Johan J. Oematan, seorang konsultan manajemen menyampaikan satu pertanyaan terkait kartu prakerja yang diluncurkan pemerintah, di mana pembelian materi berupa video dinilai membuang-buang uang rakyat.
Pertanyaannya mewakili kegalauan banyak warga Indonesia saat ini. Dia mempertanyakan penggunaan delapan vendor untuk pembuatan materi pelatihan.
“Padahal materi pelatihan yang dibuat oleh delapan vendor itu, kita sudah punya lembaga Diknas yang materinya luar biasa. Kementerian Tenaga Kerja, segala macam keahlian ada di sana. Kenapa harus buang uang 32 persen dari Rp 20 triliun untuk membayar itu?” kata Johan.
Johan menyampaikan pertanyaan itu dalam seminar daring “Aroma Korupsi Kartu Prakerja,” yang digelar pada Kamis (14/5) oleh Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi), Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.
Pertanyaan Johan memang umum disampaikan masyarakat. Salah satu yang cukup sering didengar, adalah bahwa banyak materi pelatihan kartu prakerja itu bisa ditonton secara gratis di Youtube.
Oce Madril, pegiat anti korupsi dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menjadi pembicara dalam diskusi juga punya pertanyaan sama dengan Johan.
Setelah membaca Perpres 36 Tahun 2020 yang menjadi dasar hukum program kartu prakerja, Oce mengatakan, dia tidak menemukan alasan logis mengapa pemerintah menunjuk delapan mitra tersebut.
Dia menambahkan, negara memiliki mekanisme pemakaian anggaran yang ketat. Berbagai persoalan yang muncul dalam pengelolaan anggaran kartu prakerja, melahirkan kekhawatiran ada sesuatu yang tidak beres.
“Ini uang yang di peruntukan bagi broker-broker mitra digital, tapi mengatasnamakan para pencari kerja, dan dilakukan di saat semua orang menderita dengan krisis Covid-19. Kalau demikian, jahat sekali. Luar biasa perputaran fraud yang dilakukan, atau perputaran cuci uangnya,” kata Oce.
Oce memaparkan, program kartu prakerja sudah dibicarakan jauh hari sebelum diluncurkan. Pembicaraan tersebut melibatkan pihak swasta, dan ini merupakan langkah yang dapat dipahami. Namun karena kemudian ada pihak yang dekat kekuasaan, dalam hal ini pengelola Ruangguru yang ketika itu menjadi staf khusus Presiden, turut menikmati proyek tersebut, langkah pemerintah patut dipertanyakan.
32 Persen untuk Pelatihan Lewat Video
Program kartu prakerja sendiri secara total akan memakan anggaran dari pembayar pajak sebesar Rp 20 triliun. Dari jumlah itu, sekitar 32 persen akan dinikmati para vendor yang menyediakan pelatihan daring melalui video.
“Sebenarnya kita bisa melihat siapa yang menikmati 32 persen itu. Saya tidak ada masalah jika itu menjadi bantuan dan dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkan. Yang saya kritik adalah 32 persen dana itu, kenapa harus masuk kepada yang tidak semestinya mendapatkannya,” kata Oce.
Adnan Topan Husodo dari Indonesian Corruption Watch (ICW) memaparkan, dalam program kartu prakerja, setiap pemegang hak akan menerima dana Rp 3,55 juta. Dari jumlah tersebut, sejumlah Rp 1,15 juta akan mengalir ke vendor penyedia video pelatihan online. Mau tidak mau, pemegang kartu harus membelanjakan dananya ke pelatihan daring, agar dana untuk dirinya sendiri dapat dicairkan.
Dia menghitung 32,2 persen dari Rp 20 triliun berarti total anggaran untuk pelatihan lewat video adalah Rp 6.44 triliun. Bila dibagi rata kedelapan vendor, papar Adnan, setiap mitra platform akan mendapat Rp 450 miliar dari proyek ini saja.
“Jadi jelas ya bahwa kalau mau kaya memang caranya begini, dan ini kaya yang cepat,” ujar Adnan.
Menjawab pertanyaan peserta diskusi yang lain, Adnan memastikan bahwa vendor pelatihan daring berfungsi semacam marketplace, sebagaimana yang sudah ada. Di bawahnya ada penyedia video yang berlaku semacam toko di situs belanja daring. Lebih buruk lagi, ada opsi untuk tidak menonton sepenuhnya video tutorial itu bagi pemegang kartu. Opsi ini memungkinkan pemegang kartu justru tidak mengikuti pelatihan yang dipilihnya sendiri.
Tidak ada kewajiban lebih jauh dari vendor kartu prakerja, misalnya terkait tes pasca pelatihan, untuk membuktikan apakah peserta betul-betul memahami pelatihan yang diberikan. Contohnya, untuk mereka yang mengambil pelatihan membuat nasi goreng, tidak ada cara untuk membuktikan apakah peserta bisa atau tidak membuat nasi goreng setelah pelatihan. Bahkan, setiap peserta harus mencari pekerjaan sendiri setelah itu. Sesuatu yang sangat berat, mengingat yang terjadi saat ini justru terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran.
Khawatir Penyalahgunaan
Feri Amsari dari Pusat Studi Hukum Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, menyebut ada skema besar yang memungkinkan program ini berjalan.
“Saya khawatir ini tidak hanya anak-anak muda ini saja dan program pemerintahan, ada yang di belakangnya sebagai predator of fraud, yang kemudian mengendalikan dan sangat berkuasa sehingga program ini mudah saja di peroleh dan diterima, oleh platform yang sebenarnya secara catatan belum tentu berpengalaman,” kata Feri.
Feri merekomendasikan berbagai langkah yang bisa dilakukan untuk penyelidikan lebih dalam terkait dugaan pelanggaran aturan yang terjadi. Langkah pertama sebenarnya bisa dilakukan pemerintah sendiri, dengan upaya fraud examination. Upaya ini penting bagi pemerintah sendiri untuk membuktikan bahwa tidak ada yang keliru dari program tersebut.
Jika tidak bisa, langkah lain bisa dilakukan, misalnya oleh Ombudman. Kebijakan pemerintah ini dapat diadukan ke lembaga tersebut, karena diduga terjadi maladministrasi. Selain itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga bisa bergerak, karena ada dugaan monopoli. Proyek triliunan rupiah ini sejak awal dijalankan tanpa tender yang tentu saja melanggar prosedur pengadaan barang dan jawa. Kebijakan ini dapat diadukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Aparat penegak hukum juga bisa masuk melalui celah ini.
Di masa lalu, kata Feri, Indonesia memiliki kasus Bank Century yang diduga merupakan permainan terkait dana publik. Modusnya sangat rumit sehingga membutuhkan waktu lama dalam pengungkapannya. Dalam kasus kartu prakerja, modus yang diterapkan sangat mudah untuk dipelajari, guna membuktikan dugaan pelanggaran hukum.
Ketua Saksi Universitas Mulawarman, Ivan Zairani Lisi menyebut, penegak hukum sebenarnya sudah bisa masuk dalam kasus ini. Keputusan pemerintah untuk melakukan penunjukan langsung bisa menjadi pintunya.
“Ada indikasi memang kerja sama itu sudah terjadi sebelum ada mekanisme penunjukan, dimana program itu sudah dibicarakan bersama-sama dengan mitra platfom yang ditunjuk, ini kan kolusi,” kata Ivan. [ns/em]
Sumber : voaindonesia