purnama, M.Si.
(Dosen Ekonomi Syariah IAIN Sultan Amai Gorontalo)
Pemerintah telah menetapkan aturan yang membolehkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk memiliki izin pengelolaan tambang. Hal ini memungkinkan badan usaha milik ormas keagamaan diberikan jatah Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang bersifat prioritas. Padahal selama ini diprioritaskan untuk badan usaha negara dan daerah.Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu-bara(Kompas.id, 4/6/2024).
Pemerintah pun membeberkan bahwa pemberian izin pengelolaan yang diberikan, bertujuan untuk pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat/umat, seperti yang tertera pada Pasal 83A Ayat(1) PP 96/2021 s.t.t.d PP 25/2024 (rri.co.id, 3/6/2024).
Beberapa ormas keagamaan pun diprediksi akan mendapatkan jatah WIUPK, mulai dari ormas Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Mengutip dari CNN Indonesia, PBNU merupakan salah satu ormas yang akan diberikan pengelolaan tambang bekas PT Kaltim Prima Coal (KPC). Menteri Investasi/BKPM, Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa PBNU telah mengurus izin pengelolaan tambang kepada Menteri Investasi/BKPM, dan menegaskan bahwa ia akan mempercepat penerbitan izin pengelolaan tambang tersebut(cnnindonesia.com, 7/6/2024)
Menuai sejumlah kontroversi
Akan tetapi, kebijakan tersebut langsung menuai kontrovesi dari berbagai elemen masyarakat. Sejumlah pihak menilai peraturan ini bertentangan dengan UU Minerba dan berpotensi memunculkan berbagai persoalan, mulai dari rawannya konflik horizontal karena perebutan ruang hidup, hingga isu-isu yang bersifat politik.
Direktur Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman juga mengkhawatirkan kebijakan ini berpotensi memicu konflik horizontal antara ormas keagamaan dengan masyarakat adat, bahkan bisa menjadi konflik SARA yang isunya bisa dipelintir kemana-mana. Selama ini juga sudah banyak kasus konflik antara masyarakat adat dengan proyek tambang dan investasi.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho menganggap bahwa sejumlah pasal dalam kebijakan itu bertentangan dengan UU Minerba. Iamenjelaskan dalam Pasal 83A PP 25/2024 bertentangan dengan Pasal 75 ayat (2) dan (3) UU Minerba di mana prioritas pemberian Izin Usaha Pertambanga Khusus (IUPK) diberikan kepada Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Selain itu, Pasal 74 Ayat (1) UU Minerba juga menyebutkan bahwa pemberian IUPK harus memperhatikan kepentingan daerah (hukumonline.com, 6/6/2024)
Bukan kali pertama, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan UU. Hal ini mencerminkan betapa lemahnya supremasi hukum dalam demokrasi. Sistem ini menempatkan hukum di bawah kepentingan politik. Penguasa dengan mudahnya mengubah aturan sesuai dengan kepentingannya, demi melanggengkan penguasaan oligarki terhadap sumber-sumber kekayaan umat.
Di samping itu, politik transaksional juga sudah menjadi hal yang lumrah dalam sistem demokrasi. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam), Prof. Mahfud MD, sebelumnya mengingatkan pemilu pada tahun 2024 cenderung masih transaksional (ugm.ac.id). Janji-janji diberikan oleh para politisi untuk “membeli” suara, salah satunya hak konsesi tambang. Sehingga pasca pemilu, politisi yang memenangkan pemilu harus menunaikan janji sebagai balas budi bagi segelintir orang yang telah membawanya pada tampuk kekuasaan.
Penolakan keras juga berasal dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang menilai ormas keagamaan tidak memiliki kapasitas untuk mengelola tambang. JATAM jugamengingatkan, bahwa pertambangan itu padat modal dan padat teknologi. Hal tersebut berpeluang menjadikan ormaskeagamaan hanya menjadi “alat” perusahaan untuk masuk ke wilayah pertambangan. Sebaliknya JATAM mengajak ormas keagamaan berdiri bersama warga di garis depan krisis untuk pemulihan dampak buruk sosial-ekologis pada masyarakat dan lingkungan. (jatam.org, 3/6/2024)
Penentangan atas kebijakan pemerintah yang memperbolehkan ormas keagamaan mengelola tambang adalahhal yang wajar terjadi. Pasalnya ormas keagamaan memang memiliki tupoksi yang berbeda dangan perusahaan pertambangan. Masuknya ormas keagamaan dalam dunia pengelolaan tambang dapat berdampak pada disorientasi dan disfungsi kelembangaan. Ormas masyarakat selayaknya menjadi penyambung lidah masyarakat untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta senantiasa berada di pihak yang membela kepentingan masyarakat secara luas, bukan kepentingan golongan semata.
Pengelolaan Tambang Perspektif Syariah Islam
Islam memandang tata kelola pertambangan dikembalikan pada masalah kepemilikan. Berbeda dengan sistem kapitalisme, sistem ini tidak mempunyai aturan baku yang mengatur masalah kepemilikan. Sehingga siapa pun dapat memiliki, menguasai dan mengelola apa pun.
Perspektif Syariah Islam membagi kepemilikan menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara dan dan kepemilikan umum. Adapun tambang yang memiliki hasil melimpah termasuk dalam kepemilikan umum. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang gembalaan dan api.” (HR. Abu Dawud)
Ketiga hal tersebut merupakan sumber daya alam yang melimpah sehingga tidak boleh hanya dikuasai oleh segelintir manusia atau kelompok tertentu, bahkan negara tidak berhak memilikinya. Ia merupakan kepemilikan umum yang menjadi hak umat. Dalam hal pemilikan umum, negara seharusnya menjadi pengelola dan hasilnya dikembalikan seluruhnya kepada umat. Negara tidak boleh menyerahkan ke pihak swastayang mencari profit.
Dengan pengaturan semacam ini, hasil dan manfaatkekayaan alam khususnya tambang dapat dirasakan oleh umat.Hasil tersebut dapat diberikan secara langsung untuk dikonsumsi atau dalam bentuk lain seperti pengadaan sarana dan prasarana, pembangunan infrastruktur, pembiayaan pendidikan, kesehatan dan berbagai kebutuhan rakyat.
Pengelolaan tambang dilakukan oleh negara dalam syariat Islam juga dapat meminimalisir bahkan menghilangkan terjadinya dampak buruk sosial-ekologis yang kerap terjadi.Selain itu, pengelolaan oleh negara memungkinkan adanya pemasukan yang besar untuk memenuhi kebutuhan negara dalam mengurus kebutuhan umat.
Wallahu a’lam bish-shawab