Gorontalo, (MEDGO.ID) – Gugatan Prof. Ani Hasan ke Mendikbud atas penerbitan SK Rektor UNG (Univeritas Negeri Gorontalo), kemarin, 23 Juli, diputus PTUN Jakarta. Ketua majelis hakim yang diketuai Andi Muh. Rahman dalam amarnya menyebutkan: eksepsi Tergugat (Mendikbud) dan Tergugat Intervensi (Rektor UNG) tidak diterima. Dan menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
Menurut kuasa hukum penggugat Deswerd Zougira, esksepsi Mendikbud dan Rektor tidak diterima itu berarti penggugat memenuhi syarat formil yakni berkepentingan atau memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan, gugatan jelas dan berdasar, tidak melampaui waktu dan mutlak kompetensi PTUN Jakarta.
Sedangkan soal gugatan penggugat yang ditolak, kata Deswerd mengutip amar putusan, majelis berpendapat Tergugat telah melakukan penelusuran rekam jejak calon rektor dengan Kejaksaan. Menurut Deswerd yang mengaku menerima putusan sehari setelahnya, pendapat majelis itu absurd dan lari dari subtansi fakta persidangan.
Ia mengungkapkan pada materi gugatan terdapat tiga pelanggaran prosedural Pilrek yang tidak sesuai dengan PERMENRISTEKDIKTI Nomor 21 Tahun 2018 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pimpinan PTN dan dua bentuk pelanggaran terdahap asas ketidakberpihakan dan asas sewenang-wenang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 tahun 2014.
Di dalam gugatan secara berurutan ketiga pelanggaran itu yaitu Menteri (Tergugat) tidak membentuk tim penilai kinerja calon rektor, tidak melakukan rekam jejak dan hingga batas akhir pendaftaran calon serta penyerahan hasil verifikasi calon, Eduard Wolok (Tergugat Intervensi) belum memiliki nota pencatuman gelar Doktor dari BKN (Badan Kepegawaian Negara).
Anehnya dalam putusan perkara Nomor 17/G/2020/Ptun.Jkt itu, Majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan soal menteri tidak membentuk tim penilai kinerja calon Rektor. Tidak ada satu paragraf pun yang mengurai tentang hal ini dalam pertimbangan majelis.
Padahal penggugat mengajukan bukti surat berupa Permenristekdikti diatas yang mengharuskan dibentuknya tim penilai kenerja calon rektor. Dua orang saksi, yaitu Sekertaris Panitia Pilrek Rivai Hamzah dan anggota Senat Prof. M. Ikbal Bahua juga menerangkan memang tidak ada Tim Penilai Kinerja.
Menteri bersama Rektor juga tidak mampu membuktikan kalau tim itu ada. Tidak ada SK (Surat Keputusan) menteri tentang pembentukan Tim Penilai Kinerja.
Padahal, kata Deswerd, hasil kerja Tim Penilai Kinerja calon rektor itu yang menjadi bahan pertimbangan menteri dalam memilih rektor.
“Poin ini saja sudah cukup untuk membatalkan SK pengangkatan rektor karena proses pilrek tidak benar atau cacat”, tegas Deswerd.
Sebaliknya, majelis dalam pertimbangannya justru membahas soal rekam jejak. Parahnya lagi soal rekam jejek menurut majelis sudah dilakukan menteri walaupun dengan hanya mengutus seorang staf kementerian mengecek status hukum Eduard dalam kasus korupsi pengadaan alat laboratorium UNG di Kejati Gorontalo, Januari 2019, jauh sebelum penetapan calon rektor.
Kendati dari awal Penggugat tidak menyebut Eduard tersangka, tapi hanya mau membandingkan dia dengan Penggugat yang tidak pernah diperiksa aparat hukum karena terlibat dalam kasus korupsi.
Padahal, menurut Deswerd, makna menelusuri rekam jejak itu harus meliputi semua aspek, yakni asal usul kekayaan, integritas, kapasitas dan kapabilitas semua calon. Bukan hanya mengecek status hukum seseorang saja.
Menteri juga tidak melibatkan PPATK dan lembaga terkait lainnya. Bukti surat penggugat berupa Permenristekdikti yang mengatur tentang penelusuran rekam jejak dan keterangan Rivai serta Prof. Ikbal bahwa tidak ada rekam jejak tidak dipertimbangkan hakim. Bahkan keterangan dua saksi itu tidak dicantumkan dalam putusan.
