YOGYAKARTA — Pakar kesehatan mengingatkan bahwa perang melawan suatu wabah bisa memakan waktu hingga ratusan tahun. Program vaksinasi hanyalah sebuah awal dari perjalanan panjang tersebut. Pasalnya, dibutuhkan tiga tahap untuk yang harus dilakukan dalam upaya melawan wabah, yaitu pengendalian, eliminasi (pengurangan), dan eradikasi (pemberantasan).
Butuhnya waktu hingga ratusan tahun tersebut terlihat dari kasus cacar. Penyakit yang menelan korban hingga 300 juta orang di dunia itu membutuhkan waktu hingga 200 tahun lebih untuk memberantasnya.
“Penyakit cacar itu sudah kita eradikasi. Sudah tidak ada lagi di Bumi ini, orang sakit cacar. Bukan cacar air ya. Tetapi berapa tahun terjadinya eradikasi? Cacar itu muncul dari tahun 1700, tereradikasi di tahun 1977, jadi 200 tahun lebih,” ujar dr Siti Nurul Qomariyah, M Kes, Ph D, dalam diskusi KONGA, Alumni Fakultas Kedokteran UGM angkatan 84. Siti Nurul Qomariyah adalah peneliti dari John Hopkins Program for International Education in Gynecology and Obstetrics (Jhpiego).
Jadi kondisi wabah virus corona di dunia saat ini, katanya, masih dalam tahap awal, yaitu pengendalian.
“Menurut saya, kita ini sekarang baru berada di tahap pengendalian. Itu artinya kita menurunkan kasus sampai tingkat yang bisa diterima. Artinya bisa diterima itu rumah sakitnya cukup, dokternya enggak kecapekan, perawatnya enggak kecapekan, dan sebagainya,” kata Siti Nurul.
Tahap pengendalian penyakit itu, kata Siti Nurul, bisa menjadi perjuangan panjang. Dalam sejumlah kasus, ada upaya yang menurun ketika dalam tahap eliminasi, sehingga memungkinkan penyakit itu muncul lagi. Padahal, syarat menghentikan penularan secara total adalah melawannya sampai benar-benar berhenti. Banyak penyakit menular yang sampai saat ini belum mampu diberantas di seluruh dunia.
Pentingnya Vaksinasi
Lebih lanjut Siti Nurul menjelaskan bahwa keberhasilan dalam tahap eradikasi (pemberantasan -red) pada penyakit cacar seperti yang disebutkan di atas adalah dengan melakukan program vaksinasi massal di Indonesia. Bagi generasi tahun 70-an, dimungkinkan masih menerima vaksinasi yang meninggalkan bekas abadi di lengannya.
Ditambahkannya kunci keberhasilan program vaksinasi adalah partisipasi masyarakat. Hal ini tak lepas dari tujuan utama program tersebut adalah membentuk kekebalan kelompok atau herd immunity. Butuh kondisi di mana sekurangnya 70-80 persen anggota masyarakat sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19. Caranya, menurut Siti Nurul, adalah masyarakat harus menerima vaksin atau dalam skenario lain, tertular virus itu sendiri dan sembuh.
Namun, sebagaimana pakar lain, Siti Nurul juga menekankan vaksinasi bukan lah segalanya. Protokol kesehatan masih harus diterapkan pasca-tindakan ini. Dalam kasus lain, vaksinasi juga tidak bermakna menghapus kemungkinan tertular sama sekali. Dia menjelaskan, dari penelitian manapun tidak bida diciptakan efikasi sampai 100 persen. Artinya, tetap muncul kemungkinan seseorang yang sudah divaksin, tertular oleh virus itu di waktu berbeda.
“Itu tidak hanya terjadi pada vaksinasi Covid, pada vaksin apapun, mau campak, diphtheri, tetanus. Yang divaksin campak pun masih ada yang sakit campak. Jadi, tidak istimewa bahwa vaksinasi Covid juga ada yang masih lolos. Kan diperlukan reaksi tubuh untuk membuat antibodi,” tambah Siti Nurul.
Peran Dokter Strategis
Pembicara lain dalam diskusi ini, Dr. dr Fx Wikan Indrarto, Sp A menekankan peran penting tenaga kesehatan dalam memberikan edukasi bagi masyarakat. Edukasi itu khususnya terkait posisi strategis vaksin dalam perang melawan Covid-19. Karena itu, ujar dokter di RS Panti Rapih Yogyakarta ini, dokter secara etis tidak boleh menolak program vaksin.
