Prof Suteki   : SKB Pembubaran Ormas FPI, Membunuh Demokrasi

Pembubaran organisasi masyarakat (Ormas) Front Pembela Islam (FPI) oleh pemerintah, melalui surat keputusan bersama (SKB) para menteri   jajaran  kabinet Indonesia Maju  Jokowi – Makruf,. Hal ini mengundang  keprihatinan para pakar hukum, di antara nya Profesor Suteki.  Hal ini, disampaikan melalui chanel Yuotube Refly Harun, pada Jumat (01/01/2021).

Berikut Pendapat Hukumnya Prof suteki Terkait Pembubaran Ormas FPI

Perkenankan,  pada kesempatan ini memberikan legal opinion terkait dengan pembubaran dan pelarangan kegiatan ormas Front Pembela Islam yang pada tanggal 30 kemarin disiarkan oleh Menko polhukam dan beberapa jajarannya.

Kredit Mobil Gorontalo

Saya ingin memaparkan komentar saya ini dengan title  SKB keroyokan tindakan pembunuh demokrasi melalui pembubaran dan pelarangan Ormas Front Pembela Islam.

Saudara sekalian tampaknya reshuffel Kabinet Indonesia maju periode kedua ini membuahkan hasil sesuai dengan keinginan presiden, karena belum berselang lama Wakil Menteri hukum dan HAM yang masih masih anyar membacakan keputusan bersama tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan Front Pembela Islam.

 

Hati saya sebenarnya merasa perih menyaksikan style penegakan hukum di Indonesia ini yang lebih mengutamakan tindakan memukul daripada merangkul terhadap ormas-ormas dan atau orang yang dinilai berseberangan dan mengkritisi pemerintah”

Jadi seperti sebuah elegi hukum ini dipertontonkan hukum di negara yang notabenenya mengaku dirinya sebagai negara hukum bukan sebagai negara kekuasaan.  Tampaknya juga benar dalam hal ini Ilmu Hukum dan Ilmu Politik tidak lagi diperlukan negara ini, penegakan hukum tidak perlu menggunakan ilmu hukum tapi cukup menggunakan ilmu atur yang tidak beraturan bahkan dikatakan chaos karena diracuni oleh arogansi kekuasaan.

Kondisi ini menyebabkan krisis dalam penegakan hukum yang di desain dengan slogan negara tidak boleh kalah negara tidak boleh kalah dan aparat hukum dilindungi, cacat hukum dalam memproduksi keputusan akibat dua slogan Itu saya kira tidak juga tidak dapat dihindari.

Sebenarnya kita kalau kita bicara tentang pembubaran dan pelarangan FPI ini bukan sesuatu hal yang baru, karena pada pertengahan tahun 2019 itu Presiden Joko Widodo memang telah menyatakan tidak memperpanjang izin organisasi orang mengatakan sebagai garis keras karena itu Front Pembela Islam dalam hal ini juga tidak diperpanjang SKT nya Surat keterangan terdaftar pada masa jabatan presiden di periode  kedua ini.

Akan sangat mungkin itu melarang FPI untuk menjalankan aktivitas organisasinya dan ini sebagai bentuk keprihatinan pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang mengancam reputasi Indonesia karena menggabungkan Islam dengan demokrasi.

Selain itu kelompok-kelompok tersebut (FPI) berlawanan dengan ideologi negara yang dikatakan begitu. Hal ini tentu dikatakan mengancam kerukunan Bangsa, apakah ini benar ? dan wacana itu ternyata di akhir tahun 2020 menjadi real (nyata) dijalankan oleh pemerintah dengan penerbitan SKB yang saya sebut itu SKB keroyokan, 3 menteri dan juga tiga lembaga papan atas.

Kita memang prihatin atas hak berserikat dan berkumpul dalam bentuk ormas di Indonesia ini hak konstitusional di negara demokrasi pancasila ini seringkali harus diberangus oleh ketakutan rezim yang sedang berpuasa, karena ormas ini dianggap anti NKRI, anti pancasila dan juga dikatakan intoleran, ya sebagaimana alasan yang diterbitkan melalui SKB keroyokan ini,”

Dengan tudingan seperti itu seolah semua kebaikan dan peran serta ormas dalam menghadapi musuh-musuh negara ini hilang, juga terlupakan dan juga dilupakan tudingan yang sebenarnya secara hukum itu sulit dibuktikan di pengadilan yang independen.