Menyangkut nota persetujuan pencantuman gelar, menurut majelis yang mengutip keterangan saksi anggota panitia Pilrek tetapi disebut dalam putusan sebagai anggota senat, Abdul Hamid Tome, status pencantuman gelar calon rektor Eduard, Ani Hasan dan Mahludin sedang dalam konfirmasi ke BKN dan belum keluar sampai batas akhir pendaftaran calon dan penyerahan hasil verifikasi ke Senat pada 19 Juli 2019.
Padahal keterangan Rivai dan Prof. Ikbal menyebutkan yang dikonfirmasi ke BKN hanya pencantuman gelar Eduard. Sebab gelar Doktor Ani dan Mahludin sudah mendapat persetujuan pencantuman gelar sejak 2003. Mereka malah sudah bergelar profesor yang berarti sudah memenuhi syarat. Sedangkan nota persetujuan pencantuman gelar Eduard hingga batas akhir pendaftaran calon rektor belum dimasukan ke panitia Pilrek.
Yang lebih parah, status Rivai ditulis diputusan sebagai anggota senat. Rivai diperiksa selama satu jam lebih, tapi keterangan-keterangan penting yang berkesuaian dengan bukti penggugat tidak dicantumkan di dalam putusan. Contohnya, selain yang sudah disebutkan diatas, Rivai menyebut Eduard hanya mengikuti program S3 kuliah hari Sabtu sesuai hasil investigasi Ombudsman, sudah lama Kemendikbud melarang ijazah yang diperoleh dari kelas Sabtu dan Minggu dipakai untuk penyetaraan, tidak ada tim penilai kinerja calon rektor, tidak ada rekam jejak calon, pengusulan pencantuman gelar Eduard sempat ditolak BKN, hingga penetapan calon rektor Eduard belum memasukan nota pencantuman gelar dari BKN sebagai syarat. Ini semua tidak dimasukan sebagai keterangan saksi di dalam putusan.
Begitu pula keterangan Prof. Ikbal yang berkesesuaian dengan keterangan Rivai diatas juga sama sekali tidak ada dalam putusan. Dua orang saksi ini diperiksa lebih dari dua jam tapi keterangannya ditulis tak sampai dua lembar. Itu pun tentang hal-hal yang normatif saja.
Yang bikin kaget, ada keterangan Prof. Ikbal yang menyebutkan saat pencalonan, Eduard belum menyandang gelar doktor sebagaimana informasi yang diterima dari BKN. Jelas ini pemutarbalikan fakta sebab tidak ada keterangan seperti itu selama persidangan. Yang benar, selain keterangan yang sama dengan keterangan Rivai diatas, Prof. Ikbal mengatakan sempat memprotes Surat dari BKN yang hanya dibacakan oleh Eduart pada saat Rapat Senat. Sebab sesuai aturan setiap surat yang akan dibahas dalam rapat Senat harus dimasukan ke Sekretariat Senat lalu kemudian dibacakan Sekretaris Senat saat Rapat Senat. Hal inilah yang membuat kesalapahaman antara Prof. Ikbal dengan Plt Rektor John Hendry.
Dan sampai batas akhir Penetapan calon rektor Eduard belum memasukan nota persetujuan pencantuman gelar Doktor oleh BKN sebagai syarat. Semua keterangan ini pun tidak dimasukan dalam putusan.
Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan atas dasar apa menteri menyalurkan seluruh hak suaranya hanya kepada Eduard. Begitu pula majelis tidak mempertimbangkan mengapa sampai dua kali menteri menyurati BKN menanyakan proses pencantuman gelar Eduard dan memberi keterangan kalau dia bukan mengikuti kuliah S3 kelas jauh justru di masa injury timePilrek. Padahal itu nyata-nyata menyalahi azas ketidakberpihakan dan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam UU 30 Tahun 2018 diatas. Tapi semua itu tidak ada dalam pertimbangan majelis.
Intinya, lanjut Deswerd, majelis keliru dalam penerapan hukum.
“Waktu persidangan semua berjalan baik. Tiga saksi yang diajukan keterangannya sesuai dengan bukti-bukti. Tapi kok jadi lain. Tapi, begitulah berperkara. Saya mau bilang perkara ini masih satu judul dan baru satu bab dari beberapa judul yang akan segera muncul. Perjalanan masih panjang. Jadi tidak perlu sedih atau over eforia. Biasa saja. Senin depan banding. Saya masih yakin hakim banding nanti lebih jernih dalam menilai”, tutur aktivis Antikorupsi itu.#[KP/JMSI]