Pelecehan seksual di kereta api listrik atau commuter line (CL) -yang sering kali dipadati penumpang- kini semakin merajalela. Baru-baru ini sejumlah perempuan menjadi korban pelecehan dengan cara diintip, diambil gambar, dan direkam celana dalamnya melalui kamera tersembunyi di KRL.
Dalam akun @wanitacd, pemilik mengaku mengoleksi celana dalam bekas perempuan dan video hasil mengintip. Akun ini memiliki 7.461 pengikut dan mengikuti 806 akun. Total ada 52 item yang diunggah mulai dari September 2019 hingga November 2020. Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengatakan tindakan yang dilakukan pemilik akun @wanitacd merupakan kekerasan seksual terhadap perempuan di ranah publik.”Kalau pada konteks ini, polisi sebenarnya bisa melakukan tindakan tertentu karena sudah meresahkan orang lain. Jadi semua tindakan yang merugikan, meresahkan orang lain itu menjadi domain negara, dalam hal ini kepolisian untuk melakukan upaya ketertiban umum,” jelas Theresia Iswarini kepada VOA, Sabtu (6/12).Theresia Iswarini menambahkan pemidanaan terhadap pelaku pelecehan sulit dilakukan karena belum ada payung hukum untuk kasus pelecehan seksual. Karena itu, ia mendorong pemerintah dan DPR membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar dapat segera disahkan menjadi undang-undang.Namun, kata dia, para korban juga dapat melapor ke polisi untuk menuntut pelaku secara perdata dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Di samping itu, pelaku juga dapat dituntut dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, jika terbukti menyebarkan konten tersebut di media online.
“Jadi memang dilematis bagi situasi kita. Tetapi saya pikir kepolisian dapat membantu, setidaknya untuk memastikan pelaku tidak melakukan perbuatannya lagi,” tambah Iswarini.
Kepala Sub Divisi Digital at Risks SAFEnet, Ellen Kusuma, mengatakan kasus ini dapat membuat perempuan merasa semakin tidak aman di ranah publik, termasuk KRL Jabodetabek. Menurutnya, kasus pengambilan gambar atau video celana dalam perempuan secara tersembunyi merupakan kasus pertama yang dicatat Safenet. Namun, kata dia, kasus serupa berupa pengambilan gambar atau video perempuan di kereta secara diam-diam pernah terjadi beberapa tahun lalu di platform media sosial twitter.
“Itu sebenarnya ketahuan, karena ada salah satu korbannya tahu. Dia kemudian melakukan protes ramai-ramai hingga akunnya dilakukan take down,” elas Ellen kepada VOA, Sabtu (6/12) malam.
Walaupun setelah berhasil take down, muncul lagi kasus serupa. Jadi ini tantangan kasus kekerasan berbasis gender online. Karena mati satu tumbuh seribu,” lanjutnya.
Ellen menambahkan sulit untuk mencari tahu pelaku Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) karena akun yang digunakan anonim seperti @wanitacd. Namun, kata dia, bukan tidak mungkin pelaku kekerasan tersebut dapat diungkap, jika aparat penegak hukum mau bertindak.
Ellen menjelaskan lembaganya lebih memilih melakukan edukasi kepada masyarakat untuk mencegah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan seperti KBGO. Harapannya, perempuan dapat mengantisipasi kekerasan dan mengetahui lembaga-lembaga bantuan yang berkaitan dengan kasus kekerasan.
Di samping itu, SAFEnet juga mendampingi korban untuk melaporkan kasus kekerasan tersebut ke perusahaan media sosial untuk dapat segera diturunkan konten dan akunnya. Ini seperti akun @wanitacd yang sudah dihapus dan semua kontennya diturunkan setelah dilaporkan dalam hitungan jam.
Pelaku Diduga Mengidap Fetisisme
Pemilik akun Facebook Resti Vurwarin yang melaporkan tindakan pemilik akun @wanitacd menduga pelakunya mengidap fetisisme atau bangkitnya gairah seksual seseorang melalui suatu benda. Namun, menurut psikolog klinis Sustriana Saragih, perlu ada diagnosa langsung terhadap pelaku untuk mengetahui seseorang mengidap fetisisme atau tidak. Meski, ia juga menduga pemilik akun @wanitacd adalah seorang pengidap fetisisme jika dilihat dari perilakunya yang memotret dan merekam celana dalam.
“Semua orang pakai celana dalam. Tapi untuk dia, dia mengimajinasikan celana dalam dengan gambaran-gambaran imajinasi seksual di otaknya. Jadi ketika melihat itu dia terangsang,” jelas Sustriana Saragih.
Sustriana menambahkan fetisisme dapat mengganggu konsentrasi pengidapnya sehingga dapat berpengaruh terhadap hubungan sosial atau pekerjaan mereka. Karena itu, pengidap fetisisme perlu direhabilitasi untuk mengatasi gangguan psikologis tersebut.
Sustriana juga tidak sependapat jika perempuan harus menyesuaikan pakaian mereka untuk mencegah terjadinya Kekerasan Berbasis Gender Online di ranah publik. Ia beralasan kekerasan tersebut terjadi karena pelaku kekerasan atau gangguan psikologis yang dialami seseorang.
“Kalau misalkan dipenjara atau dihukum tidak akan mengubah apa-apa. Keluar akan melakukan hal yang sama karena belum diselesaikan masalahnya. Dia dihukum perilakunya, tapi tidak dibantu untuk mengerti apa yang harus dilakukan. Ini jauh dari kontrol mereka,” tambah Sustri. [sm/ah]
Sumber : voaindonesia