Pencegahan Kekerasan Seksual tak cukup hanya dengan Peran Keluarga

Oleh: Mona Fatnia Mamonto, S.Pd

BUKAN petaka apabila tak ada sebabnya, bukan pula luka bila pada akhirnya menyisakan tangis dan trauma. Kekerasan seksual tak ubahnya gunung es yang terus memuncak, masalah demi masalah beriringan muncul bukan tanpa alasan yang dibuat, melainkan aturan yang tak jelas arahnya kemana hingga korban pun bermunculan dimana-mana, seperti menebar benih padi yang akhirnya hanya meninggalkan tunasrusak. Inilah polemik hari ini yang kian menjamur, bila hanya ada samar-samar, sementara banyak kerusakan tak terelakan. Lalu andil negara dimana? Bilamana keluarga adalah sarang penyebabnya ?

Peran Keluarga : Maksimalkah ?

Berjalannya waktu, setiap aturan yang dikeluarkan tentunya menghasilkan perbaikan yang sesuai dengan kepentingan perorangan, terlebih pada terancamnya nyawa seseorang atau harga diri. Hal ini tentu berbalik dengan apa yang terjadi hari ini, secara nyata lebih sering terjadi di lingkungan keluarga, yang notabenenya adalah tempat berlindung dari segala kerusakan dunia luar yang hingga hari ini tak pernah henti meski dibuat aturan baru bahkan sampai direvisi sedemikian cantik, nyatanya hanya memunculkan kerusakan baru yang tak ada jerahnya.

Perlahan tapi pasti, pada fakta yang ada, seorang ayah berinisial SH (54) mencabuli putri kandungnya berinisial NF yang berumur (19). Aksi bejat yang dilakukan oleh ayahnya ini sudah delapan tahun, yakni ketika korban masih duduk dibangku kelas 4 SD tahun 2014 sampai kejadian bejat tersebut diakhiri pada bulan Agustus 2023, yang lebih menyayat hati korban disetubuhi oleh ayahnya sendiri kurang lebih 100 kali. (cnnindonesia.com, 30-08-2023).

Pencegahan Kekerasan Seksual tak cukup hanya dengan Peran Keluarga

Ini pun didukung dengan fakta lain dari lingkup keluarga, Kepolisian Polres Buleleng, Bali, menetapkan tiga orang tersangka pencabulan terhadap bocah perempuan (7 tahun), dimana terjadi di Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali. Ketiga pelaku merupakan orang dekat korban, PD (80) yang merupakan kakek korban, KM (30) paman korban, dan KA (43) tetangga korban. Ironisnya, korban pun mengidap penyakit menular seksual (PMS) yang diduga kuat ditularkan oleh paman korban (KM). (muslimahnews,02-09-2023).

Terkait fakta-fakta yang terjadi diatas, tentu bukanlah merupakan kesengajaan atau akting bak aktor dan aktris yang memainkan peran dalam sebuah drama keluarga. Justru ini adalah kiamat kekerasan seksual yang masif terjadi dilingkungan keluarga, sasarannya pun tak lain adalah anak atau keponakan yang masih sedarah dengan para pelaku. Tentu ini bukanlah hal yang patut dilumrahlisasikan kepada masyarakat umum, seolah-olah kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup keluarga merupakan sesuatu yang sudah biasa terjadi, sehingga orang lain pun patut untuk menirukannya. Justru fatal akibatnya dan bisa menimbulkan kerusakan berkepanjagan.

Seperti api yang bila disiram dengan bensin, tentu akan semakin menyebar dan merusak apa yang dibakarnya, ini pun sejalan dengan kekerasan seksual yang terjadi hari ini. Lalu peran keluarga adakah?. Justru peran keluarga disini hanya menjadi sarang kerusakan bagi anggota keluarga lain. Yang tentu didasari pada beberapa hal ; Pertama, Tidak adanya aturan yang membuat masyarakat jerah dengan perbuatan asusila, ini pun yang menyebabkan masifnya kekerasan seksual dalam keluarga. Kedua, Tidak adanya peran negara sebagai pelindung dan juga pengontrol masyarakat, yang hari ini hanya diwakilkan oleh UU TPKS yang faktanya tak berpengaruh dalam menghentikan kekerasan seksual.

Melihat kondisi hari ini saja, data dari Komisi Perlinduangan Anak (Komnas PA) selama 2023 menerima 2.739 laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Yang jumlah pun terus mengalami peningkatan. Parahnya lagi sebagian besar pelakunya (52%) adalah orang terdekat dalam lingkup keluarga. (muslimahnews, 30-08-2023).