Pemerintah juga tidak main hakim sendiri dalam menangani kasus ormas itu, mestinya juga tetap menggunakan cara-cara beradab sesuai dengan prinsip negara hukum yang bolak- balik itu di nyatakan oleh Presiden juga oleh beberapa menteri, dalam hal ini juga pemerintah membuktikan bahwa pemerintah sebagai tangan panjang negara itu benar-benar melindungi seluruh tumpah darah Indonesia seperti amanat alinea ke-4 undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan saya yakin itu FPI bukan seperti OPM dan atau kelompok teroris yang lain.

Ormas FPI Belum Menyamai OPM Melakukan Pemberontakan Kepada Pemerintahan Yang Sah

Mengapa sekarang ini OPM masih tetap hingga sekarang ini tetap eksis begitu dan tidak pernah dinyatakan sebagai teroris agar kita bisa secara mendiam menyatakan bahwa OPM itu kita perangi secara internasional kalau perlu ya dengan slogan work on terorism atau mungkin perlu dinyatakan sebagai kelompok yang radikalis atau kelompok yang terpapar radikalisme sehingga kitapun bisa memeranginya dengan slogan work on radikalism,”

Di sisi lain FPI harus secara jujur kita akui telah membantu menyelesaikan penyakit dan derita rakyat karena berada di Garda terdepan terutama ketika rakyat itu dirundung penderitaan, contohnya dalam hal bagaimana penanganan bencana bencana alam yang di Aceh di Palu dan seterusnya itu kita bisa menyaksikan, saya kira sangat bagus sekali bahkan diakui oleh organisasi internasional.

Nah kalau ada sedikit problem itu saya kira wajar, dan mungkin hampir semua ormas yang secara tulen memperjuangkan nasib rakyat dan umat itu bisa berbenturan kepentingannya dengan pemerintah atau di situ bisa kita katakan Conflict Of interest itu akan sangat mungkin terjadi.

Itu aja nah maka yang terpenting sebenarnya bukan memukul tapi bagaimana merangkul, bukan mengepluk tapi memeluk nah ini prinsip-prinsip yang kayaknya retoris, tetapi ini pentingisekali.

FPI  Memberikan Kontribusi  Sosial  Kemanusiaan Ditengah Masyarakat

Sebagai organisasi yang telah Malang melintang dengan segala derita tantangan yang dihadapi anggota FPI tetap akan menjadi Insan militan dalam membela keadilan dan kebenaran serta peduli dengan sesama manusia tanpa melihat background-nya, tidak melihat dari situ.

Jadi saya merasa sedih yang mendengar pemerintah membubarkan dan melarang FPI Sebagai ormas dan menurut saya tindakan itu betul-betul menggunakan pendekatan represifme oleh pemerintah tanpa mengendapkan sisi pembinaan terhadpa ormas, melainkan kalau saya boleh mengatakan bukan pembinaan tapi pembinasaan, bukan dibina tapi dibinasakan.

Ini jadi keprihatinan yang tersendiri bagi saya sudah dalam hal ini perlu saya sampaikan, dengan SKB 6 kelembagaan negara ini sebenarnya menunjukkan adanya ketidak patuhan pemerintah terhadap undang-undang dan juga putusan Mahkamah Konstitusi.

Pada beberapa kesempatan saya pernah menyatakan bahwa penanganan kasus HRS Ya Habib Rizieq Shihab dan juga 6 anggota Laskar Front Pembela Islam itu saya katakan pemerintah dan polisi itu tidak patuh pada dua putusan MK yaitu putusan MK nomor 7 PUU 7 2009 dan putusan MK nomor 21 PUU XII 2014, dan junctonya ke kitab undang-undang hukum acara pidana.

