Oleh : Rostia Mile
Indonesia mendunia karena Tragedi Kanjuruhan. Peristiwa kelabu itu tentu menjadi duka kita semua sebagai rakyat Indonesia. Tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia. Tidak ada gegap gempita kemenangan setelah peristiwa berdarah. Laga pertandingan bak arena peperangan.
Sabtu, 1 Oktober 2022, menjadi malam kelabu bagi Indonesia. Stadion Kanjuruhan malam itu menjadi saksi bisu peristiwa mematikan di laga pertandingan Arema FC Vs. Persebaya. Sebanyak 125 orang meninggal, 302 luka ringan, dan 21 luka berat. Pertandingan sepak bola itu berakhir tragis setelah terjadi kericuhan. Ratusan orang meregang nyawa dan luka-luka.
Sontak, tragedi kemanusiaan tersebut menyedot perhatian dunia internasional. Siapa sangka, peluit panjang pertandingan juga menjadi akhir bagi kehidupan ratusan orang. Presiden Jokowi pun bereaksi dengan menghentikan Liga 1 dan membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta yang dikomandoi Menko Polhukam Mahfud MD untuk mengusut tuntas peristiwa memilukan itu.
Pada Senin 3 Oktober 2022, Kepolisian RI merilis data terbaru jumlah korban tragedi di Kanjuruhan. Sejumlah 125 korban meninggal dunia, 21 orang korban luka berat, dan 304 orang korban luka ringan. Total korban 450 orang dan dimungkinkan jumlahnya terus bertambah sejalan proses penyelidikan.
Jumlah korban sebanyak ini tentu sangat mengenaskan. Apalagi, rata-rata korban meninggal atau terluka akibat kehabisan nafas dan terinjak-injak sesamanya. Terbayang, saat ribuan orang menghadapi ancaman kematian yang tiba-tiba datang. Sementara saat itu mereka, yang mayoritas kaum milenial, sedang berada dalam kesia-siaan.
Bentuk Kesia-sian yang di pertahankan
Di seluruh dunia, sepak bola memang tidak lagi sekadar permainan olahraga. Efek dari permainan ini telah jauh merasuk ke berbagai aspek kehidupan seperti sosial keagamaan, teknologi informasi, hiburan, politik, dan perekonomian. Bahkan aspek ekonomi menjadi hal yang sangat dominan. Peminatnya yang sangat besar, menjadikan sepak bola berpotensi menjadi ajang bisnis atau industri jasa hiburan baru yang menguntungkan bagi para pemilik modal. Pada suasana persaingan, fanatisme buta dan dendam yang menggelora, justru ada potensi besar mengeruk cuan.
Tidak heran jika klub-klub sepak bola terus bermunculan. Bahkan, para miliuner kelas dunia dan nasional, termasuk perusahaan milik negara, pejabat, dan anak pejabat, serta tidak ketinggalan para artis ternama, beramai-ramai terjun menjadi pemilik klub sepak bola atau terlibat dalam bisnis sepak bola. Besarnya profit yang akan mereka raup tentu menjadi basis hitungannya.
Sebagaimana layaknya bisnis dalam kapitalisme, dalam industri sepak bola, para kapitalislah (pemilik klub) yang akan mendapatkan keuntungan, sedangkan sebagian pemain dan penonton (fans dan suporter) menjadi pihak yang tereksploitasi.
Tragedi Kanjuruhan menjadi bukti bahwa pertandingan sepak bola adalah lahwun munadhamun yang membawa bencana. Bukan hanya kerugian materi, melainkan juga hilangnya nyawa ratusan jiwa
Bayangkan saja, untuk Indonesia, ada ratusan juta orang yang bisa jadi objek pasar bisnis sepak bola. Bukan hanya dari penjualan tiket pertandingan saja, tetapi yang lebih besar lagi adalah dari penjualan cendera mata, hak siar televisi, sponsor, bahkan penjualan pemain sepak bola.
Kelalaian Negara
Menyoal tragedi ini Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. mengatakan terdapat unsur kelalaian negara, bisnis, dan fanatisme klub. “Saya berpendapat ada kelalaian negara, bisnis dan fanatisme klub. Kemudian ada tiga pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban, yaitu aparat, organisasi penyelenggara beserta asosiasi sepak bola, dan negara,” ungkapnya kepada MNews, Senin (03/10/2022).
