JAKARTA — Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad melakukan kunjungan beruntun ke berbagai sektor ekonomi dan pelaku usaha dalam negeri yang terdampak pandemi Covid-19. Salah satu yang menjadi perhatian serius Koordinator Satgas Lawan Covid-19 ini adalah sektor pariwisata yang di dalamnya termasuk perhotelan dan restoran.
Menurutnya sektor pariwisata termasuk para mitra usaha wisata mengalami dampak paling parah. Oleh sebab itu dalam rencana penerapan tatanan normal baru (new normal), seluruh cabang usaha pariwisata harus dibangkitkan kembali dengan stimulus ekonomi baik fiskal dan moneter.
“Kenapa kami datang ke PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), karena dampak yang paling parah ada di PHRI. Pariwisata kemudian hotel, lalu kemudian restoran. Kita lihat stimulus dari pemerintah tidak memadai untuk membangkitkan pariwisata, membangkitkan perhotelan, membangkitkan restoran,” papar Dasco usai meninjau dan berdialog langsung dengan para pelaku usaha sektor pariwisata di Jakarta Pusat, Jumat (29/5/2020).
Sebelum penetapan protokol tatanan normal baru, menurut Dasco, menampung masukan dari Ketua PHRI Hariyadi Sukamdani sangat diperlukan. Pemerintah diminta serius dalam memberikan kebijakan stimulus fiskal dan moneter guna mengelola dan mengarahkan kegiatan pariwisata agar bangkit kembali.
“Oleh karena itu kami, sebelum protokol tatanan hidup baru diterapkan oleh pemerintah, kami meminta masukan. Dari sisi operasionalnya disiapkan terlebih dahulu, setelah itu protokol kesehatan Covid-19 dibikin SOP (Standard Operasional Prosedur), supaya ketika ini berjalan tidak ada lagi buka tutup di sektor ini,” ujar politisi Fraksi Partai Gerindra itu.
Sementara itu di kesempatan yang sama, Hariyadi menyampaikan, tenaga kerja yang terdampak langsung akibat mandeknya sektor pariwisata kurang lebih satu setengah juta tenaga kerja. Lima ratus ribu di sektor hotel dan satu juta di sektor restoran. “kami mensimulasikan bahwa untuk modal kerja kalau nanti aktif untuk semua hotel dan restoran selama enam bulan itu dibutuhkan kira-kira Rp21,3 triliun,” tambahnya.
Meskipun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah apakah modal yang dibutuhkan tersebut ada atau tidak. “Masih menjadi tantangan, kira-kira perbankan pada saat kita akan jalan siap tidak untuk menyediakan modal kerjanya. Ini yang perlu diperhatikan lagi, kalau ternyata tidak ada modal kerja, maka untuk membangkitkan kembali sektor ini tantangannya sangat berat,” ungkap Hariyadi. (DPR/eko/es)