Pemerintah Tak Mematuhi UU Ormas, Dengan Pembubaran FPI

Pada kasus penerbitan SKB keroyokan ini pemerintah ternyata saya nilai mengurangi ketidak patuhan terhadap undang-undang yakni dalam hal ini adalah undang-undang ormas dan putusan MK nomor 82 PUU XI tahun 2013, kita coba untuk menganalisisnya yang pertama ketidakpatuhan pemerintah pada undang-undang ormas tahun 2017 itu untuk mengubah undang-undang ormas nomor 17 tahun 2013, saya melihat proses penjatuhan sanksi terhadap FP ini tidak didasarkan pada SOP yang benar yakni Sesuai dengan pasal 62 undang-undang ormas 2017 yang mestinya itu dilakukan melalui tahap-tahap yang sudah ditentukan secara prosedural, ada tiga tahap yang harus dilalui yang pertama tahap 1 itu adalah harus ada surat peringatan tertulis sebagimana dimaksud dalam pasal 61 ayat 1 huruf A diberikan hanya satu kali dalam jangka waktu 7 hari kerja, sejak tanggal diterbitkan peringatan itu, jadi dari masa peringatan itu 7 hari dan itu satu kali tidak berkali-kali, satu kali surat peringatan tertulis dan menurut informasi yang saya gali dari Front Pembela Islam ternyata surat peringatan tertulis ini tidak diberikan sebelum SKB kemarin diterbitkan.

Prosedur Pembubaran Ormas FPI

Tahap kedua yaitu setelah misalnya 7 hari tidak dipatuhi, surat peringatan tidak diindahkan maka tahap keduanya telah diterbitkan surat penghentian kegiatan, nah dalam hal ormas tadi tidak menaati peringatan tertulis dalam jangka waktu yang telah dikatakan 7 hari, menteri dan menteri yang mengurusi atau menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.

Lalu tahap yang ketiga ini baru bisa diterbitkan surat pembubaran atau mungkin juga sebelum dibubarkan itu ada pencabutan, pencabutan badan hukum kalau ada atau juga pelarangan ormas, kalau di undang-undang ormas ini kan kita yang kenalnya adalah mengenai pencabutan dan sekaligus pembubaran yang tidak ada istilah pelarangan, pelarangan ormas itu kita tidak kenal disitu

Dalam hal ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukumnya, kalau sesuai dengan kalau pencabutan badan hukum itu berarti sekaligus di pasal 80 itu dijelaskan otomatis ya organisasi itu dinyatakan bubar.

Ketika tahap-tahap tersebut di atas tidak dilakukan oleh pemerintah, maka menurut saya surat keputusan bersama yang tadi saya sampaikan itu adalah cacat hukum karena tadi saya katakan setau saya pemerintah belum pernah memberikan surat peringatan dan surat penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada pasal 62 undang-undang ormas 2017, nah  cacat hukum tersebut dapat dijadikan alasan agar SKB dibatalkan oleh pengadilan yang berwenang.

Setiap Warga Negara Berhak Melakukan Upaya Hukum Terkait Pembubaran Ormas FPI

Oleh karena itu sebenarnya dalam hal ini FPI dapat mengajukan permohonan gugatan kepada pengadilan tata usaha negara untuk menilai adanya prosedur yang cacat dan SKB itu juga berdampak terhadap kegiatan Front Pembela Islam.

Dalam pandangan saya sebenarnya PTUN sebelum tidak berwenang untuk menilai Bagaimana substansi organisasi dan ada atau tidaknya penyimpangan hukum kegiatan FPI, yang berhak menilai itu memang betul yang menurut undang-undang nomor 17 tahun 2013 itu yang menilai adalah pengadilan negeri atas gugata yang diwakili oleh Kejaksaan sebagai pengacara negara, jadi sebenarnya saudara sekalian sudah benar yang diatur dalam undang-undang nomor 17 tahun 2013 itu secara detail ya bagaimana tahap-tahap mengadili ormas yang dinilai menyimpang.

Namun ya sayang sekali seluruh Ketentuan tersebut telah dihapus oleh Perppu ormas tahun 2017 yang menurut saya itu sangat beraroma menerapkan negara kekuasaan dibandingkan dengan negara hukum.

