Ahmad Redi pengamat Hukum Pertambangan sampaikan bahwa kebijakan pelarangan ekspor nikel yang di lakukan oleh kesepakatan kepala BKPM dan Smelter melangar Aturan karena BKPM tugasnya mengurus izin usaha dan investasi bukan ekspor dan penetapan harga. Yang bisa mengurus ekspor dan Harga adalah kementrian ESDM dan Perdagangan.
Itu adalah bentuk Penyalah gunaaan kewenangan secara Administrasi.
Pengamat Bisnis Pertambangan Hanifa Sutrisna menilai bahwa Nilai Tambah ygan di maksud dengan kebijakan tersebut bukan Nilai Tambah Harga tetapi Nilai Tambah Pemasukan Pajak untuk Negara. Yang di lakukan oleh kepala BKPM tidak memenuhi Target yang seharusnya.
Harga nikel kadar 1,8% dibeli murah lebih murah oleh smelter dalam negeri kurang dari $30.-/WMT, sedangkan nikel kadar rendah 1.7% dibeli tinggi oleh importir lebuh dari $40,-/WMT. Berdasarkan data cadangan nikel terbesar adalah kadar <1,7% Ni dibandingkan >1,7% Ni*
Alasan Pemerintah produksi setengah jadi Nikel untuk kepentingan Batrei Lithium akan adanya pemasukan ke Negara akan tetapi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nikel belum ada tanda-tanda sesuai Target yang di harapkan akan tetapi cuma menguntungkan Smelter. Hilirisasi minerba seharusnya memperkuat BUMN dan mampu memberi Nilai Tambah kepada Negara.
Rakhmat Pakaya. SH sebagai Ketua JARNAS menyampaikan bahwa Refleksi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nikel yang di lakukan melalui diskusi Publik adalah mengingatkan kepada BKPM dan Kemenko Maritim Investasi menjelang Penetapan RUU MINERBA harus lebih hati-hati di akibatkan Besarnya Monopoli Pasar terhadap Kedaulatan Mineral kita.
Bayangkan Nikel yg menjadi Bahan dasar Teknologi Industri Massa Depan harus di antisipasi Indonesia sebagai Proxy Bangsa Asing.
Kami juga menyesalkan sikap Kementrian Menko Maritim dan investasi, dan Kementrian ESDM ke Dirjen Minerba kami telah mengundang sebagai pemateri tapi tidak ada 1 pun yang hadir sebagai pemateri. Sebagai organ taktis JARNAS tidak menghalangi Investasi ke Negara Justru menjadi mitra Strategis untuk memberikan masukan Demi kepentingan Negara sesuai UUD 45.
Catatan kritis JARNAS Refleksi Pelarangan Ekspor Nikel :
1. Negara kehilangan 600.000 juta Dollar akibat percepatan pelarangan ekspor nikel tersebut.
2. DR. Ahmad Redi. SH. MH pengamat Hukum Pertambangan menilai adanya Penyalahgunaan kewenangan secara Administrasi Cacat Hukum akibat dari kesepakatan BKPM dan Pemilik Smelter
3. JARNAS akan bersikap atas RUU MINERBA dalam dekat ini, kalau RUU ini sekedar menguntungkan Sekolompok Orang maka JARNAS akan mengerahkan Ribuan Massa Mahasiswa dan Pemuda untuk Menolak RUU MINERBA yang sarat kepentingan Neo Liberalisme
4. Pengamat Bisnis Pertambangan DR. Hanifa Sutrisna menyampaikan Seharusnya Nilai Tambah Pelarangan Ekspor Nikel dan sektor Minerba lainnya menjadi pemasukan Pendapatan ke Negara bukan nilai tambah ke pemilik smelter yang cenderung merugikan penambang Rakyat dgn harga di bawah HPM.