“Memang pengurus Ikatan Dokter Indonesia sudah mengigatkan kita semua, para dokter secara etika, bertanggung jawab untuk menuyukseskan program pemberian imunisasi ini. Kalau dokter terlibat dalam kelompok anti vaksin, itu tentu tidak etis,” ujar Wikan.
Program vaksinasi disusun menurut strategi tertentu, tambah Wikan, karena perang melawan Covid-19 harus ditata dengan baik, bukan sebuah perang yang brutal. Pemilihan tenaga kesehatan sebagai penerima vaksin pada tahap pertama, yang juga juga berlaku di mayoritas negara adalah salah satu penataan strategi itu. Di luar persoalan siapa yang divaksin, strategi juga diterapkan mengingat ketersediaan vaksin itu sendiri.
“Untuk saat ini, semua negara berlomba-lomba untuk membeli vaksin yang jumlahnya masih terbatas. Beruntung Indonesia sudah melakukan negosiasi jauh hari sebelumnya, sehingga pada saat ini iin sudah keluar,” tambah Wikan.
Warga Masih Ragu, Ormas Dorong Vaksinasi
Terkait masalah vaksin, saat ini banyak keraguan yang timbul di masyarakat terkait hal tersebut. Sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan jaminan keamanan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak serta merta disambut antusias oleh masyarakat. Hal itu setidaknya diungkapkan oleh seorang warga Yogyakarta, Bayuardi, ketika ditanya VOA apakah mau menerima vaksin atau tidak.
“Masih bingung mau apa enggak, cuma kalau sudah banyak terbuki tidak masalah saya sih oke-oke saja. Paling tidak ada pembuktian dari tokoh masyarakat, pejabat pemerintah yang sudah divaksin dan oke oke saja,” ujarnya.
Kontras dengan hal tersebut, jaminan halal dan keamanan yang diberikan oleh MUI dan BPOM malah mendorong organisasi keagamaan ikut mengkampanyekan vaksinasi. Wakil Ketua PW Nahdhlatul Ulama (NU) DI Yogyakarta Fahmy Akbar Idries menyatakan, vaksin adalah bagian dari usaha untuk melawan penularan virus Covid-19.
“Masyarakat tidak perlu takut, dan sudah dijamin pemerintah dan ini vaksin yang menyehatkan dan sudah dibuktikan. Tidak perlu termakan oleh berita-berita yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah pasti sudah memikirkan semuanya untuk masyarakat,” kata Fahmy di Yogyakarta.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga menyatakan mendukung pelaksanaan vaksinasi, sebagai bagian upaya penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Setelah semua kaidah keamanan, keefektifan, dan kehalalan vaksin terpenuhi sesuai standar BPOM dan MUI,” kata Ketua PP Muhammadiyah, dr. H. Agus Taufiqurrohman, Sp.S., M.Kes.
Pernyataan PP Muhammadiyah ini disampaikan dalam surat resmi yang dikeluarkan di Yogyakarta. Ada beberapa catatan yang disampaikan menyertai dukungan tersebut. Menurut Agus, catatan itu antara lain Muhammadiyah mendukung independensi dan transparansi BPOM dalam penentuan keamanan dan tes netralisasi vaksin. Muhammadiyah juga mendukung independensi MUI menjalankan perannya dalam penentuan kehalalan vaksin dan siap menjadi bagian dari proses tersebut.
Muhammadiyah juga meyakini, penanganan pandemi tidak semata-mata diselesaikan dengan vaksin. Karena itu, pemerintah perlu menerapkan strategi komunikasi, edukasi, dan kampanye terkait fungsi vaksin secara tepat. Pemerintah juga harus memastikan proses monitoring dan evaluasi pascavaksinasi.
“Muhammadiyah dengan infrastruktur kesehatan bersama-sama menyukseskan program vaksinasi untuk mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia,” lanjut Agus yang disertai pesan bahwa penegakan 3M (Mencuci Tangan, Menjaga Jarak dan Memakai Masker) dan 3T (Tracing, Testing, Treatment) tetap penting. [ns/ah]
Sumber : voaindonesia.com