Chandra mengatakan berdasarkan keterangan ahli Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto, penggunaan gas air mata yang berlebihan dapat menyebabkan iritasi dan sesak napas. Bahkan, bila menghirup dalam konsentrasi tinggi bisa menyebabkan kematian. “Oleh karena itu, tembakan gas air mata dan tindakan represi lainnya oleh aparat wajib untuk dilakukan evaluasi menyeluruh. Mendorong pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan cepat, menyeluruh, dan independen terhadap penggunaan gas air mata dan memastikan bahwa mereka yang terbukti melakukan pelanggaran diadili di pengadilan dan tidak hanya menerima sanksi internal,” harapnya.
Penyelenggara dan asosiasi sepak bola, sambung Chandra wajib dievaluasi dan dilakukan penyelidikan atas unsur kealpaan. “Pasal 359 KUHP tertulis barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun,” imbuh Chandra. Chandra mengatakan berdasarkan penjelasan keterangan Menko Polhukam Mahfud MD. Korban meninggal dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, umumnya karena desak-desakan, himpitan, terinjak-injak, dan sesak nafas.
Tragedi di Kanjuruhan disebut-sebut sebagai insiden terburuk kedua sepanjang sejarah liga sepak bola di dunia. Pada Mei 1964 pernah terjadi kerusuhan mematikan antar pendukung tim Peru dan Argentina. 318 orang tewas, dan lebih dari 500 orang luka-luka. Bukan rahasia, jika pertandingan sepak bola cenderung melahirkan fanatisme buta suporternya. Di Indonesia, kisruh sepak bola pun sudah menjadi hal biasa. Hanya sebelum-sebelumnya, tidak sampai menelan banyak korban jiwa.
Pandangan Islam
Islam membolehkan berolahraga dalam rangka menjaga kesehatan, kebugaran, dan keterampilan bagi kaum muslim. Dalam Islam, tidak dibenarkan permainan yang menimbulkan kesia-siaan. Allah Swt. berfirman, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran: 185)
Bermain, berolahraga, dan bersenda gurau, sebenarnya tidak mengapa asalkan permainan tersebut tidak melalaikan tujuan hidup kita di dunia.
Sayangnya, sistem sekuler kapitalisme tidak memiliki konsep kepemimpinan yang lurus dan benar. Politik kekuasaan hanya dimaknai sebagai alat meraih keuntungan material dan sangat jauh dari nilai-nilai kebaikan. Wajar jika kebijakan penguasa seringkali berselisih dengan kepentingan rakyatnya. Bahkan, mereka tidak takut menjalankan kezaliman dan kedurhakaan.
Berbeda halnya dengan sistem kepemimpinan Islam. Paradigma ruhiah yang lekat padanya, membuat para penguasa berhati-hati dalam mengurus dan menjaga rakyatnya. Segala hal yang akan membawa pada keburukan dengan segala daya akan dijauhkan. Bahkan, segala bentuk kesia-siaan tidak akan diberi tempat dalam kehidupan.
Dalam pandangan Islam, generasi umat adalah aset peradaban. Merekalah penjaga kelangsungan risalah dan pelaksana fungsi kekhalifahan. Oleh karena itu, menjaga mereka menjadi salah satu amanah kepemimpinan dalam Islam. Sungguh berat posisi kepemimpinan dalam Islam, hingga Rasulullah saw. mencegah salah seorang sahabatnya yang dipandang lemah untuk mengambil amanah kekuasaan. Dalam sebuah riwayat disampaikan,
عن أبي ذرٍ رضي الله عنه، قال: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَىَ مَنْكِبِي. ثُمّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرَ إنّكَ ضَعِيفٌ وَإنّهَا أَمَانَةٌ، وَإنّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إلاّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقّهَا وَأَدّى الّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini (yakni kepemimpinan) adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haknya, sekaligus menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim)
Wallahu ‘alam Bishowab….
*Penulis adalah Mahasiswa UNG