Duta Besar Ukraina Untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, baru-baru ini meminta dukungan Indonesia agar bersuara lebih lantang dan berani membela negaranya. Menurut Hamianin, dukungan moral setidaknya adalah upaya yang paling bisa dilakukan Indonesia.
Dia juga mengatakan Indonesia bisa menolong Ukraina secara lebih nyata lewat bantuan kemanusiaan karena sekarang ini Ukraina sedang menghadapi krisis yang mengancam keberlangsungan hidup rakyatnya sejak invasi Rusia 24 Februari lalu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, Kamis (3/3) mengatakan sikap pemerintah Indonesia terkait persoalan yang terjadi di antara Rusia dan Ukraina sudah sangat jelas.
Dalam pemungutan suara di Sidang Majelis Umum PBB hari Rabu (2/3), sebanyak 141 negara mendukung resolusi yang mengecam agresi Rusia ke Ukraina, 35 negara abstain dan lima negara lainnya menolak, yakni Rusia, Suriah, Belarusia, Korea Utara, dan Eritrea. Indonesia adalah salah satu dari negara yang mendukung resolusi itu.
“Dari penyampaian posisi kita, kita ikut menjadi bagian dari sponsor resolusi tersebut, dan bahkan ikut di dalam proses merumuskan beberapa elemen dari resolusi, menambahkan misalnya elemen mengenai safe passage (jalur aman untuk evakuasi warga sipil). itu merupakan satu butir penting dari resolusi itu sendiri,” kata Faizasyah.
Terkait bantuan kemanusiaan untuk rakyat Ukraina, lanjut Faizasya, pemerintah membahas hal tersebut secara rinci.
Lebih jauh Faizasyah meminta pihak berwenang Ukraina untuk tidak membedakan perlakuan terhadap para pengungsi yang ingin keluar dari negara itu. Masyarakat internasional mengecam Ukraina karena menomorduakan warga kulit berwarna, termasuk yang berasal dari Asia.
Polemik Soal Dukungan Indonesia pada Resolusi DK PBB
Ketika Rusia memulai invasi ke Ukraina 24 Februari lalu, Indonesia tidak pernah secara tegas menyebut nama Rusia. Keengganan itu tampaknya terkait dengan sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Pengamat keamanan internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto menyesalkan hal ini.”Kita tidak perlu menjadi seperti orang-orang yang mencela Rusia hanya karena berpihak kepada salah satu kubu. Itu kan ide dari (politik luar negeri) bebas dan aktif menurut saya. Kita posisi posisi dan secara normal bisa meminimalisir salah sangka dari Rusia,” ujar Nanto.
Nanto menjelaskan ketika Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1955 disepakati bahwa kedaulatan sebuah negara itu adalah norma luhur yang harus dihormati. Indonesia seharusnya bisa menyatakan sikap dengan tegas tanpa mengabaikan ada kompleksitas geopolitik dan persepsi ancaman dalam konflik Rusia-Ukraina.
Nanto menambahkan suatu saat kredibilitas non-intervensi Indonesia akan diragukan banyak pihak karena seolah Indonesia tidak bersikap tegas di saat norma luhur itu dilanggar dalam komunitas internasional saat ini.
Namun sebaliknya Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, menyayangkan sikap Indonesia ketika mendukung resolusi PBB itu Rabu lalu. “Pertama, seolah Indonesia berada dalam posisi sebagai hakim terkait serangan Rusia dan menentukan tindakan tersebut sebagai salah. Padahal dua negara yang berseteru pasti memiliki justifikasi berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional,” ujar Hikmahanto dalam pesan tertulisnya.
Kedua, ujarnya, “dengan posisi mendukung berarti Indoneaia hanya mengekor Amerika dan kawan-kawan.” Padahal sebagai negara yang menjalankan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif seharusnya Indonesia menjaga jarak yang sama dalam perseteruan antara Ukraina dan Rusia, tegasnya. “Indonesia tidak perlu melibatkan diri dalam pertikaian dua negara layaknya AS dkk yang cenderung berpihak pada Ukraina.”
Hal lain yang menurut Hikmahanto membuat dukungan Indonesia pada resolusi itu tidak tepat adalah karena Indonesia seoalah melupakan sejarah. “Di masa lalu Indonesia pernah pada posisi seperti Rusia terkait status Timor Timur (Timtim). Ketika itu narasi yang digunakan oleh Indonesia adalah rakyat Timtim berkeinginan untuk bergabung ke Indonesia (integrasi). Namun oleh AS dkk dihakimi sebagai tindakan aneksasi.”
Ia juga menilai posisi Indonesia di PBB tidak sesuai dengan arahan Presiden Jokowi, yang dalam cuitannya menghendaki “setop perang.” “Maknanya Presiden tidak merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang mewajibkan negara agar menahan diri dari penggunaan kekerasan (perang) dalam melakukan hubungan internasional terhadap integritas wilayah negara lain. Presiden lebih merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB yang mewajibkan negara untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai sehingga tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional,” papar Rektor Universitas Jendral Ahmad Yani ini.
Indonesia Dukung Resolusi PBB
Dalam pernyataannya di Sidang Majelis Umum PBB awal pekan ini, Duta Besar Indonesia untuk PBB Arrmanatha Nasir mengatakan situasi di Ukraina telah mencederai tatanan perdamaian di Eropa Timur. Dia menekankan aksi militer di Ukraina tidak dapat diterima. “Aksi militer di Ukraina mempertaruhkan nyawa warga sipil dan mengancam perdamain serta stabilitas regional dan global,” ujarnya.
Karena itu, Indonesia mendorong perdamaian segera dikembalikan di Ukraina. Indonesia menyerukan kepada semua pihak untuk memastikan solusi damai melalui dialog dan diplomasi. Indonesia meminta semua negara harus menghormati tujuan dan prinsip-prinsip Piagam PBB serta hukum internasional termasuk penghormatan terhadap kedaualatan dan integritas wilayah.
Rusia menyerbu Ukraina sejak 24 Februari lalu. Lebih dari satu juta warga Ukraina telah mengungsi ke negara-negara tetangga di bagian barat untuk menyelamatkan diri.[fw/em/voaindonesia]