Oleh : Basri Amin
KALI ini istri saya agak ‘kaget’ dengan urusan bumbu masak. Sekembali dari belanja mingguan di sebuah swalayan lama, ia agak terheran melihat struk belanjanya. Rupanya garlic di botol kecil yang dibelinya cukup mahal. Ia tak menyangka semahal itu. Ia lalu melihat pelan-pelan keterangan di botol bumbu ini. Di labelnya tertulis “diramu di Australia dengan bahan-bahan dari China”. Wah, bumbu impor rupanya!
Globalisasi bumbu melalui jejaring bisnis rasa diam-diam tapi pasti sudah menyerbu kita hari-hari ini. Tak heran kalau kita cenderung makin menyenangi ‘resep dari luar’ dan makanan lokal kita seringkali ditempatkan sebagai objek bagi ‘kerinduan musiman’ atau menjadi resep pelengkap di rumah-rumah makan. Kerinduan itu mengumpul di bulan Suci misalnya, ketika hampir semua jenis makanan lokal-tradisional hadir bersamaan. Kita mencicipinya satu-satu dengan kerinduan yang agak lain.
Tapi, resep-resep lokal kita sebenarnya saling menyeberangi di Nusantara dengan dunia di luarnya. Di setiap pulau yang menyebar, kita bisa menemukan dan merasakan perlintasan tradisi kuliner yang beragam. Tak jarang, dibumbuhi dengan tambahan (identitas) etnis: Masakan Padang, Kuah Bugis, Ilabulo-Gorontalo, Bubur-Manado, Popeda-Maluku, Coto Makassar, Empek-empek Palembang, Soto Madura, dst…dst. Walhasil, Nusantara kita adalah sebuah Nusa-Kuliner.
Kita adalah ‘benua bumbu-bumbu’. Belum yang lain-lain, katakanlah itu camilan, minuman, ramuan, pengobatan, dst. Ribuan tanaman rempah tumbuh di Nusantara, sebagiannya bahkan sulit kita bedakan rasa, aroma, dan bentuknya (Malagina, 2021: 20-21). Inilah semua yang membingkai Nusantara (Indonesia) kita menjadi tersohor dan dinamai “kawasan rempah” di dunia. Melalui itulah pula globalisme awal dan kolonialisme memulai jejaknya di kawasan ini.
Sejak abad ke-14, cengkih, pala, kenari adalah ‘tanaman asli’ di Maluku. Bangsa-bangsa Asia sibuk datang di sana untuk berdagang, termasuk orang Jawa, Arab, India, dan Tiongkok. Uniknya, orang setempat lebih banyak menjualnya di masa itu kepada bangsa luar. Mereka tak begitu antusias mengolahnya menjadi bumbu-masak. Di Jawa sendiri, pengaruh besar rempah-rempah Maluku lebih dominan di pesisir utara. Makanan di Jawa lebih banyak yang manis, akibat “tanam paksa” (tebu) dan dampak pabrik gula di masa kolonial. Di Yogya dan Solo, rempah tidak terlalu banyak digunakan (Tempo, 2014).
Aceh dikenal dengan kekayaan masakannya yang menggunakan banyak rempah. Sejarahnya jelas karena Aceh sekian abad merupakan bandar internasional yang menyambungkan perdagangan rempah Maluku, India, dan Timur Tengah, serta Portugis sejak abad ke-16. Sejak itu, Aceh sangat akrab dengan bunga lawang, cengkeh, jintan, pala, kayu manis, kapulaga (dari India), merica, kas-kas (dari Pakistan), dst.
Orang Minang di Sumatera Barat akrab dengan pemakaian “kelapa” dalam masakan mereka. Etos merantau warganya menempa orang Minang terbiasa membuat makanan yang tahan lama, sebut saja yang terkenal adalah “rendang”. Akrab dengan penggunaan santan, antara lain karena pengaruh India Selatan. Selain dengan bangsa ini, warga Minangkabau juga banyak bergaul dengan bangsa Afrika. Tiga kawasan ini sudah bergaul lama karena kapal-kapal dagang mereka saling mengunjungi sekian abad (koneksi pelabuhannya diuntungkan karena arus dan angin yang menyambungkannya).
