Gubernur yang Otentik

Oleh : Basri Amin

 

GUBERNUR yang otentik mengerjakan agenda masa depan tidak lahir di semua tempat dan di setiap masa di negeri ini. Meski demikian, negeri ini selalu punya contoh dan rujukan. Jazirah Sulawesi mestinya menampilkan pencapaian progresif itu kembali saat ini.

Jika boleh sedikit menoleh ke provinsi tetangga, Sulawesi Utara, kita bisa sedikit menyegarkan bagaimana kedudukan gagasan dan kecerdasan menyerap inspirasi (historis) dalam menapaki masa depan. Gagasan “Indonesia di Asia Pasifik” demikian mewarnai daerah ini. Tak heran kalau Sulut saat ini berhasil menempatkan puluhan Kawasan Strategis Nasional-nya.

Kredit Mobil Gorontalo

Akar pencapaian itu terletak jauh ke belakang dan sudah tertancap lama dalam benak kolektif masyarakat Sulut, khususnya di Minahasa. Meski pada suatu masa di abad ke-19 mereka terbenam dalam ‘pragmatisme’ di masa kolonial, tapi buah-buah pendidikan Barat telah mengantar Minahasa dalam menyusun formasi identitasnya sejak awal abad 20.

Dan pada puncaknya adalah ketika mereka mengalami “bom ekonomi cingkeh”, setelah benturan-benturan regional terjadi ketika elite Minahasa berperan penting pada peristiwa Permesta 1957-1959. Di masa Orde Baru, formasi elite Minahasa (berhasil) tampil di banyak sektor (militer, pemerintahan, pendidikan, media, dunia usaha, dsb).

Adalah Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi pertama (1945-1949). Ia juga sering ditempatkan sebagai “Bapak Minahasa”. Ia adalah sosok pribadi yang kaya bukti dalam karya-karya kehidupannya. Semangat sumekolah telah ia capai ‘puncak’ formalnya dalam rekaman pendidikan dia; patriotisme dan nasionalismenya telah ia buktikan dalam kiprah perjuangannya sejak di Persatuan Minahasa, volksraad (Dewan Rakyat) dan Gubernur Sulawesi (1945-1949).

Intelektualitasnya bagi pencerdasan bangsa yang lebih luas dipersembahkannya melalui majalah Nationale Commentaren dan Penindjauan, dan sebelum itu di Mingguan Menara (1933), serta sebuah buku monumental Indonesia in den Pacific, kernproblemen van den Aziatischen Pacific (Batavia, 1937, 151 halaman). Semua yang ia capai dan cita-citakan sebenarnya jauh berakar dalam filosofi kemanusiaannya yang dalam, Si Tou Timou Tumou Tou (manusia hidup untuk menghidupi manusia lainnya).

Dalam pemahaman banyak penulis, Sam Ratulangi adalah sosok yang berhasil mensintesa dan mentransformasi aspek lokalitas (primordial) dalam bangunan kebangsaan (nasionalisme) Indonesia modern. Membaca semangat ini, Dr. Th. Sumartana memberi formulasi (1997) “…visi nasional harus benar-benar berakar dari kepentingan dan visi daerah. Berawal dari daerah, maka visi nasional dibangun”.

Visi nasionalisme dan gagasan futuristik yang dikembangkan Sam Ratulangi itu akhirnya ikut mendorong apresiasi serius dari kaum intelektual Indonesia George Aditjonro (1985) misalnya, menyebut Sam Ratulangi dalam tulisannya sebagai “Burung Manguni yang Rindukan Deburan Ombak Pasifik”. Lain lagi dengan Dr. Daniel Dhakidae dalam 1000 Tahun Nusantara (2000, hal. 631), ia menyebut Sam Ratulangi sebagai ‘Pijar-Pijar Bintang Kejora dari Timur”.

