JAKARTA, MEDGO.ID – Viralnya video dari Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI), Yaqut Cholil Qoumas, yang memberikan ucapan selamat merayakan hari raya Nawruz kepada komunitas Baha’i, memunculkan pro-kontra di ranah publik seperti dari masyarakat biasa, tokoh ormas, hingga anggota DPR atau politisi. Pidato Menag tersebut dianggap off-side, dan membuat “kegaduhan”.
Dikutip dari laman resmi kemenag.go.id, Jum’at (30/7/2021), menurut Abdul Jamil Wahab, Peneliti Puslitbang Kementerian Agama, sebenarnya tidak ada yang salah dengan video dari Menag tersebut dan pro-kontra yang terjadi karena adanya kesalahpahaman dalam melihat eksistensi agama Baha’i.
“Mereka yang kontra, umumnya memahami Baha’i sebagai bagian dari aliran dalam Islam, yang dianggap sesat dan menyimpang, atau dianggap agama yang belum diakui negara. Tulisan ini mencoba menjawab beberapa kesalahpahaman yang muncul di masyarakat tersebut”, kata Abdul Jamil.
Abdul Jamil memaparkan, dari hasil riset Balitbang Kemenag tahun 2014 (juga beberapa pihak lain), menyimpulkan bahwa Baha’i adalah suatu agama tersendiri dan bukan aliran dari suatu agama tertentu, karena Baha’i memiliki nabi, kitab, doktrin, dan ajaran tersendiri.
Agama Baha’i, tambah Abdul Jamil, merupakan agama yang dirujukkan pada ajaran Baha’ullah.
Agama Baha’i lahir di Iran sekitar tahun 1844. Ajaran Baha’i memiliki penekanan kesatuan hakikat semua agama.
Dalam rangka kesatuan ini, lanjut Abdul Jamil, Tuhan diibaratkan sebagai Matahari. Sementara umat-umat beragama diibaratkan orang yang hidup dalam keluarga dan di rumah tertentu. Setiap orang hanya bisa melihat matahari berdasarkan warna kaca jendela masing-masing, sehingga ada yang melihat matahari itu berwarna hijau, merah, biru, dan sebagainya.
“Menurut ajaran Baha’i, setiap orang beragama harus keluar dari ekslusivisme agama masing-masing, sehingga mampu melihat hakikat kebenaran Tuhan Yang Satu. Setiap orang harus keluar dari rumahnya masing-masing, sehingga bisa melihat sinar matahari yang hakiki, tidak melalui kaca jendelanya. Atas dasar itu, ajaran Baha’i sering disebut memiliki prinsip kesatuan agama”, kata Abdul Jamil.
Lebih jauh Abdul Jamil menyampaikan bahwa Baha’i memiliki 12 asas yang meliputi: Keesaan Tuhan, kesatuan agama, persatuan umat manusia, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, penghapusan prasangka buruk, perdamaian dunia, kesesuaian agama dan ilmu pengetahuan, mencari kebenaran secara bebas, keperluan pendidikan universal, keperluan bahasa persatuan sedunia, tidak boleh campur tangan dalam politik, penghapusan kemiskinan dan kekayaan yang berlebihan.
“Agama Baha’i juga memiliki peribadatan seperti puasa, sembahyang, dan doa. Barangkali inilah yang sering disebut menyamai Islam. Ritual tersebut, meski memiliki persamaan, tapi dalam beberapa hal berbeda. Meski ada kemiripan dengan Islam, seharusnya tidak menjadi masalah, bukankah banyak agama yang juga memiliki kesamaan, antara satu dengan lainnya?”, ujar Abdul Jamil.
Masih menurut Abdul Jamil, banyak agama yang memiliki kemiripan satu dengan lainnya. Kristen, Yahudi, dan Islam, memiliki beberapa persamaan dalam ajarannya, karena ketiganya merupakan kesinambungan agama Ibrahim.
Agama Kristen Koptik di Mesir, dalam beberapa hal juga menyerupai kaum Muslimin, menggunakan simbol-simbol yang biasa dipakai Muslim.
Atas dasar pemikiran tersebut, lanjut Abdul Jamil, ucapan dari Menag memberikan ucapan selamat merayakan hari raya Nawruz kepada komunitas Baha’i, tidak berbeda dengan ucapan kepada pemeluk agama lain, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu. Hal ini lazim dilakukan oleh seorang Menteri Agama.
Apakah Agama Baha’i Diakui?
Semua agama yang ada di Indonesia dijamin dan dilindungi negara. Dalam UUD 45 Pasal 28 E ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Dalam Pasal 28 I Ayat (2), juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya, dalam Pasal 29 Ayat (2) ditegaskan, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama. Pasal-pasal tersebut sangat jelas menjamin hak dan kebebasan beragama setiap warga negara.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU No.1 PNPS Tahun 1965, disebutkan bahwa agama-agama yang dipeluk masyarakat Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, semua mendapatkan perlindungan dan bantuan pemerintah. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 1 UU tersebut juga dijelaskan, agama di luar yang 6 agama di atas, tetap mendapat jaminan negara dan dibiarkan adanya, selagi tidak menyalahi peraturan perundang-undangan.
Dalam konstitusi UUD 45, tidak dikenal istilah agama diakui dan agama tidak diakui. Istilah agama diakui, terdapat dalam UU No 23 Tahun 2006 tentang Adminduk, namun demikian, Pasal 61 dan 64 UU Adminduk pernah dijudicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam keputusannya, MK menyatakan kedua Pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi yang menjamin kebebasan beragama. Kedua Pasal tersebut dinilai mendiskriminasi penganut agama dan kepercayaan tertentu.
Dengan demikian, sesuai konstitusi dan peraturan perundangan di atas, agama Baha’i, termasuk agama-agama lainnya seperti Sikh, Tao, Yahudi, Aluktodolo, Merapu, Sunda Wiwitan, dan lainnya, berhak hidup di Indonesia. Negara harus menghormati, melindungi, dan melayani dengan menjamin terpenuhinya pelayanan hak-hak sipil mereka. (*).