Gorontalo, Minahasa, Batak terkenal karena kesukaannya kepada bumbu atau makanan yang “pedas”. Rempah bernama “rica” (cabai) populer di tiga wilayah ini. Jika di Batak dikenal dengan “sambal tuktuk”, di Gorontalo atau Manado sudah lama akrab dengan varian “rica-tumbu, rica-bawang, dabu-dabu iris, dst”. Uniknya karena “cabai” (rica) sebenarnya bukanlah tanaman asli di Sulawesi. Ia mulai akrab di kawasan ini sejak abad ke-16. Pembawa “cabai” adalah bangsa Portugis dan Spanyol yang mulai aktif berdagang ke Maluku dan Filipina, kemudian melebarkan luasan pengaruhnya sampai ke Minahasa dan wilayah sekitarnya. Sejak itu, cabai dan tomat mulai diperkenalkan, ditanam, dan menjadi bagian dari “masakan lokal” di Sulawesi.
Jika saat ini perluasan kuliner “asing” terjadi di kota-kota kita, katakanlah melalui masakan Jepang, Korea, Thai, India, Middle East, ‘Chinese food’, maka itu adalah gejala yang seharusnya kita baca dengan cerdas dan kreatif. Dibandingkan dengan kehadiran “masakan Indonesia” di negeri-negeri itu, nyaris kita tak punya nama, apalagi reputasi. Padahal, kita adalah “negeri rempah, bumi bumbu-bumbu”. Di sisi lain, pergerakan citra dan produk ‘kuliner halal’ belum sepenuhnya merebut ruang-ruang pasar. Padahal, bumbu-bumbu Nusantara kita, pada hakikatnya, adalah “produk halal” –-sebagai karunia Tuhan– yang dititipkan diolah dan dikembangkan buat kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini. Yang dibutuhkan adalah daya cipta kita, kreativitas dan adab kita memperlakukan ‘bumbu Nusantara” itu sebagai warisan keIndonesiaan kita.
Gorontalo, saya kira, tak bisa menghindarkan diri dari persaingan ekonomi kreatif berbasis kuliner itu. Di baliknya adalah kapasitas meracik dan menemukenali ke-lokal-an bumbu dan resep-resep khas Gorontalo (the Taste of Gorontalo). Kita tahu sejak beberapa tahun lalu sudah banyak inisiatif di sektor ini, antara lain yang konsisten dikerjakan oleh ONF-Foundation (Katili, 2015), juga oleh beberapa praktisi-pengolah dan peneliti makanan ‘tradisional’ (lokal) Gorontalo (Napu, 2013, dll).
Pada akhirnya ini bukanlah soal klaim pengetahuan, keaslian bumbu, nama makanan/minuman/sayuran, atau label ke-suku-an dst, tetapi soal bagaimana ke-asli-an itu diteguhkan “standar”nya, agar ada sejenis jaminan dan kekhasan yang bisa kita pertanggung jawabkan kepada konsumen. Bahwa ada “kerahasiaan resep” dan “ramuan” tertentu (modifikasi?), tentulah wajar karena bisnis makanan adalah bisnis yang kompetitif. Ini soal penampakan dan “rasa di lidah”, bukan?
Adakah bumbu atau makanan “persatuan Indonesia?” Nasi kuning adalah contoh yang hampir sempurna. Negeri ini nyaris bisa dipersatukan oleh keberadaan ‘nasi kuning’, demikian ungkap seorang pakar kuliner. Sejak di pagi hari sampai malam, nasi kuning selalu ada. Makanan ini ada di mana-mana dan pengusaha kuliner (nasi kuning) bersaing di banyak ruang. Persaingan “bumbu tambahan”, pola penyajian, taktik ‘kombinasi’ rasa dan pelabelan, amat menentukan bisnis kuliner nasi kuning. Uniknya karena nasi kuning juga akrab dengan ritual keagamaan –bahkan diposisikan sebagai makanan wajib pada tradisi tertentu–.
Di balik ini semua terdapat citra ke-Nusantara-an yang unik karena, di kemudian hari, kedudukan “nasi” begitu terang menandai makanan pokok kita. Begitu juga garam. Kita bahkan impor ribuan ton garam sampai hari ini. ***
Penulis adalah Fellow di Lembaga Kajian Sekolah & Masyarakat (LekSEMA)
Surel: basriamin@gmail.com