GORONTALO, MEDGO.ID — Sikap Gubernur Rusli Habibie yang kembali tidak memenuhi lagi, alias mangkir. Atas panggilan Kejaksaan Tinggi dalam pemeriksaan sidang pengadilan tindak pidana korupsi perkara GORR (Gorontalo Outer Ring Road) akan menyisahkan persoalan hukum tersendiri.
Saat dihubungi media, Apriyanto Nusa, SH., MH selaku ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo menuturkan bahwa, panggilan untuk memberikan keterangan saksi dalam perkara pidana adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi. Bahkan ketidakpatuhan terhadap panggilan tersebut termasuk salah satu perbuatan pidana yang disertai dengan ancaman/sanksi pidana.
Pasal 224 KUHP menyebutkan bahwa : “Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa menurut Undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam : 1). Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan. 2). Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Bahkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi (31/1999) ada ancaman yang sangat berat yang diatur dalam ketentuan Pasal 21, salah satunya terhadap perbuatan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa perkara korupsi. Ancaman dalam ketentuan ini paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Dari ketentuan di atas, yang mesti dipastikan apakah sikap/tindakan pak Gubernur yang telah 2 (dua) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan untuk memberikan keterangan saksi dalam perkara korupsi GORR dilakukan dengan sikap bathin (niat) disengaja ataukah ada alasan patut lainnya.
Kalau terdapat alasan lain misalnya Kegiatan kedinasan atau alasan lainnya, harus diukur lagi apakah kegiatan tersebut adalah sebuah kewajiban yang harus dihadiri langsung oleh Gubernur, atau masih bisa diwakili oleh pejabat lain. Pembuktian unsur sengaja dalam Pasal 224 KUHP ini sangat penting. Sebab, apabila kehadiran pak Gubernur itu adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa digantikan oleh pejabat lain, maka kondisi itu merupakan keadaan darurat (noodtoestand) dimana pak gubernur berada dalam pertentangan dua kewajiban hukum secara bersamaan. ketika memilih salah satu kewajiban hukum, maka ia tidak bida dipersalahkan melanggar kewajiban hukum yang lain.
Namun kondisi ini bisa berbeda, apabila kegiatan kedinasan itu bukan merupakan kewajiban mutlak yang harus dihadiri oleh Pak Gubernur secara langsung, lebih lagi ketidakhadiran dikegiatan kedinasan itu masih bisa diserahkan/diwakili oleh pejabat lain, maka ketika meninggalkan dan tidak memenuhi panggilan kejaksaan untuk memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan perkara GORR, padahal itu merupakan kewajiban menurut Undang-undang, perbuatan tersebut bisa terkategori melanggar ketentuan Pasal 224 ayat (1) KUHP dan juga dapat dijerat dengan Pasal 21 diatas. Harus diingat bahwa dalam penyelenggaraan tugas pemerintah daerah, keberadaan Wakil Gubernur bisa difungsikan untuk mengganti/mewakili posisi gubernur ketika berhalangan hadir.
Ketentuan pidana Pasal 224 KUHP ini, biasanya selalu dicantumkan oleh penyidik/penuntut umum dalam surat panggilan resmi ketika memanggil seseorang menjadi saksi. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan kepada saksi untuk wajib menghadiri pemeriksaan pada jadwal yang telah ditentukan, sambung Apriyanto Nusa.
Demi kelancaran proses pemeriksaan di sidang pengadilan, dan juga untuk mendorong penegakan hukum terhadap dugaan tindak pidana korupsi perkara GORR, keterangan pak Gubernur sangat dibutuhkan, momentum itu juga bisa digunakan oleh beliau untuk meluruskan/mengklarifikasi isu-isu liar yang berkembangan diluar persidangan. Tutup Apriyanto Nusa.(PN)
Lihat Info lengkap Seputar Korupsi GORR Gorontalo di Media Berita Online Gorontalo >>>> PinogUnews.id “Menjaga Gorontalo”