Jakarta, (MEDGO.ID) – Pelanggaran Zona Economy Exclusive (ZEE) Indonesia oleh armada Coast Guard Republik Rakyat China (RRC) dan kapal pencari ikan negara itu hanya bisa dihentikan bila pemerintah serius memperjuangkan Laut Natuna Utara.
Selama perairan di wilayah Indonesia dari kawasan Pulau Natuna sampai Bangka Belitung masih menggunakan nama Laut China Selatan, selama itu pula China akan “besar kepala” karena merasa memilik “hak sejarah” atas perairan itu.
Demikian disampaikan dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa, dalam keterangan di Jakarta, Selasa (31/12).
Teguh mengatakan, sikap pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, memanggil Dubes China di Jakarta, Xiao Qian, untuk dimintai keterangan sudah tegas dan tepat.
Namun menurut Teguh yang pernah menjadi Ketua bidang Luar Negeri Pemuda Muhammadiyah, langkah ini kelihatannya masih kurang efetif untuk menghentikan agresifitas China di Laut China Selatan di masa depan yang bisa mengancam integritas teritori dan kedaulatan Indonesia.
Indonesia memang bukan merupakan salah satu negara yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan.
Sengketa di kawasan yang oleh China diklaim dengan menggunakan sembilan garis-putus atau dashed-line itu terjadi antara China dengan negara-negara ASEAN yang lain, yakni. Malaysia, Filipina, Vietnam dan Brunei Darussalam.
China sudah lama mengklaim perairan itu, sejak 1947, tak lama setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Perang Saudara antara Partai Nasionalis Kuomintang dan Partai Komunis China pada masa itu membuat klaim tersebut tidak jadi fokus utama di China. Pertempuran untuk menentukan siapa penguasa China jauh lebih penting.
Setelah Kuomintang kalah dan melarikan diri ke Taiwan, serta Partai Komunis China berkuasa di Daratan China, klaim ini pun lama tidak disentuh.
Pemerintahan Partai Komunis China di Beijing kembali meributkan soal klaim mereka di Laut China Selatan pada tahun 2009, setelah perlahan tapi pasti negara itu bangkit menjadi penantang dominasi Amerika Serikat di kawasan. Tidak tanggung-tanggung, China secara sepihak membangun beberapa pulau atol di peraiaran itu sebagai pangkalan militer.
Manuver China ini mengubah lanskap sengketa di perairan Kepulauan Spartly dan Kepulauan Paracel.
Negara-negara ASEAN yang merupakan claimant di perairan itu kelihatan kesulitan menghadapi China yang tidak hanya memiliki kekuatan kapital dan militer, namun juga berani mengajukan klaim sejarah.
Dalam konteks inilah, menurut Teguh, upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia di tahun 2017 lalu, yakni mengubah nama perairan di Pulau Natuna menjadi Laut Natuna Utara sebagai langkah yang brilian dan bisa menghentikan ketegangan antara Indonesia dan negara-negara di kawasan, terutama China yang sangat agresif.
Setelah peta baru itu diumumkan, pemerintah China mengirimkan surat protes. Pemerintah Xi Jinping tidak dapat menerima nama Laut Natuna Utara.
China menginginkan agar perairan Natuna, sampai Bangka Belitung, tetap dinamakan Laut China Selatan.
Sejak 2015, Kementerian Kordinator Maritim berkerja untuk menyusun peta baru Indonesia yang di dalamnya terdapat sejumlah hal baru, terutama terkait dengan garis batas wilayah.
“Indonesia telah menyelesaikan sengketa perbatasan dengan negara ASEAN seperti Malaysia dan Vietnam di perairan Natuna. Karena itu garis batas yang sebelumnya digambarkan dengan garis-putus, dalam peta baru yang diumumkan tahun 2017 digambarkan dengan garis-utuh. Selain itu, nama perairan di sekitar Pulau Natuna juga diubah menjadi Laut Natuna Utara,” terang Teguh yang juga pernah menjadi Ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Agar nama baru itu memiliki kekuatan dan mendapat pengakuan di dunia internasional, proses pendaftarannya di International Hydrographic Organization (IHO) harus dituntaskan.
IHO adalah lembaga yang memastikan pendataan wilayah perairan di seluruh dunia. Organisasi yang memiliki kantor pusat di Monako ini berdiri pada tahun 1921. Sampai bulan Oktober 2019, IHO memiliki 93 negara anggota, termasuk Indonesia dan China.
Teguh yang pernah dua kali diundang untuk bicara di forum PBB di New York juga menyarankan agar pemerintah Indonesia tidak kendur menghadapi tekanan China dalam isu Laut Natuna Utara.
Jangan sampai ada dugaan di tengah masyarakat, pemerintah sungkan menghadapi China karena merasa berutang budi atas bantuan China dalam berbagai proyek pembangunan infrastruktur.
Menurut Teguh, investor dan partner dagang sifatnya negotiable atau bisa dinegosiasikan.
“Tetapi yang pasti, integritas wilayah dan kedaulatan adalah non-negotiable factor, faktor yang tidak bisa kita negosiasikan dengan pihak manapun. Kita harus tuntaskan perjuangan Laut Natuna Utara,” demikian Teguh Santosa. ***