Menjawab Tuduhan Animal Cruelty Qurban

 

Oleh : Dhimam Abror Djuraid

Kekerasan dan kekejaman terhadap binatang (animal cruelty, animal abuse) menjadi isu utama yang diperjuangkan oleh para aktivis hak-hak binatang (animal rights) di seluruh dunia, terutama di Eropa dan Amerika Serikat.

Di Prancis, aktris senior Brigitte Bardot menjadi tokoh utama pembela hak-hak binatang yang setiap tahun mengeluarkan kampanye anti-penyembelihan hewan oleh orang-orang Islam dalam Idul Adha.

Kredit Mobil Gorontalo

Menurut Bardot penyembelihan hewan-hewan kurban itu bertentangan dengan hak-hak kebinatangan karena metode penyembelihannya masuk dalam kategori animal cruelty, kekejaman terhadap binatang.

Gerakan hak-hak binatang sering disebut sebagai gerakan pembebasan binatang (animal liberation) dan juga disebut sebagai “animal personhood” atau “penyeorangan binatang” karena menyejajarkan binatang (animal) dengan perorangan (person). Para aktivis berpendapat bahwa sebagamana manusia, binatang juga bisa merasakan rasa senang bahagia, sedih, dan kesakitan.

Di Australia gerakan hak binatang sudah muncul dan populer pada 1970 dengan munculnya filusuf Peter Singer yang secara khusus menekuni studi mengenai organisme binatang. Menurut Singer, binatang bisa merasakan kesedihan ketika dipisahkan dari orangtua, kerabat, dan lingkungannya. Kalau manusia tidak bisa membahagiakan binatang, maka jangan membuatnya menderita. Begitu inti filosofi Singer yang kemudian mendepat banyak pengikut di Eropa dan Amerika.

Kekerasan dan kekejaman terhadap hewan tidak hanya terjadi di peternakan dan penjagalan, tapi juga di perumahan, kelompok sirkus, dan juga jutaan hewan yang menjadi subjek penelitian ilmiah seperti tikus, anjing, kucing dan lain-lainnya.

Penyembelihan hewan kurban dalam Idul Adha dalam beberapa tahun terakhir juga menjadi sasaran kritik dan kontroversi. Kalangan aktivis hewan menganggap metode penyembelihan bertentangan dengan standar modern, dan karenanya dianggap sebagai kekerasan dan kekejaman.

BACA JUGA :  Bahasa dalam Era Digital: Kebutuhan Baru Generasi Z dalam Pemerolehan Bahasa

Dalam standar ajaran Islam prinsip utama dalam penyembelihan hewan kurban adalah tidak melakukan penyiksaan terhadap hewan dan tidak membuat hewan menderita baik fisik maupun mental, hewan tidak boleh mengalami stres apalagi depresi selama proses kurban.

Penyembelihan dilakukan dengan peralatan yang sangat tajam dengan satu gerakan yang mematikan ke arah tenggorokan. Hewan harus dipastikan mati dengan darah yang mengucur lepas dari nadi utama di tenggorokan dan nadi utama pernapasan. Penyembelihan dalam standar Islam adalah pembunuhan bermartabat (mercy killing)

Selama Idul Adha setiap tahun umat Islam bisa menyembelih 100 sampai 130 juta binatang, dengan asumsi 10 persen dari 1,3 miliar umat Islam di dunia melakukan kurban.

Jumlah ini dilihat sebagai angka yang masif dalam sehari karena dilakukan terbuka, serempak, dan disertai ritual khusus, yakni shalat Idul Adha dan takbir. Padahal jika dibandingkan dengan penyembelihan yang dilakukan untuk konsumsi masyarakat modern setiap hari jumlah itu terlihat sangat minim.

Hitunglah berapa konsumsi daging ayam setiap hari di seluruh dunia. Di Indonesia saja setiap tahun produksi dan konsumsi ayam potong mencapai 2 juta ton atau 2 miliar kilogram. Kalau satu ekor ayam rata-rata beratnya 2 kilogram maka ada 1 miliar ayam yang disembelih tiap tahun.

Di Indonesia cara penyembelihan masih masuk dalam standar syariah Islam, tapi di negara-negara lain penyembelihan dilakukan di luar standar. Bahkan banyak dilakukan dengan sengaja tidak mengalirkan dari dari tubuh hewan.

