Catatan Saya Terhadap UU Cipta Kerja

Oleh: Prof. Dr. Zainal Asikin, SU.

(Guru Besar Hukum, Fakultas Hukum Unram)

1. Dengan tidak bermaksud untuk menafikan pentingnya untuk demonttasi terhadap pengesahan RUU tentang CIPTA kerja, maka sebagai akademisi saya tetap mempelajari, menelaah dan meneliti pasal pasal yang berada Pada UU Cipta kerja. Tentunya saya tidak akan menghabiskan waktu untuk mempersoalkan mana maskah naskah resmi yang syah karena adanya perbedaan jumlah halaman. Maka saya mengambil posisi netral, bahwa perbedaan halaman bisa disebabkan perbedaan spasi dalam pengetikan, dan perbedaan penggunaan tipe huruf yang digunakan , sehingga jumlah halaman yang 906, 1034 atau 1052 dan sebagainya tidaklah fundamental sepanjang jumlah pasal dan isinya tetap.

2. Membaca UU CK ini memang memerlukan kecermatan yang sungguh sungguh, yaitu dengan tetap membaca pasal pasal pada undang undang lama yang jumlahnya lebih dari 70 Undang Undang yang saya bagi menjadi 3 kriteria :
a. Ada pasal yang dihapus
b. Ada pasal yang diperbaharui ( dengan penambahan pasal dan penambahan ayat).
c.ada pasal yang tetap pada undang undang yang lama

Sebab jika terjadi kekeliruan dalam metode menganalisis , maka akan terjadi kekeliruan dalam menyimpukan hasil yang dipublikasikan.
Misalnya ada Lembaga Swadaya Masyarakat Perempuan memberikan konprensi perss dengan mengatakan bahwa “ Hak Cuti Melahirkan” bagi tenaga kerja permpuan dalam Undang Undang ini dihapuskan, maka undang undang ini menjalimi kaum perempuan untuk itu undang undang ini harus ditolak”.

BACA JUGA :  Amnesia Kepahlawanan

Memang benar, dalam UU-CK ini persoalan “ Cuti Hamil Tidak diatur “, namun tidak berarti cuti hamil itu dihapuskan, karena pasal 82 UU No.13 Th 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dihapus, jadi ketentuan cuti hamil tetap menggunakan undang undang yang lama.

Ini salah satu contoh kekeliruan dalam membaca dan menafsirkan undang undang, yang tentunya kalau ini disampaikan kepublik akan menjadi berita hoak dan memalukan bila disampaikan oleh akademisi hukum.

3. Membaca Undang Undang memerlukan penafsiran hukum yang tepat sebagaimana ilmu penafsiran hukum (interpretasi) yang diajarkan dalam Ilmu Hukum. Jadi pemerhati hukum tidak boleh menafsirkan hukum menurut perasaan, dengan kata kata menurut pendapat saya atau menurut perasaan saya. Penafsiran hukum harus sesuai dengan penafsiran gramatikal ( interpretasi gramatikal) atau teori koherensi berfikir yang sistematis, bukan melompat dari pikiran satu ke pikiran lain yang bersifat emosional.

Misalnya ada Pakar Refly Harun menyatakan “bahwa Pasal 121 UU RUU Cipta Kerja akan merugikan karena mencabut pasal dalam UU No.12 Tahun 2012 tentang pembebasan tanah untuk kepentingan umum.

BACA JUGA :  Amnesia Kepahlawanan

Padahal justru Pasal 34 dalam UU CK ini memperkuat Pasal 37 dan 38 UU No.2 Tahun 2012. Karena dalam Undang Undang yang baru ini, Penilaian Ganti Rugi Oleh Apraisal bersifat final dan mengikat, tidak boleh di tawar tawar. Kalau dulu nilai ganti rugi tanah yang telah ditetapkan oleh apraisal, masih ditawar oleh Pemerintah, dan jika masyarakat tidak setuju maka uangnya dintitip di Pengadilan Tinggi ( Konsinyasi).

Itu salah satu contoh pembacaan undang undang kurang komplit dan kurang lengkap sehingga menimbulkan penafsiran yang salah dan menyesatkan.

4. Memang ada pasal pasal yang masih kabur dan perlu penjelasan, maka oleh sebab itu dalam ketentuan Penutup UU ini dtetpkan bahwa Undang Undang ini memerlukan Paraturan Pemerintah ( PP Baru), dan PP yang lama masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang undang ini.

Maka tentunya sebelum PP itu dibuat, maka kajian hukum terus menerus harus dilakukan agar PP yang keluar berkesesuaian dengan semangat Undng Undang ini. Misalnya kajian Universitas Indonesia tentang Lembaga Pngelola Investasi (LPI), apakah Lembaga ini bersifat Publik atau Privat. Apakah lembaga ini akan memberikan tempat bagi sarang koruptor?

Maka bentuk hukum atas Lembaga ini tentu dijelaskan dalam PP, yaitu jika bentuknya BUMN maka dia akan terkena aturan BUMN yang jika bersalah tetap akan digeret dalam perkara korupsi karena merugikan nnegara. Tetapi jika menjadi badan hukum privat ( PT), maka posisinya menjadi sulit ditembus menggunakan UU Korupsi (karena masih menjadi perdebatan soal modal negara yang ditanamkan dalam badan hukum privat).

BACA JUGA :  Amnesia Kepahlawanan

5. Kemudian tentu saya sepakat jika Undang Undang ini mengalami cacad prosedural atau cacad formiel. Jika itu terjadi,maka mari diuji dalam perdailan yang di Indonesia.

Sayapun menyampaikan pemikiran dalam diskusi dengan pakar hukum yang lain tentang hal ini, yaitu apakah Undang Undang yang cacad prosedural ( yang bertentangan pembuatannya dengan UU No.12 Tahun 2011 ) dapat digugat di MK ? Bukankah “ selama ini” gugatan ke MK apabila terjadi SUBSTANSI HUKUM ( UU ) bertentangan dengan UUDN 1945 ? Apakah ini lebih tepat diajukan ke MA.

Perdebatan seperti ini tentunya syah syah saja, dan menjadi tugas dan tantangan bagi Mahkamah Konstitusi.

6. Sekali lagi harapan saya, marilah kita bersama membaca dan memperlajari bersama Undang Undang ini, mana pasal yang dianggap merugikan tenaga kerja, menguntungkan investor, merusak lingkungan dan sebagainya. Sehingga fokus perjuangan kita adalah menciptakan “ hukum yang berkeadilan berkemanfaatan dan berkepastian hukum.

Kekalik Jaya 13/10/20