Maka jelaslah bawa peran keluarga bukanlah salah satu solusi dalam menyelesaikan persoalan besar ini. Terlebih korban yang paling banyak adalah keluarga sendiri. Sebab kekerasan seksual hadir dan bersarang dalam setiap individu yang ada didalam keluarga yang tanpa disadari melakukan tindakan asusila dengan merugikan banyak pihak. Pun pada aturan yang mencegahnya, seperti mengunyah permen karet yang manis, lama-kelamaan permen itu hilang manisnya setelahnya tak dapat dimakan lagi sebab rasanya sudah hambar. Artinya bahwa aturan yang ditetapkan dalam mengatur kekerasan seksual hanya sebagai formalitas dibagian awalnya saja, setelah tahun berganti aturan tersebut tak efektif lagi dijalankan, yang lebihnya hanya meninggalkan barisan kalimat tanpa ada tindakan yang berkeadilan bagi para pelaku bejat. Pun pada peran negara yang hari ini tak memberikan andil apapun dalam pengawasaannya, sementara hal tersebut adalah tugas utamanya.

Buah dari Sistem Sekuler

Segala kerusakan yang terjadi tanpa ada solusi sejati, bagaikan penyakit tumor yang kian ganas, sedang obatnya hanya berupa penawar sesaat. Pun yang terjadi pada manusia hari ini, sudah tak sesuai akal pikiran dari manusia yang normal. Bila mengikuti hawa nasfu tentu hanya akanmelahirkan kecacatan dan kerusakan peradaban dari sebuah masyarakat. Terlebih tindakan asusila itu menyerang keluarga sendiri.

Karna peran keluarga bukanlah solusi menutup celah kekerasan seksual dalam lingkup keluarga. Yang sejatinya tak cukup hanya keluarga , namun butuh peran nyata Negara dan masyarakat. Apalagi persoalan mendasar adalah adanya sistem yang rusak yang membuka peluang terjadinya kekerasan seksual pada anak. Selain itu lemahnya  penegakanhukum  juga mengakibatkan  korban tidak mendapatkan keadilan yang sesuai.

Sistem sekuler adalah buahnya, ketika kerusakan masif terjadi bukan tersebab orangnya, melainkan sistem yang mengaturnya. Meski tatanan masyarakatnya baik, namun ketika sistem yang mengaturnya tak baik dan benar maka percuma hanya melahirkan bibit-bibit parasit yang justru menimbulkan kerusakan dan masalah tanpa solusi.

Terlebih dengan dukungan sistem hari ini, segala media bisa diakses sebebas-bebasnya, dari umur balita sampai yang berambut putih pun bisa mengaksesnya. Hal ini pun disebabkan pada beberapa hal ; Pertama, pola pikir yang hari ini dipakai oleh masyarakat terbilang bebas, (liberal) melakukan aktivitas apapun dan semuanya tanpa ada hukum yang melarang dibalik perbuatan tersebut. Kedua, adanya pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme) yang pada hari ini sistem yang dipakai merupakan sistem demokrasi yang membebaskan apapun tanpa larangan. Maka wajar bila sekuler melahirkan kerusakan bukan perbaikan.

Hal ini pun sejalan dengan media sosial yang salah penggunaannya dalam berbagai usai, ini yang menjadi dasar bagaimana kekerasan seksual bisa terjadi didalam lingkup masyarakat. Tontonan tak sesuai disediakan oleh sistem, mulai dari pornografi, pornoaksi yang secara langsung telah tersedia disetiap handphone masing0-masing individu. Ironisnya tidak adanya pemfilteran media bagi si penikmat tontonan, sehingga mengarahkan setiap individu tak mengenal mana yang halal untuk di tonton dan mana yang haram.

Ini pun tak memandang usia, yang dimana lebih banyak menyerang anak-anak dibanding orang dewasa, terlebih tidak adanya pendampingan secara langsung dari orang tua terkait media yang ingin di akses oleh anak, membuat anak menjadi korban. Sampai pada akhirnya konten yang ditonton anak membekas dan meninggalkan perilaku yang amoral dan bahkan anarkis tersebab buah dari media tersebut. Parahnya nafsu pun sebagai pendorongnya yang akan fatal akibatnya ketika tontonan tersebut membuat anak melampiaskan kepada teman sejawatnya.