Mieke Schouten (1981) dalam Minahasa and Bolaang Mongondow, an Annotated Bibbliography 1800-1942 (KITLV, bibliographical series 10, editied by I. Farjon) telah mendaftarkan 17 tulisan Sam Ratulangi yang dilengkapi ringkasan singkat pada masing-masing karangan tersebut. Dari daftar ini cukup jelas bahwa karya tulis Sam Ratulangi lebih banyak tercatat antara tahun 1913-1938. Dalam periode inilah intensitas tulisan Sam Ratulangi demikian mengagumkan. Dialah Doktor pribumi pertama ilmu pasti alam (natuur philosophie) di negeri ini yang piawai menulis beragam topik dengan kredibilitas analisis yang tinggi.

Salah satu idealisme politiknya yang mendasar adalah tentang orientasi politik bernegara di Indonesia. Dalam Risalah sidang BPUPKI (terbitan Mensetneg R.I, 1992) tercatat pendapat-pendapat Sam Ratulangi mengenai konstitusi, dan sistem ketatanegaraan Indonesia.

Salah satu yang begitu eksplisit diungkapkannya adalah tentang posisi daerah dalam sistem pemerintahan: “…Supaya daerah-pemerintahan di beberapa pulau-pulau besar diberi hak seluas-luasnya untuk mengurusi keperluannya menurut pikirannya sendiri, menurut kehendaknya sendiri, tentu dengan memakai pikiran persetujuan, bahwa daerah-daerah itu adalah daerah daripada Indonesia, dari satu negara…”

Argumen di atas sangat valid adanya, terlebih kalau kita merujuk tulisan-tulisan Sam Ratulangi sejak tahun 1929 sebagaimana secara luas dapat dibaca dalam studi David Hanley (1996: 117-140). Ia telah menggunakan kata “desentralisasi” (decentralisatie dalam Staatblad 64 tahun 1919). Demikian kuatnya ‘wawasan kedaerahan’ yang dengan cerdas dijelaskan dan ditampilkan Sam Ratulangi dalam dinamika gerakan nasionalisme Indonesia sebelum kemerdekaan, maka David Hanley (1996) menyebut kondisi ini sebagai ‘regional nationalism’.

Tahun 1937 Sam Ratulangi hidup di penjara selama 4 bulan, dan setelah itu mengalami skors 3 tahun dari Volksraad. Dalam suasana inilah, Sam Ratulagi menulis buku Indonesia in den Pacific yang terkenal itu. Sam Ratulangi telah dengan konsisten sedemikian rupa menggunakan data yang memadai dalam membangun argumentasinya tentang kondisi dunia, khususnya posisi Asia Pasifik dan peranan Jepang yang signifikan secara politik dan ekonomi. Dari segi kewaktuan, pandangan-pandangan politik internasional Sam Ratulangi tergolong jauh lebih visioner dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya.

Gerakan ‘pencerdasan’ yang dilakukan Sam Ratulangi sangat mengagumkan. Betapa tidak, Nationale Commentaren sangat sarat dengan analisa politik, ekonomi dan kebudayaan dengan sengaja ia peruntukkan sebagai sarana pertukaran gagasan para pemikir dan pejuang ketika itu.

Hampir tak bisa diragukan bahwa majalah ini telah sukses menjembatani peran seluruh cendekiawan Indonesia dari berbagai kalangan dengan mutu bahasa yang tinggi dan ulasan-ulasan yang cerdas. Nationale Commentaren dapat terbit sebanyak 215 edisi selama 5 tahun dengan total seluruh halaman sampai akhir terbitan tahun ke-5 nomor 7 sebanyak 4.185, dan dicetak 1500 eksemplar setiap terbitannya. Setelah itu, majalah ini tidak terbit lagi karena dibubarkan penguasa Jepang (Sigarlaki & Manus, 1981; Dhakidae, 2000).

Catatan hari ini hendak (kembali) menyambut seruan (alm) Buya Syafii Maarif (1935-2022) beberapa waktu lalu. Bahwa tokoh-tokoh bangsa kita sebaiknya lebih aktif dan sungguh-sungguh “membaca” kembali warisan gagasan dan keteladanan dari generasi awal Republik ini. Gubernur yang otentik pastilah visioner. Mereka mampu “membaca Indonesia” dan perubahan-perubahan dunia, di Asia-Pasifik terutama. ***

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Pos-el: basriamin@gmail.com