Oleh
Sri Sundari Patilima, SP.d
Aksi demonstrasi kembali dilakukan oleh partai buruh dan organisasi serikat buruh di depan DPR RI pada 4 April 2023. Kemudian akan berlanjut setiap pekan hingga puncaknya pada tanggal 15 April 2023. Aksi ini bertolak dari PERPPU No 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker yang telah dinyatakan inkonstiusional (cacat) oleh MK namun mendadak disahkan oleh DPR RI pada tanggal 31 Maret 2023. (www.apahabar.com 17/04/2023)
Merasa dikecewakan dengan pengesahan PERPPU menjadi UU ini, massa mahasiswa BEM UI Jakarta Pusat membentangkan spanduk berisi perlawanan di depan gedung DPR. (www.katadata.co.id 17/04/2023).
Aksi yang sama dilakukan oleh para mahasiswa seluruh Indonesia seperti UNM Makassar, Universitas Lampung, UNHAS Makassar, Aliansi Mahasiswa dari sejumlah Universitas di Malang, Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Gorontalo (Gempar-G) dan lainnya.
Di Gorontalo, demonstrasi dilakukan pada hari Senin sore 10/042023 oleh Aliansi Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Gorontalo (GEMPAR) untuk menolak disahkan UU Cipta Kerja. Demonstrasi ini dilakukan di kantor DPRD Provinsi Gorontalo oleh 50 organisasi yang tergabung dan berujung ricuh. (www.hulondalo.id 17/04/2023).
Belum terlihat hasil, demonstrasi berlanjut esok hari, Selasa 11 April di bundaran Saronde Kota Gorontalo Pukul 14:00 Wita oleh Aliansi BEM se Gorontalo dan Organisasi kepemudaan. Mereka berkumpul di depan kampus UNG sebelum berjalan menuju titik aksi di bundaran saronde.
Aksi tetap berlangsung meski ditengah terik matahari dan dalam situasi puasa Ramadan. Aksi pun berakhir dengan negosiasi dan pembubaran oleh kepolisian. (www.dulohupa.id 17/04/2023)
UU Ciptaker untuk siapa?
Menciptakan lapangan pekerjaan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk rakyatnya sehingga lahir kebijakan dalam bentuk UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020. Sejak awal dikeluarkan, peraturan ini mendapat penolakan masa karena dinilai tidak pro terhadap buruh melainkan pengusaha/investor. Akhirnya UU ini pun dinyatakan inkonstitusianal karena cacat formil yaitu tidak melibatkan elemen masyarakat. Oleh karena itu, diberikan kesempatan oleh MK selama 2 tahun untuk memperbaiki kecacatannya.
Alih-alih diperbaiki, UU ini memang berstatus inkonstitusioanal namun pemerintah sudah menerapkannya secara lapang. Tanpa ada keterbukaan untuk memperbaiki, rakyat tambah dikecewakan dengan kado akhir tahun 2022 dari Pressiden dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) No 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker. Walhasil sejak awal tahun 2023 ragam aksi dilakukan oleh serikat buruh maupun mahasiswa untuk menolak PERPPU. Bagai suara angin yang berlalu, suara rakyat diabaikan dengan disahkannya PERPPU ciptaker menjadi UU Ciptaker No. 6 Tahun 2023 pada akhir maret 2023.
Dengan ragam penolakan namun tetap disahkan menyisakan tanda tanya. Sebenarnya untuk siapa kebijakan Cipta Kerja ini dikeluarkan?
Benarlah kalimat yang terdapat dalam selebaran aksi rakyat Gorontalo, yaitu “UU Ciptakerja milik oligarki, bukan milik rakyat”. Kalimat ini tidak hanya berisi tuntutan UU Ciptaker namun menunjukan pula realitas undang-undang dalam Demokrasi.
Demokrasi Melahirkan UU Sekuler
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang meletakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Peraturan harus berasal dari rakyat dengan adanya perwakilan rakyat agar tidak ada satupun yang terpaksa melainkan semuanya memberikan suara. Bahkan jabatan pun didapatkan berdasarkan suara rakyat. Saking berharganya suara rakyat. Padahal Justru inilah masalah utamanya.
Jika aturan harus berasal dari rakyat (manusia) dan bukan dari Allah (Sang Pencipta juga Pengatur), maka agama menjadi urusan individu (privasi) dan tidak digunakan mengatur kehidupan kemasyarakatan. Inilah yang disebut sekularisme. Sebuah pemahaman hidup bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan yang mengakibatkan agama dipisahkan pula dari urusan negara. Termasuk dalam pengurusan penyediaan lapangan pekerjaan (cipta kerja) untuk rakyat, halal-haram tidak menjadi pertimbangan.