Islam mengajarkan untuk mengonsumsi hewan domestik yang bersih dan tidak liar atau galak, sehingga hewan bertaring dan berkuku tajam tidak dikonsumsi.

BACA JUGA :  Menyelami Dualitas Emosi : Kecemasan dan Motivasi dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Beda dengan tradisi lain yang mengonsumsi hewan-hewan kotor yang malah disebut sebagai eksotik seperti anjing, ular, kelelawar, kalajengking, kelabang. Semua orang tahu bagaimana cara membunuh anjing untuk konsumsi, dimasukkan karung dan dikepruk kepalanya dengan benda tumpul supaya darah tidak keluar.

Kekejaman dan kekerasan terhadap hewan terjadi masif di dunia kapitalisme modern yang ditopang oleh konsumerisme. Jargon utama kapitalisme modern adalah “Belanjalah Makanlah”. Belanja dan makan bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup, tapi menjadi gaya hidup, life style. Media mengampanyekan iklan “Shop till You Drop”, belanjalah sampai kamu habis, dan “Your Are What You Eat”, status diri ditentukan oleh gaya makan.

Islam mengajarkan moderasi, tawasuht, dalam segala hal termasuk dalam makanan. Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Muhammad SAW menganjurkan agar sepertiga perut diisi makanan, sepertiga diisi air, sepertiganya dikosongkan. Muslim adalah kaum yang tidak makan kecuali lapar dan ketika makan tidak kekenyangan.

Makan daging adalah kebutuhan hidup akan kalori. Makan steak adalah expensive life style, gaya hidup yang mahal. Dan lebih mahal serta lebih gaya lagi adalah makan steak daging sapi wagyu dari Jepang yang lembut dan empuk.

Untuk memenuhi nafsu konsumerisme masyarakat modern sapi-sapi di Jepang itu harus mengalami penderitaan yang menyedihkan.

Sapi-sapi itu ditempatkan di kerangkeng seukuran tubuhnya, tidak bisa bergerak dan tetap berdiri seumur hidupnya tanpa boleh sedetikpun duduk. Tujuannya supaya dagingnya lembut berair dan ototnya halus tidak kenyal. Ia diberi makanan pilihan dan untuk minumnya diberi sake.

BACA JUGA :  Menyelami Dualitas Emosi : Kecemasan dan Motivasi dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Setelah lima bulan dalam kerangkeng, sapi digiring ke penjagalan. Itulah kali pertama dan terakhir sapi itu berjalan. Islam tidak membolehkan hewan yang masih sangat muda untuk dijadikan hewan kurban.

Ketika manusia pertama Homo Sapiens hidup di padang Afrika kira-kira 2500 tahun yang lalu jumlah mereka ratusan saja. Ketika itu binatang-binatang liar berukuran raksasa seperti mamot dan mastodon yang beratnya 500 kilo sampai satu ton jumlahnya ribuan. Belum lagi kuda dan kerbau liar yang jumlahnya puluhan ribu.

Dalam waktu seratus tahun jumlah manusia meningkat cepat dan jumlah hewan-hewan liar menyusut drastis. Bukannya manusia yang dimangsa mamot dan mastodon tapi manusialah yang memangsa hewan-hewan besar itu untuk makan siang dan makan malam.

Sekarang ini manusia di planet bumi jumlahnya tujuh miliar, sedangkan populasi hewan liar di seluruh dunia tidak sampai seratus juta. Manusialah penyebab kepunahan hewan-hewan liar itu. Mereka mari dibunuh dan selebihnya didomestifikasi, dijinakkan dan diternakkan untuk kemudian dimangsa oleh manusia menjadi sate, soto, dan steak.

Populasi hewan ternak di dunia sulit diperkirakan, tapi bisa dipastika1 jumlahnya sepuluh kali lipat manusia. Selandia Baru yang penduduknya cuma empat juta manusia populasi sapinya berjumlah 40 juta ekor. Semuanya untuk melayani nafsu konsumerisme manusia modern.

Sampai sekarang, aktivis animal rights masih tetap menuduh Islam melakukan kekejaman terhadap binatang (animal abuse/cruelty) karena menyembelih masal jutaan hewan setiap Idul Adha.
Padahal pelaku animal cruelty paling sadis adalah kapitalisme dan konsumerisme yang menjagal miliaran hewan setiap hari untuk dijadikan pemuas nafsu manusia modern. (*)