JAKARTA — Lebih dari 20 tahun pasca reformasi, sejarah berulang. Geliat nepotisme dan politik dinasti kembali tampak dalam pemilihan kepala daerah, yang dijadwalkan berlangsung Desember nanti. Ada putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming yang siap bertarung menjadi calon wali kota Solo, dan menantunya Bobby Nasution yang akan berebut kursi wali kota Medan, Sumatera Utara. Ada putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah yang menjadi bakal kandidat wali kota Tangerang Selatan. Keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Saraswati Djojohadikusumo, sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan. Juga Hanindito Himawan Pramono, putra Pramono Anung, yang siap memasuki pilkada di Kediri.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan politik dinasti atau politik kekerabatan bukan hal yang dilarang karena dalam demokrasi setiap orang memiliki kesetaraan. Yang mesti dicegah adalah dampak buruk dari politik dinasti dan calon tunggal. Dalam diskusi virtual bertajuk Pilkada, Antara Dinasti dan Calon Tunggal, Selasa (4/8), Titi mengatakan ada beberapa hal yang menyebabkan politik dinasti dan calon tunggal adalah hal yang kontrversial dan problematik dalam demokrasi meski diakui oleh konstitusi.
“Ada limitasi akses warga negara pada posisi-posisi publik melalui konstestasi pemilu. Rekrutmen calon, baik politik dinasti ataupun calon tunggal, ini dilakukan cenderung tidak demokratis. Melainkan melalui sebuah skema yang eksklusif, tidak terbuka, dan minim partisipasi dari anggota, pengurus, maupun publik,” kata Titi.
Selain itu, lanjut Titi, ada keraguan terhadap kapasitas dan kompetensi kepemimpinan calon dari dinasti politik dibandingkan calon tunggal. Juga ada kencenderungan praktek korupsi yang melibatkan calon berlatar keluarga politik dan calon tunggal.
Titi menegaskan dinasti di pilkada adalah refleksi dari praktek dinasti di partai politik. “Jadi praktik dinasti di partai dilanjutkan dengan pilkada. Biasanya berkaitan dengan penguasaan modal, lalu dia juga menguasai struktur partai dan akhirnya menentukan rekrutmen politik. Itu semua diatur oleh keluarga politik,” ujar Titi.
Titi menekankan penyelenggara pilkada mesti memastikan pelaksanaan pemilihan berjalan secara adil dan setara bagi semua calon, baik itu kandidat dinastik poltik atau calon non-dinasti politik.
20 Persen Wilayah Administrasi Dikuasai Dinasti Politik
Dalam diskusi yang sama, peneliti Yoes Kenawas mengatakan ketika pilkada tahun 2015, 2017, dan 2018 terdapat 202 individu berupaya untuk membuat dinasti politik. Mereka terdiri dari 146 kepala daerah dan 56 wakil kepala daerah.
Dari jumlah tersebut, 117 orang menang dalam pilkada, yakni 82 kepala daerah dan 35 wakil kepala daerah. Sedangkan 85 orang lainnya (64 kepala daerah dan 21 wakil kepala daerah) kalah dalam pilkada.
Dari 117 orang yang menang, mereka berkuasa di 108 wilayah administrasi, baik di kabupaten/kota dan provinsi. Jumlah ini sama dengan 20 persen dari total wilayah administrasi di seluruh Indonesia.
Sementara mengenai calon tunggal dalam pilkada, lanjut Yoes, pada 2015 terdapat tiga calon tunggal, sembilan calon tunggal di 2017, dan 16 calon tunggal dalam pilkada 2018. Mereka terdapat di 28 kabupaten/kota.
Dari 28 kabupaten/kota yang memiliki calon tunggal itu, 68 persennya kandidat non-dinasti dan 32 persen adalah kandidat dinasti politik. Dalam pilkada 2018, ada sebelas kandidat tunggal merupakan dinasti politik yang berlaga di tujuh kabupaten dan dua kota.
Dari 202 orang berupaya membuat dinasti politik pada pilkada 2015, 2017, dan 2018, tambah Yoes, sebanyak 191 (95 persen) kandidat dinasti politik bertarung pada pilkada dengan calon lebih dari satu pasangan. Hanya 11 (5 persen) kandidat dinasti politik bertarung sebagai calon tunggal.
“Kesimpulan sementaranya adalah dinasti politik masih sulit melakukan monopoli politik atau monopoli kekuasaan secara total. Masih ada sumber-sumber oposisi di dalam masyarakat, baik itu menang digerakkan oleh elite ataupun organik dari masyarakat, yang sebenarnya masih bisa dimanfaatkan saat nanti pilkada 2020,” ujar Yoes.
Yoes berharap KPU mengeluarkan persyaratan untuk memudahkan calon independen ikut bertarung dalam pilkada 2020. Hal ini, menurutnya, penting, untuk mengurangi fenomena dinasti politik dan calon tunggal dalam pilkada.
Fenomena Melawan Kotak Kosong
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Prabumulih Titi Marlinda menceritakan proses terjadinya calon tunggal pada pemilihan kepala daerah 2018 di Kota Prabumulih dimulai ketika di hari terakhir dua calon perseorangan gagal memenuhi syarat, termasuk mengumpulkan sepuluh persen tanda tangan dari 13.322 pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Sedangkan ketika pembukaan calon dari partai politik, di hari pertama tidak ada yang mendaftar. Hingga di hari terakhir dari masa pendaftaran 8-10 Januari, hanya datang satu calon bersama sepuluh pendamping dari partai pendukung. Kemudian masa pendaftaran diperpanjang tiga hari lagi tapi tidak ada yang mendaftar.
Sehingga hanya ada calon tunggal yang merupakan petahana, yakni Wali Kota Ridho Yahya dan wakilnya Ardiansyah Fikri. Dari hasil survei, 96 persen masyarakat Prabumulih sangat senang dengan program-program yang sudah berjalan selama lima tahun kepemimpinan keduanya, 2013-2018. Masyarakat menganggap figur yang pas untuk kembali memimpin dan mengelola Kota Prabumulih.
“Contoh program-program itu adalah pembangunan perumahan untuk warga miskin, kemudian jaringan gas kota, mereka mengajak ASN (aparatur sipil negara) untuk berinfak. Yang uniknya itu, dia (Wali Kota Ridho Yahya) dalam satu hari dari jam 5-7 pagi dia mau ke kantor, menerima masyarakat 200 orang dalam sehari,” kata Titi.
Meski begitu, lanjut Titi, di masa kampanye, ada gerakan mensosialisasikan kotak kosong untuk melawan kandidat petahana. Pasangan calon petahana Wali Kota Ridho Yahya dan wakilnya Ardiansyah Fikri akhirnya menang.
Titi mengungkapkan ada sejumlah ganjalan dihadapi KPU Prabumulih dalam pemilihan kepala daerah 2018. Mereka tidak selesai mensosialisasikan tentangnya adanya calon tunggal. Selain itu, anggaran untuk pemungutan dan penghitungan suara baru turun sehari menjelang pencoblosan pukul dua siang.
Walau cuma tersisa sehari, menurut Titi, distribusi logistik untuk pemungutan suara bisa dilaksanakan. Sebab Prabumulih adalah kota kecil yang terdiri dari enam kecamatan, 22 kelurahan, dan 15 desa. [fw/em]
Sumber : voaindonesia