Yang kedua ketidakpatuhan pemerintah pada putusan MK, memang betul bahwa negara ini tidak boleh tunduk pada narasi kebencian atau mungkin juga tindakan intoleran atau mungkin anti-anti yang lain sebagainya, tetapi di sisi lain negara itu juga dalam hal ini pemerintah ya harus menghormati memenuhi dan melindungi hak asasi manusia, khsususnya yang terkait dengan masalah ini adalah tentang kebebasan berserikat dan berorganisasi di negara hukum yang berlandaskan pada prinsip rule of Law.

SKB Pembubaran Ormas FPI, Bertentangan Dengan Prinsip Rule of Law

Menurut saya surat keputusan bersama keroyokan ini bertentangan dengan prinsip rule of law khususnya terkait dengan hak asasi manusia mengenai kebebasan untuk berserikat dan juga berkumpul, SKB keroyokan ini menurut saya salah satunya didasarkan pada undang-undang nomor 17 tahun 2013 kemudian sebagaimana diubah dengan undang-undang nomor 16 tahun 2017 yang dalam hal ini sejak awal itu yang kelahirannya sangat kontroversial, khususnya terkait dengan Perpu ormas 2017 yang kita juga bisa menilai itu sangat bermasalah dari perspektif negara hukum.

Undang-undang ormas tahun 2017 memang memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan, saya menyebutnya pemerintah itu sudah bertindak secara ekstraktif institution, jadi ekstraktif instruction itu bisa dikatakan sebagai lembaga pengayak tunggal untuk menilai tindakan ormas itu apakah menyimpang atau tidak, jadi ketika mencabut badan hukumnya itu mesti harus berdasarkan pada putusan pengadilan, tapi yang tadi ya sesuai dengan saya sampaikan bahwa di undang-undang ormas ini nggak perlu itu proses of law itu sebenarnya cukup dengan Kementerian Hukum dan HAM saja yang menerbitkan itu tidak perlu rombongan ya, ada 6 kelembagaan negara yang terkait dengan surat keputusan bersama itu.

Pembubaran Ormas FPI Merupakan  Tindakan Vandalism,  Yang Membunuh  demokrasi

Pernyataan dalam SKB keroyokan bahwa organisasi ini tidak diperpanjang atau dalam hal ini tidak memiliki karena tidak memiliki surat keterangan terdaftar, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa tiba-tiba secara de jure itu bubar, saya kira ini tidak tepat karena kalau kita dasarkan pada putusan nomor 82 PUU XI 2013 telah dinyatakan secara jelas disitu bahwa pasal 16 ayat 3 dan pasal 18 undang-undang  Ormas 2013 yang mewajibkan organisasi masyarakat itu ke masyarakat yang memiliki SKT, itu bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

Konsekuensinya apa?  Organisasi yang tidak memiliki SKT di kantor di kategorikan sebagai organisasi yang tidak terdaftar lalu bukan dinyatakan bubar secara hukum, jadi penggunaan istilah de jure untuk menyatakan suatu organisasi bubar karena tidak terdaftar atau tidak diperpanjang SKT-nya harus didasarkan pada dasar legalitas yang jelas bukan suka-suka kami istilahnya begitu.

Ya,  sementara itu putusan MK Nomor 82 Tahun 2013 maupun undang-undang ormas tahun 2013 tidak menentukan atau tidak mengatur hal tersebut, justru pada bagian penjelasan bagian pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi itu dinyatakan bahwa berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang, tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah atau negara tetapi negara tidak menetapkan ormas tersebut sebagai ormas terlarang atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan ormas, sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan ketertiban umum atau melakukan pelanggaran hukum.

Ketidakpatuhan pemerintah atas undang-undang ormas tahun 2017 yang dibuat sendiri ya. Karena ini berdasarkan Perpu ormas dan putusan MK yang sebutkan yang menunjukkan bahwa pemerintah sudah turut menjadi penegak hukum yang bisa dikatakan ugal-ugalan,  ya bahkan brutality, dengan vandalism terkait dengan penjatuhan sanksi kepada ormas Front Pembela Islam itu.

Dan kecacatan penerbitan SKB ini mestinya menyebabkan SKB tersebut dapat dibatalkan melalui gugatan ke pengadilan tata usaha negara,  dengan tindakan represif, sebenarnya juga mengindikasikan bahwa pemerintah sedang membunuh demokrasi itu sendiri. []