Gobel Kunjungi Pabrik Tepung Singkong di Bangka

PANGKAL PINANG, MEDGO.ID – Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, mengunjungi pabrik pembuatan tepung singkong atau tapioka di Pangkal Pinang, Bangka. “Kita harus terus mengembangkan keragaman bahan pangan, salah satunya singkong dan tepung singkong. Pertanian dan industri pangan bukan saja penting bagi ketahanan dan kedaulatan pangan, tapi juga sangat signifkan dalam membuka lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan serta membangun kesejahteraan masyarakat,” katanya, Kamis, 23 Mei 2024.

Rachmat Gobel memang memiliki kepedulian sejak lama terhadap masalah pertanian, pangan, ekonomi berbasis budaya, lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan membangun kesejahteraan masyarakat. Hal itu mulai terlihat saat menjadi pengurus Kadin Indonesia, saat menjadi menteri perdagangan, dan kini sangat getol setelah menjadi anggota DPR RI. Ia berkali-kali melakukan uji coba pertanian, melakukan kunjungan kerja di bidang-bidang tersebut, dan juga menyuarakan isu-isu tersebut. Di hari libur nasional pun, ia melakukan kunjungan kerja ke Bangka.

Gobel mengunjungi pabrik tepung singkong yang bermerek Gunung Pelawan, produksi PT Langit Bumi Lestari, di Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Kapasitas terpasang pabrik tapioka ini 6.000 ton per bulan. Jumlah karyawan perusahaan ini mencapai 60 orang. Pabrik ini membina sekitar 1.500 petani dengan luas lahan sekitar 2.000 hektar. Selain memproduksi tepung singkong, perusahaan ini juga memproduksi tepung sagu. Dari tepung sagu ini, mereka memproduksi mi dari tepung sagu, yang gluten free dan indeks glikemik sangat rendah, sehingga sangat baik bagi kesehatan. “Tepung singkong dan tepung sagu jauh lebih sehat buat tubuh karena kandungan glikemik yang rendah dan juga gluten free,” kata Fitrianto, pemilik pabrik tersebut.

BACA JUGA :  PW Syarikat Islam Gorontalo Siap Dorong Pertumbuhan Ekonomi Syariah di Daerah

Fitrinto mengatakan, pabrik tepungnya sudah menerapkan green industry, zero waste concept, self sufficiency energy, dan recycle water usage. Limbah cairnya dijadikan biogas yang menghasilkan 1 megawatt. “Listrik di pabrik ini dari biogas tersebut,” katanya. Sedangkan limbah padatnya digunakan untuk pakan sapi, sehingga di belakang pabrik terdapat peternakan sapi. Selain itu, di lahan pabrik seluas 40 hektar tersebut juga ditanami Indigofera sehingga kawasan itu menjadi hijau. Daun Indigofera ini sangat baik untuk pakan sapi. “Sapi menjadi tumbuh lebih cepat dan gemuk,” katanya. Selain itu juga dibangun kolam-kolam penampungan air.

Gobel mengatakan, dunia sedang dihadapkan pada ancaman krisis pangan. Hal itu terjadi akibat naiknya populasi penduduk dunia, climate change, makin terbatasnya lahan, serta konflik-konflik geopolitik dan menegangnya hubungan sejumlah negara. Semua itu berdampak terhadap naiknya kebutuhan pangan, terganggunya produksi pertanian, dan terganggunya rantai pasok. Saat ini Indonesia sudah merasakannya. “Kita mengaku negara agraris, tapi berasnya impor dalam jumlah yang relatif besar,” katanya. Selain itu, Indonesia juga sudah lama mengimpor tepung singkong dan menjadi nett importer untuk tepung gandum. Karena itu, ia mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi lebih cepat terhadap persoalan pangan ini. “Jumlah penduduk Indonesia cukup besar,” katanya.

BACA JUGA :  Langkah Strategis Pemkot Gorontalo untuk Menekan Angka Pengangguran

Namun Gobel membandingkan Indonesia dengan India dan China. Kedua negara ini mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Bahkan Indonesia impor beras dari mereka. Padahal iklim China dan India sebagian tropis dan sebagian lagi subtropis. Jumlah penduduk mereka juga sangat besar dibandingkan dengan Indonesia, mereka di kisaran 1,5 miliar. Namun ternyata mereka bisa lebih baik dari Indonesia. “Jadi pasti ada yang salah pada kita. Padahal iklim kita lebih ramah, tanahnya subur, lahannya luas, dan jumlah penduduknya jauh lebih sedikit,” katanya.

Karena itu, kata Gobel, Indonesia harus berbenah dalam produksi pangan dan mencari berbagai alternatif sumber pangan. “Singkong adalah salah satunya,” katanya. Singkong juga lebih sehat dari beras dan gandum dilihat dari sisi indeks glikemik dan kandungan gluten. Singkong dan sagu tidak mengandung gluten. Indeks glikemik sagu dan singkong juga lebih rendah dibandingkan dengan beras dan gandung, yaitu sagu 40, singkong 46, gandum 55-69, dan beras 64. “Jadi sangat bagus untuk mengontrol kadar gula di dalam tubuh,” katanya.

BACA JUGA :  KORPRI Kota Gorontalo Gelar Ziarah untuk Mengenang Jasa Para Tokoh

Gobel mengatakan, banyak orang tidak menyadari bahwa tepung singkong dan modifikasi tepung singkong merupakan bahan sangat penting dalam berbagai produk makanan seperti bakso, nuget, mi, dan beragam produk makanan lainnya. “Karena itu tanpa terasa kita menjadi importer besar untuk tepung singkong,” katanya. Pada sisi lain, ada banyak negara yang merupakan nett importer atau importer besar tepung singkong seperti Jepang, Filipina, China, dan lain-lain. Tepung singkong juga bisa menjadi bahan kertas, plastik organik, sedotan, dan beragam wadah. “Jadi selain untuk ketahanan pangan nasional, singkong juga bisa menjadi penghasil devisa,” katanya.

Membangun pertanian pangan, kata Gobel, juga bagian dari pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja yang besar, dan membangun kesejahteraan masyarakat. “Saya sudah uji coba bertanam singkong di Gorontalo. Hasilnya luar biasa. Per batang bisa 25 sampai 30 kg. Padahal biasanya sekitar 2 sampai 8 kg saja. Jadi ini sangat layak untuk dikembangkan. Yang penting dibangun ekosistemnya sehingga pupuk tersedia, lahan tersedia, pendanaan tersedia, dan penyerapannya terjamin. Insya Allah ini bisa menjadi solusi banyak hal,” katanya.

(*)