Meningkatnya Kekerasan Pada Anak , Tak Cukup Peran Orang Tua!

Oleh : Cindi Aprilian Pakai, S.Ars

Tindak kekerasan terhadap anak di Provinsi Gorontalo tergolong cukup tinggi. Kepala Bidang Perlindungan anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak P3A Provinsi Gorontalo Fatmawati Biki pada Dialog Interaktif RRI menjelaskan, dari 317 kasus tindak kekerasan perempuan dan anak, 202 kasus diantaranya terjadi pada anak-anak. (RRI.co.id, 24/07/24)
Angka kekerasan pada anak di Provinsi Gorontalo mencapai 268 kasus sejak 1 Januari 2023. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) menyatakan masing-masing kasus tersebut terjadi di Kota Gorontalo sebanyak 28 kasus, Kabupaten Pohuwato 31 kasus. Kabupaten Bone Bolango 67 kasus. Sementara Gorontalo Utara 28 kasus, Kabupaten Boalemo 38 kasus, dan tertinggi di Kabupaten Gorontalo sebanyak 76 kasus.

Mirisnya, 180 kasus kekerasan terjadi di lingkungan keluarga, atau mayoritas pelaku merupakan orang terdekat korban. Dalam kasus-kasus tersebut, kekerasan yang dilakukan pada anak terjadi pada aspek Fisik, Psikis, hingga kasus trafficking (jual-beli anak), dan penelantaran. Namun tetap saja, kasus yang paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan seksual pada anak, khususnya antara usia 13-17 tahun terdapat 111 kasus.
(TribunGorontalo.com, 27/09/2023)

Penyebab Utama

Berulangnya kasus kekerasan pada anak menjadi catatan kelam bagi negeri ini. Padahal baru saja memperingati hari anak nasional bertajuk “Anak terlindungi, Indonesia maju” seakan menjadi kado buram bagi negeri dengan terus meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak setiap tahun.

Padahal dengan memperingati hari anak setiap tahun mendandakan betapa besar harapan bangsa terhadap anak-anak sebagai pemimpin dimasa mendatang. Namun kenyataannya anak-anak terus mendapatkan pelanggaran hak berupa kekerasan fisik, psikis, verbal dan seksual. Anak sebagai korban adalah pihak yang paling dirugikan. Di usia muda mereka malah mendapatkan ancaman, kekerasan dan bahkan kehilangan keperawanan. Mirisnya, hal tersebut dilakukan oleh ayah, paman, keluarga dan atau orang-orang terdekat lainnya yang makin menambah tekanan jiwanya hingga akhirnya depresi.

Banyak pihak mencoba menganalisis faktor penyebab munculnya kekerasan pada anak. Umumnya pihak-pihak terkait mengaitkan dengan kemiskinan, pemahaman orang tua, lingkungan (keluarga, masyarakat, dan sekolah), budaya, lemahnya penegakan hukum, serta kurangnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan, menjadi faktor terjadinya berbagai masalah kekerasan pada anak.

Namun pembahasan faktor yang memunculkan persoalan anak selalu terhenti sampai disitu saja. Tidak ada yang membahas bahwa semua persoalan tersebut pada dasarnya adalah kegagalan negara dalam melindungi anak Indonesia. Tidak ada upaya untuk menelaah lebih dalam, peran negara yang minimalis dalam sistem sekuler kapitalisme berimplikasi besar dalam memunculkan kemiskinan, disfungsi keluarga, merebaknya tayangan merusak atau buruknya implementasi hukum.

Khususnya dalam masalah kemiskinan. Sadar tidak sadar negara kita hari ini menerapkan sistem kapitalisme yang memberikan ruang besar bagi para pemilik modal untuk menguasai sumber daya. Sementara rakyat yang sedikit atau bahkan tak memiliki modal makin miskin. Ditambah dihadapkan dengan sempitnya lapangan kerja makin menambah jumlah pengangguran. Kesenjangan makin lebar antara yang miskin dan kaya. Kondisi ini bisa memicu stres orang tua yang berujung pada kekerasan terhadap anak, penelantaran, perdagangan anak, gizi buruk, dan stunting.

Disfungsi keluarga juga adalah akibat penerapan sistem yang salah. Negara kapitalis selalu mempromosikan partisipasi ekonomi perempuan sebagai bentuk pemberdayaan perempuan dalam pembangunan. Akibatnya, para ibu lebih sibuk dengan pekerjaan daripada mengurus keluarga atau pengasuhan anak.
Belum lagi orang tua yang tak memiliki pemahaman agama dan sering melihat tayangan-tayangan pornografi sehingga menuntut hasratnya untuk melampiaskan pada siapa saja termasuk anaknya sendiri, naudzubillah.

Faktor-faktor lain yang memunculkan persoalan anak juga sekedar akibat. Kebebasan yang kebablasan dari cara hidup liberal telah menghalalkan berbagai sarana pada setiap orang untuk melakukan interaksi tanpa memandang lagi akibat yang ditimbulkan.

Begitu pula implementasi hukum yang lemah. Hukum merupakan hasil penerapan demokrasi yang penyusunannya diserahkan kepada keterbatasan pikiran dan akal manusia. Rasa iba manusia membuat hukum rajam, hukuman mati, atau hukuman di hadapan khalayak, ditolak. Akibatnya, hukum menjadi mandul, tidak berefek pencegahan, bahkan tidak membuat jera pelaku kejahatan.

Dengan demikian, berbagai persoalan anak pada dasarnya bukan hanya terletak pada satu problem saja yakni peran orang tua, namun karena problem sistemik yang berantai antara satu masalah dengan masalah lain. Sistem sekuler yang diterapkan hari ini hanya melahirkan kerusakan dan kebobrokan di semua lini kehidupan. Sudah seharusnya sistem ini kita tinggalkan, dan berpindah pada sistem yang memuliakan generasi yang telah terbukti saat diterapkan menghasilkan anak-anak berkualitas. Sistem ini adalah Islam.

Islam Adalah Solusi

Secara sistem, penerapan Islam secara sempurna akan menjamin penghapusan semua persoalan anak. Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiah. Islam juga merupakan akidah siyasi, yaitu akidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan.

Islam memandang penting keberadaan anak karena mereka adalah generasi unggul penerus peradaban. Tentu saja, negara wajib untuk menjamin pemenuhan kebutuhan anak di dalam berbagai aspek. Satu hal yang pasti, anak tidak membutuhkan slogan dan wacana agar haknya terpenuhi dan tertunaikan. Sebaliknya, mereka membutuhkan aksi nyata berupa kebijakan pemerintah yang bervisi mengurus dan melayani urusan rakyatnya.

Pertama, Islam memandang keluarga sebagai tempat mendidik dan melindungi anggotanya, termasuk anak. Anak-anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Ibu berperan menjadi pendidikan awal bagi anak-anak. Sedangkan ayah berperan sebagai pemimpin keluarga. Islam juga melarang orang tua menyakiti anak saat mendidik mereka.

Kebolehan memukul anak hanya setelah anak berusia 10 tahun saat tidak mau diperintahkan untuk salat. Itu pun hanya dengan pukulan ringan yang tidak berbekas, semata-mata bertujuan memberikan pendidikan, bukan menghukum, apalagi pukulan penuh emosi yang menyakiti anak.

Kedua, Islam memberikan aturan berinteraksi dalam keluarga. Seorang istri wajib taat kepada suami asalkan tidak melanggar aturan Allah. Jadi, jika sang suami bertindak salah seperti menggauli anaknya, maka istri harus berani mencegah dan melaporkan. Bukan malah mendukung tindakan suami dengan alasan apa pun. Istri sendiri memiliki kewajiban melayani suami. Dengan pelayanan yang baik, maka suami terpenuhi nalurinya. Hal ini meminimalkan terjadinya pemenuhan yang salah oleh keduanya.

Islam juga memberikan kewajiban bagi suami sekaligus ayah untuk memenuhi nafkah dan melindungi keluarga. Islam sangat melarang setiap insan melakukan pemerkosaan, apalagi kepada keluarga sendiri. Begitu pula negara menyediakan lapangan kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya.

Ketiga, Islam mengharamkan melihat gambar atau video yang mengandung konten pornografi dan pornoaksi. Seorang muslim dengan dorongan iman tidak akan melakukannya. Di sisi lain, negara juga tidak membiarkan siapa pun memproduksi. Dengan begitu, tidak ada sarana-sarana yang memunculkan dorongan seksual.

Keempat, jika masih ada pihak yang melanggar aturan itu, Islam memiliki sanksi yang tegas. Pelaku pemerkosaan akan dihukum sebagaimana ia berzina. Hukuman rajam akan diberikan kepada pelaku yang sudah menikah (muhshan). Aturan ini akan membuat orang jera dan insyaf.

Beberapa pandangan Islam di atas hanya bisa terlaksana manakala Islam diterapkan secara kaffah dalam sebuah institusi negara. Oleh karena itu, jalan satu-satunya menyelesaikan masalah ini adalah kembali kepada Islam kaffah. Wallahualam bissawab.