Islam : Solusi tanpa Masalah

Masalah tidak akan teratasi ketika sifatnya hanya berasas pada manfaat lagi kadaluwarsa, karna pada dasarnya masalah itu hadir ketika apa yang diperbuat tak sesuai dengan pola pikir, pola sikap yang mengantarkan pada masalah itu muncul, pun solusi yang diberikan hanya bersifat sementara, lalu selesai ?, tentu bukan seperti itu penyelesainnya. Terlebih yang dilakukan adalah tindakan asusila yang merugikan banyak pihak dan juga individu yang mengalaminya.

Dalam Islam, segala tindak tanduk perbuatan manusia ada aturan dan adabnya, semuanya didasarkan pada halal-haramnya perbuatan tersebut. Pun dalam mengatasi berbagai masalah, ada solusi yang mustanir dengan berbagai kebaikan dan keberkahan yang didapat. Seperti halnya madu, meski diambil dari sarang lebah yang ganas dan berbahaya, namun menghasilkan khasiat madu yang bermanfaat untuk banyak orang.

Adapun terkait dengan Media maka akan dikontrol langsung oleh negara selaku pembantu rakyat dalam menjalankan kebijakan. Tentunya Media akan dikontrol yang sejalan dengan visi menjadikan masyarakat hidup untuk beribadah. Sehingga semua yang ditayangkan akan disesuikan dengan visi hidup ini. Adapun berkaitan dengan tontonan yang tidak sejalan dengan mewujudkan visi hidup maka akan dijauhkan sejuah jauhnya dari masyarakat, agar tidak terbentuk masyarakat yang rusak dan merusak.

Hal ini pun sejalan dengan Islam yang melarang kemaksiatan dan memiliki sistem sanksi yang tegas sehingga keadilan terwujud nyata. Sebab dalam menanggulangi kekerasan seksual, Islam memiliki tiga pilar, yang dimana tiga pilar tegaknya aturan akan menjadikan upaya pencegahan terwujud nyata dan terjaminnya perlindungan bagi semua warga negara.

Pertama, Individu yang bertakwa, ini tentu lahir dari keluarga yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan didalam berkehidupan. Sebab ketika keluarga yang terikat dengan syariat kaffah tentu akan meahirkan individu-individu yang saleh tentunya yang engan bermaksiat. Maka inilah yang akanbisa melindungi anak-anak dari kejahatan kekerasan seksual, sampai menutup celah munculnya predator seksual dari keluarga.

Kedua, Masyakarat yang memiliki pemikiran dan perasaan Islam sehingga aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah bagian keseharian mereka, yang dimana ini didapat dari syariat Islam. Karena dengan aktivitas tersebut tidak akanterbentuk sikap individualistis yang mendiamkan perkara rusak, inipun menjadikan mereka yakin bahwa mendiamkan kemaksiatan sama seperti setan bisu.

Ketiga, Negara yang menerapkan sanksi tegas sehingga keadilan hukum akan tercapai. Dengan hadirnya negara dalam memberikan sanksi secara menyeluruh, tentu akanterwujudkan ketegasan bagi para pelaku asusila tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sebab sistem sanksi dalam Islam sendiri  berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Artinya ketika ada orang lain yang bukan pelanggar hukum atau baru akan melakukan kemaksiatan ia akan tercegah untuk melakukan tindak kriminal tersebut dan sanksi yang didapatkan bagi pelanggar hukum tersebut dapat menebus dosanya.

Dengan demikian, aturan Islam sejatinya memberikan solusi bukan janji atau aturan yang tak pasti, terlebih banyak berdalih sana-sini. Namun sistem Islam mampu mewujudkan perlindungan yang hakiki dan juga sempurna bagi warga negaranya dari berbagai tindakan kejahatan asusila. Maka wajar apabila sistem yang lahir dari pemikiran manusia sepatutnya hanya melahirkan kerusakan demi kerusakan dengan solusi yang seadanya, tapi pada akhirnya tetap merajajela kejahatannya. Sementara Islam lahir dari pencipta yang pada dasarnya memberikan solusi pasti bagi semuanya, dengan berkaca pada peradaban terdahulu dengan melahirkan keberhasilan 12 abad lamanya.

Khatimah

Bukan aturan, bukan pula kontroversional, melainkan ajaran yang dibiarkan terlelap dalam pikiran, hingga akhirnya melahirkan kerusakan yang tak terelakan. Pun pada kekerasan seksual, sejatinya hadir atas dasar sebab pembiaran dan bukan periaya’an. Maka amar ma’ruf nahi mungkar adalah solusi dalam memotong rantai kekerasan seksual yang terjadi, ketika aturan manusia banyak berdalih tanpa ada arti. Wallahu a’lam bishawab