Oleh : Haris Zaky Mubarak, MA*
AWAL tahun 2021 ini, banjir, tanah longsor dan gempa telah menerjang beberapa daerah di Indonesia. Daerah Bener Meriah, Aceh, Sumedang, Jawa Barat, Tanjungpinang, Kepulauan Riau dan berbagai daerah di Kalimantan Selatan. Banjir disertai tanah longsor ini telah memakan korban jiwa dan harta benda masyarakat.Kondisi kian mengkhawatirkan karena situasinya di tengah krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19.
Menghadapi situasi sulit akibat bencana dan pandemi Covid-19, mau tak mau kita harus cermat dan tanggap dalam menghadapi situasi krisis ini. Seperti halnya musibah banjir yang ada di Kalimantan Selatan yang ditafsirkan banyak orang sebagai efek buruk dari sikap manusia yang serakah dalam mengekploitasi segala sumberdaya hutan dan merusak ekosistem jadi biang masalah.Akibatnya terjadi degradasi, deforestasi dan fragmentasi habitat muncul di beberapa daerah yang dulunya hutan.
Penataan kawasan lingkungan dan alam harus menjadi prioritas utama supaya dalam masa mendatang banjir tak terjadi lagi. Pemerintah daerah selama ini memang telah mengupayakan program reboisasi hutan, penghijauan sempadan sungai dan gerakan kali bersih selama dekade terakhir. Tapi, hasilnya belum maksimal. Justru alih fungsi lahan dan pembabatan hutan kian marak terjadi di berbagai daerah Indonesia. Belum lagi persoalan tambang batubara yang marak dilakukan di kawasan pegunungan dan hutan lindung semakin membuat ekosistem alam semakin buruk dan rusak.
Antisipasi Serius
Indonesia merupakan Negara yang paling sering dilanda bencana alam. Hal ini memberi respon masyarakat untuk mawas diri dan menyadari secara serius pentingnya mempersiapkan diri untuk mengantisipasi bencana yang setiap saat dapat datang. Tanpa pemahaman dan pengetahuan yang memadai menghadapi kemungkinan bencana alam, dampak dan eskalasi kebencanaan dapat semakin meluas.Pemahaman dan pengetahuan kebencanaan sangat terkait dengan upaya pendidikan.
Harus diakui, pemerintah baik pusat dan daerah seringkali terkesan terlambat dalam menjalankan kebijakan yang khusus berfokus dalam bidang pendidikan kebencanaan. Baru pada tahun 2019, geliat pendidikan kebencanaan mulai diperhatikan secara mendalam.Respons pemerintah terhadap pendidikan kebencanaan di antaranya mewujud pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Pemendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggraaan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Diundangkan pada pengujung 2019, Permendikbud ini menandai upaya pendidikan kebencanaan secara lebih definitif dan rinci. Dalam rilisnya, Sekretariat Nasional SPAB menyajikan berbagai petunjuk teknis bagi siswa dan pedoman bagi para pelatihnya dalam menghadapi situasi kebencanaan.
Pedoman dan acuan teknis dalam menghadapi situasi katastropik sangat diperlukan agar respons kebencanaan didasarkan pada sikap yang prosedural. Di berbagai belahan negara, langkah antisipatif menghadapi bencana alam bahkan sudah diperkuat dengan behavioral risk audit (BRA). BRA dijalankan untuk memastikan pelatihan manajemen risiko bencana berjalan secara rutin dan menjadi kesadaran bersama oleh semua pihak.
Hadirnya konsep Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) setidaknya menjadi praktik baru ditengah urgensinya pendidikan kebencanaan. Dalam konsep ini, layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis layanan menjadi garda terdepan dalam konteks membangun masyarakat yang aman dari ancaman bencana.Pendidikan kebencanaan diharapkan menumbuhkan sikap dan keterampilan mengelola fase sebelum, saat, dan setelah bencana terjadi. Selain itu diharapkan pula berkembang adanya pemahaman yang antisipatif terhadap bencana.
Mitigasi Terpadu
Salah satu masalah besar dalam pendidikan bencana Indonesia adalah masalah koordinasi yang tidak maksimal. SPAB yang melibatkan banyak pihak di dalamnya berpotensi menjadi program yang dijalankan sendiri-sendiri tanpa adanya kesatuan langkah. Seringkali kita tidak akan bisa membendung datangnya banjir dan gempa bumi. Padahal masalah banjir dan gempa bumi adalah bagian dari kelalaian kita dalam mengelola laut, alam dan lingkungan.
Untuk menghadapi bencana alam di Indonesia semua lapisan pemerintah baik pusat dan daerah harus selalu intens meningkatkan koordinasi terpadu dengan pihak Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) serta lembaga terkait lainnya sebagai langkah maju dalam pendidikan kebencanaan kepada masyarakat.Bahkan secara lebih jauh dalam ruang antisipasi tersebut juga memberi mitigasi perlindungan dalam hal perbaikan tata kelola alam dari hulu ke hilir, serta optimalisasi danau, sungai dan kanal supaya optimal dalam mengantisipasi terjadinya debit air yang berlebih pada masa-masa yang akan datang.
Pasca bencana banjir, lintas sektor pemerintah baik pusat dan daerah perlu fokus dalam upaya mengedukasi masyarakat dan pemerintah daerah terkait ancaman bencana alam di wilayah. Selain itu perlu ada komunikasi lanjutan dengan masyarakat terkait investigasi dari daerah-daerah rawan bencana mana saja yang perlu dimitigasi secara intens. Kesiapsiagaan dalam menyiapkan jalur evakuasi, peringatan desa-desa di kawasan rawan bencana maupun upya pencegahan lain harus menjadi kunci utama dari program mitigasi bencana alam. Data zona-zona yang rawan tsunami akibat gunung api di sebagian besar Indonesia harus disiapkan sebaik mungkin. Karena berangkat dari data dan fakta itulah, antisipasi terhadap potensi bencana ini akan meniadakan terjadi korban jiwa.
Saat ini muncul terobosan dari BNPB bersama beberapa kementerian dan lembaga yang mengeluarkan aplikasi android peta risiko bencana bernama InaRISK. Dalam aplikasi ini termuat peta gempa bumi, peta potensi tsunami, peta potensi banjir, hingga peta potensi tanah longsor, dan informasi tanggap bencana. Informasi ini terus di-update secara berkala sehingga dapat menjadi referensi para pengambil kebijakan. Meski sudah praktis dan efesien tapi nyatanya pengenalan aplikasi android ini masih minim diketahui dalam ruang pengetahuan masyarakat.
Jangka panjang, para pengambil kebijakan perlu memberiedukasi mitigasi bencana termasuk soal efektivitas penggunaan aplikasi InaRISK untuk cermat melihat dampak dan pencarian solusi dalam melakukan mitigasi bencana alam. Jika ada potensi hujan yang cukup ekstrem di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur, begitu juga naiknya kedalaman sungai maka dengan aplikasi InaRISK ini akan diinformasikan wilayah-wilayah mana saja yang harus siap siaga mewaspadai terjadinya bencana alam secara lebih besar.
Jika semua pihak mampu terkoordinasi dalam satu sistem jaringan mitigasi bencana, maka para pengambil kebijakan dapat cepat maenganalisis apa yang harus disiapkan. Adanya data sistem pemantauan dan integrasi data akan memberi validasi informasi potensi bencana untuk secara utuh sampai ke masyarakat. Dari upaya ini,manajemen kedaruratan bencana akan secara efektif terlaksana.[]
*)Direktur Jaringan Studi Indonesia