Predator Anak Makin Marak, di mana Perlindungan Negara?

Oleh: Hanifah Rasyida

Kondisi hari ini semakin tidak menyisakan ruang yang aman bagi anak-anak. Kasus pencabulan terhadap anak terus terjadi kian marak dan menjadikan kondisi pada anak semakin terancam. Banyak anak-anak menjadi korban pelecehan, rudapaksa, hingga pembunuhan.

Terbaru, polisi menangkap tiga pelaku kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap bocah 14 tahun, warga Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara pada senin (11-11-2024).  Selain di Aceh, seorang petani di Kabupaten Ende, NTT, ditangkap polisi atas dugaan kasus pemerkosaan terhadap seorang anak di bawah umur berinisial Z (16) padahal korban dan pelaku masih memiliki hubungan keluarga. (Dilansir dari Kompas.com).

Realitas yang sama terjadi di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Pria berinisial EM (40) ditangkap polisi lantaran tega mencabuli dua orang keponakannya yang masih di bawah umur berinisial RF dan AL. Korban yang sering bermain dengan anak pelaku, mengunjungi rumah EM. Di saat itulah, pelaku memanfaatkan situasi untuk memaksa korban masuk ke dalam kamar dan melakukan tindakan tidak senonoh. Korban pun diancam agar tidak melaporkan perbuatannya kepada orang lain. Seiring berjalannya waktu, akhirnya korban memberanikan diri untuk menceritakan peristiwa itu kepada keluarganya. Hingga akhirnya keluarga melaporkan pelaku ke Polda Gorontalo. (Dilansir dari Detik.com).

Jika kita mencermati realitas ini, jelas kondisi anak kian mengkhawatirkan. Keluarga atau orang dekat yang semestinya turut menjaga dan melindungi anak-anak justru menjadi pelaku kejahatan terhadap anak yang tidak jarang berakhir dengan pembunuhan.

Kemen PPPA menyebut bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada 2021. Prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki usia 13—17 tahun sepanjang hidup sebesar 3,65% pada 2021, naik menjadi 8,34% pada 2024. Sedangkan prevalensi kekerasan seksual pada anak perempuan dengan usia yang sama sepanjang hidup pada 2021 berkisar 8,43%, naik menjadi 8,82% pada 2024.

BACA JUGA :  Kronik Pilkada : Dari Merawat Harapan, Hingga Mengelola Kekecewaan dan Penderitaan

Data ini semestinya menjadi alarm keras bagi penguasa. Ini kasus yang tercatat, sedangkan yang tidak tercatat sangat mungkin lebih banyak lagi. Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di masyarakat tidak bisa diabaikan. Penyebabnya tidak hanya satu atau dua faktor, melainkan beragam. Yang lebih miris, kekerasan seksual dengan korban anak laki-laki justru meningkat tajam. Sebanyak 171 kasus dalam 11 bulan terakhir, terjadi di Jawa barat.

Kondisi ini menjadikan keluarga yang seharusnya menjadi tempat pertama anak-anak tumbuh, masyarakat yang menjadi tempat anak-anak untuk bersosialisasi dan negara yang seharusnya memberikan rasa aman kini tidak bisa diharapkan menjadi perlindungan bagi anak. Negara juga tidak aware pada urusan moral, malah membiarkan faktor-faktor penyebab maraknya predator anak merajalela. Tidak ada ruang aman bagi tumbuh kembang anak, merefleksikan sistem kehidupan yang rusak.

Manusia tidak mengarahkan potensi naluri dan akalnya sesuai dengan aturan Pencipta. Manusia memang memiliki naluri seksual (gharizah nau’) manusia juga memiliki akal untuk bisa berpikir bagaimana memenuhi naluri tersebut.

Akan tetapi, sistem kehidupan saat ini dipengaruhi oleh aqidah Sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Manusia tidak lagi berpikir untuk memenuhi naluri sesuai aturan Allah swt. namun cara berpikir dan berbuat dipimpin oleh hawa nafsu mereka dan hal saat ini diklaim sebagai hak kebebasan. Akhirnya muncul orang-orang yang lemah imannya dan tidak beradab.

BACA JUGA :  Ilusi Pengentasan Kemiskinan Dalam Sistem Kapitalisme

Kondisi ini juga terjadi karena lemahnya keimanan individu,  juga buruknya standar interaksi yang terjalin di antara Masyarakat. Sementara peran negara sangat minim dalam melindungi anak dalam berbagai aspeknya, baik pendidikan berasas sekuler, maupun sistem sanksi yang tidak menjerakan. Jika negara masih bertahan dengan kondisi seperti ini maka selama itu anak-anak tidak akan pernah selamat dari predator anak.

Inilah kerusakan, kezaliman dan bahaya akibat penerapan Sekularisme. Bahkan lebih dari itu, Sekularisme telah menjauhkan fitrah manusia sebagai hamba Allah. Kejadian ini seharusnya membuat umat sadar betapa banyak kerusakan yang Allah tampakan agar manusia kembali kepada aturan-Nya. Allah telah menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan yang akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi hidup umat manusia.

Dalam Islam, negara tidak akan pernah memisahkan agama dari kehidupan. Semua hal wajib terikat dengan aturan Allah termasuk peran negara. Negara Islam adalah negara yang menerapkan aturan sesuai Al-Qur’an dan Sunnah secara keseluruhan. Negara Islam adalah negara raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) sehingga keadilan mustahil tidak aware terhadap kondisi anak-anak. Negara memiliki kewajiban menjaga generasi, baik dalam kualitas hidup maupun lingkungan yang baik dan juga keselamatan generasi dari berbagai bahaya, termasuk berbagai macam kekerasan dan ancaman keselamatan.

Islam memiliki 3 pilar perlindungan terhadap rakyat termasuk anak, mulai dari ketakwaan individu,  peran keluarga, kontrol masyarakat hingga penegakan sistem sanksi oleh negara yang tegas, dan menjerakan.

BACA JUGA :  Kronik Pilkada : Dari Merawat Harapan, Hingga Mengelola Kekecewaan dan Penderitaan

Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai zawajir(pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.

Untuk perempuan korban pemerkosaan, seluruh fukaha sepakat perempuan itu tidak dijatuhi hukuman zina (had az zina), baik hukuman cambuk 100 kali maupun hukuman rajam (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, Juz 2 hlm. 364; Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 24 hlm. 31; Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294; Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Juz 20 hlm.18).

Jika perempuan itu mempunyai bukti (al bayyinah)pemerkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki muslim, atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia belum pernah menikah (ghairu muhshan) dan dirajam hingga mati jika dia sudah pernah menikah (muhshan). (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358).

Tidak hanya itu, Negara Islam akan mengawasi seluruh kanal media sehingga berperan untuk syiar dakwah. Konten-konten yang mengantarkan atau nyata-nyata mengandung kemaksiatan akan dilarang. Dengan begitu, hanya konten-konten yang sesuai hukum syariat saja yang akan disiarkan.

Dengan demikian jelas bahwa hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan perlindungan hakiki bagi anak-anak dari kejahatan predator seksual. Wallahualam bissawab.[]