Era Pandemi dan Ketahanan Ekonomi Indonesia

Era Pandemi dan Ketahanan Ekonomi Indonesia

Oleh  Haris Zaky Mubarak, MA

(Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia)

 

Menghadapi resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai pemulihan ekonomi nasional (PEN) dengan agenda strategis yaitu penguatan konsumsi, perlindungan masyarakat terdampak dan rentan akibat Covid-19. Secara serius Pemerintah Indonesia bahkan terus menerus melakukan langkah pencairan uang hingga mencapai Rp 241,06 triliun atau 34,7 persen dari total pagu anggaran negara yakni sebesar Rp 695,2 triliun. Sayang besarnya stimulus ekonomi selama masa pandemi itu masih belum mampu memberikan hasil positif bagi penguatan ekonomi secara nasional.

Kredit Mobil Gorontalo

Berdasarkan data ekonomi terbaru, resesi ekonomi akan melanda Indonesia pada kuartal III tahun 2020. Data ini semakin mempertegas gambaran lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020. Sebelumnya dalam data kuartal I tahun ini, ekonomi Indonesia tumbuh pada angka 2,97 persen dan terkontraksi minus pada angka 5,32 persen dalam kuartal II. Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) telah memproyeksikan laju pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III berada pada kisaran minus 2,9 persen sampai minus 1,1 persen.

Tinjauan Sejarah

Membaca sejarah resesi ekonomi akibat dampak wabah pandemi yang terjadi pada masa Hindia Belanda. Merebaknya wabah pandemi Hindia Belanda sejak abad ke-19 dengan ragam pandemi seperti wabah kolera yang merebak di Jawa pada 1821, wabah pes yang merebak pada 1911 dan pandemi influenza atau Flu Spanyol pada 1918 ditemukan data bahwa kehadiran wabah pandemi dapat mengakibatkan adanya kerapuhan ekonomi secara sistematis. Sampai perkembangan tahun 1929 kondisi ekonomi Hindia Belanda mengalami resesi ekonomi yang sangat hebat.

BACA JUGA :  Bahasa dalam Era Digital: Kebutuhan Baru Generasi Z dalam Pemerolehan Bahasa

Dalam catatan sejarah J.Van Gelderen, La Politique de Crise de Indies  Nèerlandaises (Grotius, 1935) dijelaskan bagaimana setelah perang dunia pertama yang berlangsung dari 1914 sampai tahun 1918 hingga peristiwa merebaknya pandemi flu Spanyol pada 1918 telah membuat terjadinya perubahan ekonomi yang cepat di Hindia Belanda.

Pada masa ini  harga barang ekspor Hindia Belanda mengalami penurunan drastis. Tak ada negara di dunia yang mau membeli barang ekspor dari Hindia Belanda. Sebab negara dunia juga terbelit masalah ekonomi serupa. Barang-barang komoditas menumpuk yang mengakibatkan banyak pabrik dan perusahaan nasional Hindia Belanda merugi. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan tetapnya di kota dan kemudian lebih memilih untuk pergi pulang kampung ke desa.

Sejak terjadi resesi ekonomi 1929, pemasukan Hindia Belanda ikut berkurang. Untuk menghemat pengeluaran, pemerintah kolonial terpaksa memotong gaji pegawainya. Akibat dari resesi ini, pengangguran dan gelandangan di kota terus meningkat. Di desa-desa petani kelimpungan karena mereka harus menampung banyaknya para transmigrasi yang ingin bertahan hidup dan mencari pekerjaan barunya di desa.

Sebagai solusi menghadapi resesi ekonomi akibat perang dunia pertama dan wabah pandemi, dalam catatan Verslag Handel en Nijverheid (1930) pemerintah Hindia Belanda akhirnya mengeluarkan kebijakan taktis melalui perubahan banyak skenario dari sistem kelola ekonomi nasional. Kebijakan taktis tersebut dilakukan dalam bentuk pengurangan pajak, membuka banyak kursus keterampilan, menyalurkan berbagai bantuan tunai dan kredit, serta mendorong lahirnya kedermawanan sosial (filantropi) masyarakat secara swadaya. Resesi ekonomi yang terjadi di Hindia Belanda sebagai akibat dari berbagai wabah pandemi baru berangsur hilang pada 1937 setelah melewati banyak program stimulus pemulihan ekonomi secara besar.

BACA JUGA :  Menyelami Dualitas Emosi : Kecemasan dan Motivasi dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

Mengutamakan Desa

Berkaca dari resesi ekonomi Hindia Belanda, dampak panjang dari sebuah wabah faktanya berpengaruh besar bagi rapuhnya sendi – sendi kehidupan ekonomi masyarakat. Kuatnya wabah Covid–19 pada situasi sekarang begitu mengganggu pemenuhan ekonomi masyarakat. Selama berlangsungnya wabah Covid-19 tak sedikit kalangan masyarakat yang akhirnya tak dapat bekerja dan menjadi korban pemutusan hubungan kerja atau PHK.

Pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini sudah diprediksi oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah sedini mungkin mendeteksi kemungkinan adanya kelesuan ekonomi ditengah pandemi Covid-19 karena terjadi perlambatan sisi belanja masyarakat, investasi, dan perdagangan. Tapi sekalipun sudah dideteksi, pemerintah masih abai dalam menata lintas sektoral dari ekonomi nasional. Kita dapat lihat bagaimana selama masa pandemi,tak ada kebijakan strategis yang dilakukan pemerintah terhadap penguatan ekonomi desa.

Selama pandemi Covid-19,pemerintah semestinya menggerakkan desa sebagai basis utama ketahanan ekonomi nasional. Desa harus diberikan stimulus keuangan yang besar dan diarahkan supaya dapat memacu aktivitas ekonomi nasional yang mengalami stagnasi besar dalam kehidupan kota. Apalagi sejak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada pekan kedua Maret 2020. Pemerintah harusnya bergerak cepat membangun konstelasi ekonomi berbasis desa.

BACA JUGA :  Bahasa dalam Era Digital: Kebutuhan Baru Generasi Z dalam Pemerolehan Bahasa

Ada dua alasan penting mengapa pemerintah perlu menjadikan desa sebagai basis ketahanan ekonomi nasional selama masa pandemi Covid-19.

Pertama, Desa merupakan lumbung dari sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan maritim Indonesia. Keempat sektoral ini secara faktual merupakan sektor unggulan yang paling diprioritaskan selama pandemi karena eksistensi kota secara riil telah mengalami kelumpuhan ekonomi. Saat perekonomian negara sudah masuk dalam zona resesi, tindakan atau kebijakan yang perlu diprioritaskan pemerintah adalah meminimalisir dampak resesi terhadap sistem makro dari perekonomian nasional.

Kedua, Desa merupakan basis dari banyak kebutuhan permintaan atau konsumsi rumah tangga dan daya beli ekonomi masyarakat Indonesia. Kondisi ini jelas membuat desa mampu mengontrol semua tekanan resesi ekonomi yang dimunculkan oleh kota. Saat kota sepi dengan permintaan konsumsi yang besar, Desa mampu menjaga stabilisasi kerusakan ekonomi yang diderita oleh ekonomi kota. Kondisi seperti ini jelas memberi dorongan yang positif bagi eskalasi laju pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat. Dengan demikian, optimalisasi desa merupakan solusi efektif untuk sekarang ini dalam meminimalisir dampak resesi ekonomi yang lebih buruk.