Palu, MEDGO.ID — Aksi tolak tambang ilegal dikabupaten Parigi Moutong, mengakibatkan 1 (satu) korban tewas. Kini pihak Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, tengah melakukan penyelidikan, penyebab tewasnya massa aksi.
Menyikapi kematian seorang warga, yang diduga tewas tertembak, dalam aksi pembubaran massa yang memblokade jalan poros trans Sulawesi, Polda Sulawesi Tengah memulai penyelidikan kasus tersebut dengan memeriksa 17 anggota Kepolisian Resort (Polres) Parigi Moutong.
Ketujuh belas anggota Polres yang diperiksa oleh Penyidik Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulawesi Tengah terbukti membawa senjata api saat Polisi melakukan penindakan pembubaran paksa pemblokiran jalan di Desa Sinei, Kecamatan Tinombo Selatan, pada Sabtu (12/2). Dalam peristiwa itu seorang warga bernama Faldi alias Aldi (21) tewas akibat luka tembak.
“Kemudian senjata api yang diamankan sebanyak 15. Ini nanti, dari jumlah senjata ini akan kita cocokkan dengan uji balistik, kita cocokkan dengan proyektil yang ditemukan di TKP (tempat kejadian perkara),” jelas Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tengah, Kombes Pol Didik Supranoto, dalam konferensi pers di Mapolres Parigi Moutong, pada Senin (14/2), dikutip dari voaindonesia.
Didik menjelaskan uji balistik terhadap kelima belas pucuk senjata api itu dilakukan oleh tim Laboratorium Forensik dari Makassar, Sulawesi Selatan, yang telah dikirim untuk membantu pengungkapan kasus tersebut.
“Hasil uji balistik kalau memang ada yang cocok dengan 15 senjata itu maka nanti bisa dilakukan gelar untuk memastikan kira-kira siapa pelakunya,” Kata Kombes Pol Didik Supranoto. Ia menambahkan bahwa Polda Sulawesi Tengah telah membentuk tim untuk melakukan penyelidikan melibatkan Bidang Profesi dan Pengamanan, Inspektur Pengawasan Daerah, Direktorat Kriminal umum serta pelibatan tim Laboratorium Forensik Makassar.
Pemblokiran jalan terjadi saat warga masyarakat dari Kecamatan Toribulu, Kasimbar dan Tinombo Selatan menggelar aksi unjuk rasa penolakan tambang emas. Massa aksi mendesak kehadiran Gubernur Sulawesi Tengah untuk mendengarkan aspirasi mereka. Pemblokiran jalan berlangsung selama 12 jam dan menimbulkan kemacetan hingga 10 kilometer.
Desakan Pencabutan IUP Tambang Emas
Sementara itu dari pemantauan VOA, sekitar 300 orang yang menamakan diri mereka Aliansi Rakyat Bersatu menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah di kota Palu. Dalam orasinya massa mendesak pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Tambang Emas PT Trio Kencana serta mengecam tindak represif aparat kepolisian di Parigi Moutong. Massa kemudian membubarkan diri setelah melakukan pertemuan dengan Gubernur Sulawesi Tengah.
“Pertama Gubernur akan mengeluarkan surat rekomendasi ke Kementerian berupa cabut IUP PT Trio Kencana. Gubernur tadi sudah merekomendasikan kepada pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus penembakan yang terjadi di Kasimbar,” teriak Dandy Putra dari Aliansi Rakyat Bersatu saat menjelaskan hasil pertemuan itu di hadapan massa aksi.
Perlu Dengarkan Aspirasi Masyarakat
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, menilai seharusnya pemerintah mau mendengarkan aspirasi masyarakat yang menolak kehadiran tambang emas. Aksi penolakan warga terhadap rencana pertambangan emas PT Trio Kencana di Kabupaten Parigi Moutong sudah berlangsung sejak tahun 2010.
Pada tahun 2020 secara tiba-tiba status IUP perusahaan itu dinaikkan menjadi IUP Operasi Produksi oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral Sulawesi Tengah dengan luasan 15.725 hektare yang menyebabkan masyarakat merasa tertipu karena tidak pernah ada sosialisasi yang dilakukan baik dari pihak perusahaan maupun pemerintah.
“Gubernur Sulawesi Tengah, terlepas dari prosedural perizinan, tata kelola perizinan, dia sebagai orang yang bertanggung jawab atas wilayahnya di Sulawesi Tengah khususnya di Parigi Moutong itu mestinya mendengarkan aspirasi dari rakyatnya, jangan dibiarkan begitu saja, akibatnya sekarang menimbulkan korban baru terjadi reaksi permintaan maaf,” kata Sunardi Katili dalam konferensi Pers di Palu.
WALHI Sulteng menduga aparat kepolisian telah melakukan pelanggaran prosedur tetap kepolisian dalam melakukan pengamanan aksi demonstrasi di Parigi Moutong. Hal itu dibuktikan dengan penggunaan peluru tajam yang menyebabkan salah seorang demonstran meninggal dunia akibat luka tembak.
Gubernur Sulawesi Rusdy Mastura dalam siaran pers, Senin (14/2) menyatakan akan membantu menyampaikan aspirasi masyarakat di Kecamatan Kasimbar dan Tinombo Selatan kepada Pemerintah pusat. [yl/rs]
Sumber : voaindonesia