Orang-Orang Brengsek Dibalik Minyak Goreng

Catatan: Zacky Antony

Bengkulu 10 Maret 2022

LUPAKAN dulu soal polemik tunda Pemilu. Masalah besar sedang ada di depan mata kita. Kelangkaan minyak goreng semakin menjadi-jadi. Di berbagai kota, ibu-ibu menjerit. Minyak goreng menghilang dari peredaran. Baik di pasar-pasar tradisional maupun di toko-toko ritel modern.

Sudah sangat lama saya tidak turun ke pasar. Mencari berita maksudnya. Kalau ke pasar paling menemani istri berbelanja. Pekan lalu saya turun juga ke pasar untuk mengecek langsung minyak goreng. Saya memasuki sedikitnya 20 toko yang ada di sepanjang Jalan Belimbing, Jalan Semangka dan Jalan Salak. Ditambah toko di dalam Pasar Panorama. Hasilnya? Minyak goreng nihil. Sampai hari ini.

Lonjakan harga minyak goreng sudah terjadi sejak Januari 2022. Harga per liter mencapai Rp 19.000 – Rp 24.000 per liter. Pemerintah melakukan langkah pengeremen dengan menetapkan HET (Harga Eceran Tertinggi). Per 1 Februari 2022, HET terbaru minyak goreng curah ditetapkan Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.

Dengan HET terbaru ini, harga minyak goreng diharapkan terkendali dan stabil pada kisaran Rp 14.000 per liter. Harga itu dinilai normal dan terjangkau.

Namanya perdagangan, pembatasan harga berdampak pada distribusi. Sejak penetapan HET terbaru itu, distribusi minyak goreng ke pasar tradisional dan toko-toko ritel macet. Dan akhirnya betul-betul menghilang. Menurut keterangan petugas di sejumlah toko ritel modern di Kota Bengkulu, memang tidak ada distribusi minyak goreng masuk ke toko. Stok di gudang? Kata si petugas juga kosong. Tapi wallahualam. Karena belum terverifikasi.

Melihat antrean panjang ibu-ibu untuk mendapatkan minyak goreng, memori saya melayang ke tahun-tahun awal setelah reformasi. Saat itu saya sering kebagian tugas redaksi untuk meliputi kelangkaan minyak tanah. Antrean mengular di mana-mana. Ibu-ibu menjerit. Sering dijumpai pemandangan, ibu-ibu antre sambil menggendong anak. Oh.. negeriku.

Para oknum penimbun minyak tanah adalah orang-orang tidak berperasaan. Mereka lupa, rejeki sudah diatur Yang Maha Kuasa. Para oknum penimbun brengsek itu kemudian kehilangan objekan. Zaman berubah. Orang-orang lalu beralih ke elpiji. Masih adakah sekarang yang menggunakan minyak tanah untuk memasak nasi di rumah? Rasanya sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit.

Hari-hari ini, di awal bulan Maret 2022, pemandangan antrean itu muncul lagi. Suara jeritan ibu-ibu mencari minyak goreng sudah serak. Di Bengkulu, antrean minyak goreng berakhir ricuh. Ribuan emak-emak yang memadati operasi pasar di Jalan Belimbing dan Jalan Gandaria Pasar Panorama saling berebutan. Kericuhan juga terjadi di berbagai daerah seperti Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumsel dan masih banyak lagi.

Para oknum penimbun minyak goreng, orang-orang brengsek itu menunggu isu liar pencabutan HET (Harga Eceran Tertinggi) oleh pemerintah. Jika HET dicabut, mereka bisa melepas minyak goreng ke pasar dengan harga keekonomian tinggi. Tapi Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi sudah menangkap sinyal ini dan menegaskan dirinya tidak akan mencabut HET terbaru yang ditetapkan 1 Februari 2022.

Para pelaku industri minyak goreng tentu saja mau meraup untung. Kalau bisa untung sebesar-besarnya. Mumpung sekarang ada momen besar. Menjelang bulan suci Ramadhan dan lebaran Idul Fitri yang tinggal hitungan minggu.

Peran Negara (sekali lagi) diuji dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng ini. Rakyat menunggu, pemerintah bisa berbuat apa? Jangan cuma bisa menarik pajak dan memungut retribusi. Tapi giliran terjadi masalah seperti ini, lamban bereaksi untuk mencari solusi.

Inilah ironi negeri penghasil sawit terbesar di dunia. Tapi rakyatnya menjerit karena ketiadaan minyak goreng. (**)