Angka Pengangguran Gen Z Tinggi, Gobel Minta Pemerintah Prioritaskan Sektor Padat Karya

JAKARTA, MEDGO.ID – Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel meminta pemerintah untuk memberikan prioritas pada sektor padat karya, seperti industri manufaktur, pertanian, garmen, alas kaki, pangan, handicraft, mebel, kuliner, dan UMKM. “Manusia hakikatnya makhluk rasional. Tidak ada profesi yang ditinggalkan jika jenis profesi itu menguntungkan, termasuk sektor padat karya. Jadi pemerintah harus fokus ke sektor padat karya agar tak terjadi pengangguran pada Gen-Z,” katanya, Senin, 27 Mei 2024.

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk bekerja adalah 139,85 juta jiwa, tingkat pengangguran terbuka (TPT) 5,32%, dan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) 69,48%. Saat ini jumlah penduduk Indonesia adalah 281,6 juta jiwa dengan jumlah angkatan kerja 147,7 juta jiwa, jumlah pengangguran 7,855 juta jiwa, dan jumlah bukan angkatan kerja 64,879 juta jiwa. Data BPS juga menunjukkan bahwa 9,9 juta penduduk usia 15-25 tahun sedang tidak mengikuti pendidikan, sedang tidak memiliki pekerjaan, dan sedang tidak mengikuti pelatihan alias sedang menganggur. Dari jumlah itu 5,73 juta orang adalah perempuan dan 4,17 juta laki-laki. Mereka adalah Gen Z atau lahir pada periode 1997-2012. Saat ini sedang marak pemberitaan tentang besarnya Gen-Z yang menganggur. Untuk itu, Gobel mengajukan solusi untuk menampung Gen-Z agar memiliki pekerjaan.

Gobel menekankan, generasi muda adalah masa depan bangsa. Di saat mereka di usia produktif, seperti usia 15-25 tahun, katanya, harus memiliki pekerjaan. Apalagi saat ini Indonesia sedang dalam fase bonus demografi. “Jika mereka menjadi penggangguran maka mereka menjadi beban nasional. Jika mereka terjebak ke dalam narkoba dan kriminalitas maka hal itu makin memperparah kondisi nasional. Ini akan menjadi ancaman serius di masa depan. Jangan sampai Indonesia Emas menjadi Indonesia Cemas,” katanya.

BACA JUGA :  Gegara Ingin Menikah Lagi dengan Wanita Muda, Istrinya Ditebas

Gobel meminta agar pemerintah memiliki perhatian serius dalam pengelolaan sektor-sektor tersebut. “Ini bukan hanya menyangkut penyerapan tenaga kerja yang besar, pengentasan kemiskinan, dan menyejahterakan masyarakat. Tapi juga ada values, nilai-nilai, yang bersifat strategis, seperti berkontribusi terhadap persoalan ancaman krisis pangan, membangun daya cipta dan daya kreasi, serta soal masa depan bangsa dan negara. Misalnya sektor pertanian, kan adanya di desa-desa dan Gen Z itu merupakan generasi emas, maka masalah ini sudah menyangkut ketahanan nasional dan masa depan NKRI. Ini menyangkut eksistensi Indonesia di masa depan yang bercita-cita tahun 2045 menjadikan negeri kita sebagai Indonesia Emas,” katanya.

Namun pada sisi lain, kata Gobel, pemerintah justru bertindak sebaliknya. Pertama, pemerintah baru saja mengubah aturan impor bidang manufaktur seperti industri elektronika dan garmen dengan melonggarkan aturan impor yang menghilangkan syarat Pertimbangan Teknis. “Padahal produk-produk tersebut sudah bisa dibuat di dalam negeri. Ini tentu saja merugikan industri dalam negeri serta membuat investor asing dan dalam negeri tak tertarik berinvestasi di Indonesia. Selain itu juga bisa membuat industri manufaktur gulung tikar dan masyarakat kehilangan pekerjaan. Silakan dibrowsing di internet sudah berapa banyak industri yang gulung tikar akibat pemerintah lebih berpihak ke industri negara lain,” katanya.

BACA JUGA :  Pj Wali Kota Gorontalo Tekankan Transparansi dalam Pengelolaan Dana BOSP

Kedua, pemerintah tak memberikan perhatian serius di sektor pertanian, kelautan, dan industri pangan. Hal ini dibuktikan dengan banjirnya impor pertanian, termasuk impor beras, singkong, dan buah-buahan. Selain itu, juga banyaknya kapal asing yang mengeruk ikan di laut Indonesia. Indonesia juga banyak mengimpor olahan pangan. “Para petani kita dibiarkan bertarung sendiri. Tak ada perlindungan. Tak dibuatkan ekosistem yang berkelanjutan. Contoh sederhana, di saat climate change dan elnino, buat nonpetani paling hanya mengeluh panas dan naiknya harga. Tapi buat petani itu berarti gagal panen dan tanaman menjadi puso. Siapa yang menanggung kerugiannya? Tak ada perlindungan, tak ada insentif khusus, dan tak ada ganti rugi. Pertanian itu bukan hanya pupuk, bibit, alat pertanian, dan penyuluhan, tapi juga irigasi, permodalan, penjaminan, kepastian pembelian, dan kepastian harga. Ini butuh ekosistem yang melibatkan banyak kementerian. Sudah saatnya Indonesia memberikan perhatian yang lebih maksimal,” katanya.

Gobel bercerita tentang hasil kunjungannya ke pabrik tepung singkong dan tepung sagu di Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Selain Indonesia masih impor tepung singkong dari Thailand, katanya, harga tepung singkong Indonesia tidak kompetitif dibandingkan dengan Thailand. “Mengapa bisa begitu? Karena Thailand sudah lama menyiapkan ekonomi singkong ini dengan membangun ekosistemnya,” katanya.

BACA JUGA :  Polda Gorontalo Ungkap 3 Lelaki dan 3 Wanita, Perdagangan Orang dan Prostitusi Online MiChat

Berdasarkan uji coba di Gorontalo, kata Gobel, pertanian singkong bisa memberikan keuntungan yang besar bagi petani. Jika umumnya per batang singkong hanya menghasilkan 2-8 kg, katanya, dalam uji coba di Gorontalo bisa menghasilkan 20-30 kg per batang. Demikian pula saat uji coba pertanian jagung dan padi, yang hasilnya bisa dua kali lipat lebih. “Tapi itu butuh pendampingan dan intensifikasi dalam pengolahan. Lalu setelah panennya berlimpah juga harus ada kepastian pembelian dengan harga yang baik yang harus terintegrasi dengan industri pengolahan pangan. Karena itu soal pertanian ini bukan hanya urusan kementerian pertanian,” katanya.

Berdasarkan apa yang telah dilakukannya, Gobel mengatakan bahwa profesi pertanian sebetulnya menjadi profesi yang sangat menguntungkan. “Apalagi pertanian hortikultura. Ini lebih menguntungkan lagi. Ini pasti akan membuat Gen Z tertarik untuk masuk sektor pertanian dan pangan. Sektor pertanian itu luas dan menyerap tenaga kerja yang besar,” katanya.

Gobel juga meminta pemerintah untuk lebih giat memperkuat pendidikan keterampilan dan balai latihan kerja. “Di masa depan, arus migrasi antarnegara makin tak terelakkan, termasuk untuk pekerjaan-pekerjaan kasar seperti sopir, dan lain-lain. Jangan sampai nanti diisi tenaga kerja asing juga,” katanya.
(*)