oleh : Dr Wendra Yunaldi, SH.,MH *
PANDEMI Covid-19 banyak menimbulkan dilema di tengah masyarakat, sekarang tidak hanya dilihat dari problemnya saja, pandemi ini sebenarnya bisa menjadi moment yang tepat untuk memperbaiki data kependudukan yang ada. Sehingga menjadikan data tersebut akurat, agar bantuan yang diberikan oleh pemerintah terkait pandemi ini sampai kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Kesamaan Standar dari Kategori Miskin Harus Seragam
Hal tersebut tentu saja juga harus senada dengan kesamaan standar tentang “kemiskinan” dari masing-masing instansi yang terlibat langsung dengan masyarakat dalam perbantuan Covid-19. Masalah yang ada sekarang ini sebenarnya terletak pada data kependudukan, seperti data orang miskin yang harusnya akurat dan tidak berbeda-beda standar ukurannya, contohnya; BPJS punya standar yang berbeda, Dinas Kesehatan punya standar yang berbeda, Dinas Pertanian punya standar berbeda, kemudian Dinas Sosial juga punya standar yang berbeda, Sehingga, jika ada kondisi-kondisi mendesak seperti kondisi masyarakat saat sekarang ini, Pemerintah akan mengalami kesulitan sendiri dalam memberikan bantuan karena bingung data mana yang akan dipakai. Maka, itu terdapat pelajaran dalam skala baru, yang mana melihatkan birokrasi itu rapuh dan tidak mampu bereaksi secara tepat terhadap persoalan besar yang terjadi. Harusnya dengan birokrasi yang ada dari pusat sampai daerah apapun problemnya dapat diselesaikan secara cepat dan tepat.
Pandemi Covid-19 bukan hanya memukul perekonomian masyarakat bawah, tetapi juga telah menampar mata pencaharian dari pegawai swasta yang mungkin biasanya mendapat upah yang lumayan selama ini, namun karena mengalami pemberhentian kerja akibat banyaknya perusahaan yang merumahkan pekerjanya akibat lockdown maupun PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Bisa saja seseorang rumahnya bagus namun orang yang tinggal dirumah tersebut tidak bekerja lagi, terkadang pun rumah itu hanya harta warisan yang di dapatnya dari orangtuanya saja. Berarti dari sini pemerintah harus benar-benar melihat warga masyarakatnya dari dekat sesuai dengan kriteria dan kondisi realnya.
Kalau dibilang kriteria miskin adalah yang rumahnya harus berlantai tanah, namun saat sekarang rumah masyarakat mana lagi yang berlantai tanah?, lalu kriteria miskin yang lain mengatakan harus yang tidak punya parabola, tapi saat sekarang hampir setiap rumah masyarakat memilikinya. Jadi beberapa kriteria di atas sudah tidak dapat lagi di jadikan tolak ukur.
Maka dari itu, Pemerintah harus memperbaharui istilah dan standar yang baru tentang standar kemiskinan. harus ada kriteria-kriteria yang baru tentang miskin yang bagaimana? Jadi, terhadap defenisi kemiskinan harus ada satu kriteria yang seragam dari pusat sampai daerah, jangan ada dinas sosial membuat kriteria, dinas kesehatan membuat kriteria, BKKBN juga punya kriteria tersendiri, namun tidak mempunyai standar yang tetap. Untuk membuat suatu kriteria semua instansi harusnya tidak diberi kewenangan oleh peraturan dan kaidah hukum yang berlaku saat ini dalam penetapan standar kemiskinan seperti yang tersebut diatas, dan Pemerintah harus berpatok kepada satu kriteria umum saja demi menghindari kesalahan data yang berujung kepada pemberian bantuan yang salah sasaran.
Keakuratan Data Penduduk Harus Melibatkan Ketua RT
Keakuratan data sebenarnya harus melibatkan bantuan dari mitra kerja yang paling terdekat dengan pemerintah seperti Ketua RT dan Ketua RW untuk penanganan Covid-19, baru melibatkan Birokrasi mulai dari Pemkab/Pemkot sampai Pemprov serta masyarakat sendiri secara mandiri. Seperti yang diambil dari kutipan Harun Nasution yang mana beliau berbicara tentang “perang rakyat semesta” yang pernah terjadi dalam sejarah Bangsa Indonesia, yang sama hakekatnya jika di telisik dan diperbandingkan dengan situasi dalam peperangan melawan pandemi Covid-19 ini, di mana rakyat harus terlibat langsung menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk berperang.
Untuk penanganan masalah Pandemi, terutama untuk saat-saat sekarang ini, maka Ketua RT lah yang harus menjadi ujung tombak dan Jendral dari perjuangan masyarakat dalam memerangi musuh yang tak nampak yang telah menewaskan lebih dari 150 ribu jiwa di berbagai belahan dunia ini. Jika hanya mengandalkan pemerintah yang perkerjaannya terbatas oleh jam kerja, tentu saja sangat tidak mungkin.
Ketua RT dan masyarakatpun harus berjuang secara mandiri. Harusnya saat ini, masyarakat tingkat RT sudah membuat posko-posko mandiri untuk tempat penerimaan bantuan Covid-19 satu pintu agar tidak terjadi kesenjangan sosial dalam penerimaan bantuan, karena seperti yang sama-sama kita ketahui di berbagai media sosial sendiri, warga masyarakat mengeluhkan tentang banyaknya warga yang tidak menerima bantuan Covid-19 dan ada juga yang menerima bantuan berkali-kali sehingga memicu kecemburuan sosial dan gangguan keamanan lokal yang berdampak kepada individu maupun masyarakat komunal.
Untrust
Akibat dari dampak sosial diatas tentu saja banyak dari masyarakat menjadi tidak percaya lagi kepada Pemerintah karena baik BLT (Bantuan Langsung Tunai) Rp. 600 ribu per KK maupun bantuan beras untuk masyarakat terdampak Covid tidak tepat sasaran. Masalah baru justru timbul akibat data yang dipakai tidak akurat. Disinilah peran penting dari ketua RT, karena ketua RT lah yang lebih tau bagaimana kondisi dari masyarakatnya.
Tidak hanya tentang kepastian data, dalam konteks penanganan Covid-19, juga melihat dari ketegasan awal dan keseriusan Pemerintah. Apabila tidak ada ketegasan, maka ini tentu saja akan berdampak panjang pada pertimbangan ekonomi dan lainnya. Jika saja dari 2 bulan yang lalu diusulkan karantina-karantina wilayah, mungkin wabah tidak akan separah ini.
Maka dari itu, khususnya wilayah Sumatra Barat mestinya sudah mengambil ketegasan dari jauh-jauh hari. [ ]
*) Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara