Kendal, MEDGO.ID – Dinas Perdagangan Koperasi dan UMKM (Disdagkop dan UMKM) Kendal, Jawa Tengah, menerbitkan surat No. 510/266/Disdag, tertanggal 27 Januari 2022. Yang ditujukan kepada para pedagang Pasar Weleri 1, telah menimbulkan kegaduhan.
Kegaduhan tersebut dipicu dimana isi surat tersebut disinyalir bernada ancaman terhadap para pedagang yang tidak mau pindah ke pasar relokasi, tidak akan diberi los dan kios jika Pasar Induk Weleri selesai dibangun kembali.
Kebijakan dari Disdagkop dan UMKM itu mendapatkan tanggapan dari Mukhlisin, anggota DPRD Kendal dari Fraksi PAN.
Menurut Mukhlisin, apa yang telah dilakukan oleh Disdagkop dan UMKM tersebutvadalah sebuah tindakan yang kurang bijaksana yang mencederai rasa keadilan pedagang.
“Pada point tiga, dalam surat itu menyebutkan bahwa yang akan menempati pasar baru Weleri nantinya adalah para pedagang yang mau menempati los di pasar relokasi yang ada di Terminal Bahurekso, padahal jumlah pedagang yang sudah atau mau pindah di pasar relokasi hanya sekitar 35 persen dari jumlah pedagang pemegang kartu kuning”, kata Mukhlisin, Sabtu (29/1/2022).
Itu artinya, lanjut Mukhlisin, ada 65 persen pedagang yang belum pindah. Hal ini mengindikasikan bahwa pemilihan tempat relokasi pasar tersebut dinilai oleh sebagian besar pedagang kurang tepat, dimana sebelumnya juga sudah terjadi pro dan kontra dari para pedagang itu sendiri.
Seharusnya, imbuh Mukhlisin, Dinas Perdagangan Koperasi dan UMKM melakukan dialog lebih dahulu dengan para pedagang Pasar Weleri 1 yang menjadi korban kebakaran karena mereka sudah mengalami kerugian materiil yang besar dan modalpun juga habis. Belum lagi ada beban pinjaman di bank dan beban kebutuhan keluarga.
“Langkah penanganan dari Pemkab Kendal pasca kebakaran juga terbilang lambat dalam memfasilitasi pedagang untuk bisa berjualan lagi, sehingga sebagian besar dari para pedagang berusaha mencari solusi sendiri dengan membuka kios atau lapak di tempat yang memungkinkan, yang dirasa nyaman dan berpotensi laku meski dengan kondisi serba terbatas. Di sisi yang lain, para pedagang adalah kontributor bagi Pendapatan Asli Daerah”, papar Mukhlisin.
Lebih jauh Mukhlisin mengatakan bahwa para pedagang yang belum mau pindah ke pasar relokasi sudah barang tentu mempunyai alasan sendiri yang patut untuk didengar, agar ada solusi yang lebih bijak. Tidak serta merta divonis sebagai pembangkang atau tidak patuh pada pemkab. Mereka itu kan tengah menderita dan baru mulai bisa berdagang di lapak kios pasar yang selatan juga di lapak lainnya yang saat ini lagi proses pemulihan ekonominya.
“Kalau mereka dipaksa untuk segera pindah, apa ada jaminan dari pemkab terkait omset mereka? Kasihan sekali kalau para pedagang pemegang kartu kuning yang tidak pindah ke pasar relokasi nantinya tidak bisa mendapatkan Los atau lapak di Pasar Weleri baru yang akan dibangun nantinya”, tandas Mukhlisin.
Sementara itu, salah seorang pedagang Pasar Weleri 1 yang belum pindah ke pasar relokasi, Nur Purwanto, mengatakan bahwa untuk pindah ke pasar relokasi dibutuhkan biaya untuk penataan lapak juga kios, paling tidak Rp 3-5 juta.
“Pasca terbakarnya Pasar Weleri 1, saya tidak mau larut dalam kesedihan dan mencoba bangkit. Agar bisa berjualan lagi, saya menyewa lapak di Pasar Selatan seharga Rp. 12 juta per tahun, dimana uang tersebut dari pinjaman. Sekarang sudah lumayan dan cukup nyaman, Omsetpun juga mulai ada”, tutur Nur.
Meskipun tempat jualan yang sekarang ini kurang memadai, lanjut Nur, dagangannya laku dan tidak perlu lagi keluar biaya yang memberatkan.
“Apalagi saat ini saya sudah terlilit hutang, sangat tidak mungkin kalau saya harus menambah hutang lagi untuk pindahan”, pungkas Nur. (*).
Pewarta: Adang.