Kapitalisme adalah Ideologi Penjajahan
Kapitalisme adalah peradaban yang berkdiri diatas sekulerisme yang terkenal dengan ide kebebasan. Bebas dalam berkeyakinan, bebas dalam berpendapat, bebas dalam berperilaku dan bebas dalam berkepemilikan. Kebebasan berkepemilikan meniscayakan para Kapitalis yang berkuasa.
Dengan harta yang dimilikinya ia mampu membeli sumber daya alam seperti tambang, batubara, bahkan mampu membeli hukum dalam negara. Wajar ketimpangan ekonomi menjadi cirinya yaitu si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin. Wajar jika Indonesia Negara kaya sumber daya alam namun pribuminya miskin. Wajar jika secara kertas Indonesia dinyatakan ekonominya mengalami pertumbuhan namun bukti lapang rakyatnya stunting dan kelaparan.
Sebagai bahan renungan, Gorontalo adalah daerah yang sumber daya alamnya berlimpah ruah khususnya emas. Namun disaat yang sama, Gorontalo menjadi Provinsi dengan pendapatan terendah seIndonesia pada Tahun 2021. (www.tribun.bali.com 17/04/2023)
Di Indonesia, tidak sedikit penguasa yang juga menjadi pengusaha (Oligark). Sehingga hubungan pemerintah dengan rakyat bukanlah hubungan amanah. Tetapi hubungan penjual dan pembeli. Rakyat yang harusnya diatur oleh pemerintah dengan sepenuh hati sebagai kewajibannya, tetapi menjadi pasar bagi oligarki. Pantas saja UU Ciptaker tetap diperjuangkan dan dipaksakan tidak memandang penolakan rakyat datang silih berganti.
Dimana posisi negara? Negara tidak lain hanya menjadi regulator yang akan melayani para oligarki dan kapitalis alias penjajah hak rakyat. Siapapun dan negara manapun yang menerapkan ideologi kapitalisme pasti akan menjadi penjajah.
Islam Sistem Terbaik Dalam Menyediakan Lapangan Pekerjaan
Sudah selayaknya kita kembali pada hakikat sebagai makhluk bahwa makhluk akan teratur hanya jika menjadikan aturan Pencipta (Allah swt) sebagai aturan hidupnya. Dalam Islam, manusia tidak berhak membuat hukum karena hak membuat hukum hanya ada pada Allah Taala sebagai Al-Khaliq (pencipta) dan Al-Mudabbir (pengatur makhluk-Nya). Manusia diberi wewenang menjalankan hukum sesuai ketetapan syariat Allah Swt. Inilah salah satu perbedaan mendasar sistem demokrasi dengan Islam.
Dalam Islam, Tugas pemimpin adalah ri’ayah suunil ummah, yakni mengurusi urusan masyarakat. Artinya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat adalah prioritas pemimpin negara. Penguasa adalah pelayan rakyat yang melayani kepentingan rakyat dengan baik. Bukan sebaliknya, dalam demokrasi justru rakyat sebagai pelayan penguasa/oligarki.
Dalam Islam, sistem ekonominya mengatur 3 macam kepemilikan. Kepemilikan Negara, kepemilikan Umum dan kepemilikan individu yang masing-masing kepemilikian ini tidak bisa dimiliki oleh selain yang telah ditetapkan syara’.
Misalnya sumber daya alam adalah izin Allah kepada umum untuk dimiliki publik namun yang pengelolaannya dilakukan oleh negara. Sehingga dari sini akan terbuka lapangan pekerjaan untuk rakyat. Distribusi pendapatannya pun dialokasikan untuk kepentigan rakyat secara umum, seperti pendidikan, kesehatan, jalan, jembatan, dan lain-lain.
Beginilah pengaturan islam yang sesuai dengan fitrah manusia, baik muslim maupun non muslim. Karena penyediaan lapangan pekerjaan dan urusan kemasyarakatan lainnya tidak hanya tentang muslim (Rahmatan lil ‘aalamiin). Namun semua ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan sistem Islam.
Karena itu, perjuangan mahasiswa Muslim harusnya mengarah kepada perubahan sistem Demokrasi kepada sistem Islam. Selama masih berharap kepada sistem demokrasi yang meniscayaan kekuasaan dipegang oleh oligarki/kapitalis maka tidak akan menyelesaikan problem utamanya. Kekuasaan oleh oligarki/kapitalis akan selalu berujung ketimpangan ekonomi, kurangnya lapangan pekerjaan, para buruh terancam PHK, hak-hak pekerja akan tergadaikan, kebijakan yang lahir pun sarat akan kepentingan. Hanya dengan mengubah sistem sekarang dengan sistem islam rakyat benar-benar akan diurusi secara keseluruhan hidupnya. Tidak hanya pada pengadaan lapangan kerja, namun semua aspek kehidupan.
Allahu a’lam..