Benarkah, Pornografi Pemicu Anak Menjadi Pelaku Kejahatan??

SANGAT Menyesakkan dada, kasus kejahatan Anak terus berulang.Degradasi moral yang melanda anak di bawah umur seperti ini benar-benar tidak bisa diremehkan. Terlebih kasusnya bukan lagi sekadar kenakalan seorang bocah, tetapi sudah menjurus pada tindak kriminal, seperti penganiayaan, pelecehan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Generasi makin mendekat dengan lingkungan kriminal, makin jauh dari ketaatan. Keresahan ini ada manakala membayangkan masa suram generasi kita yang terus berada di pusaran tindak kejahatan alias sebagai pelaku kriminal.


Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020—2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sedangkan 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. Tren yang cenderung meningkat ini sesungguhnya merupakan alarm keras bahwa generasi kita sedang tidak baik-baik saja dan cenderung menuju pada kondisi yang problematik.

Inilah yang dialami seorang gadis Remaja 13 tahun, yang diperkosa dan dibunuh oleh Empat remaja di bawah umur di Sukarami, Palembang, Sumatera Selatan, Satu hal yang perlu perhatian serius adalah Kejahatan tersebut dipicu oleh pornografi. Sebagai mana yang disampaikan oleh pihak kepolisian, berdasarkan pemeriksaan, keempat remaja itu mengaku melakukan pemerkosaan itu untuk menyalurkan hasrat usai menonton video porno.

Inilah ancaman nyata Generasi saat ini adalah Darurat Pornografi. Satu masalah lagi yang perlu dikritisi adalah pelaku kejahatan tersebut hanya direhabilitasi. Menurut informasi dari Polrestabes Palembang telah menyerahkan tiga pelaku pembunuhan siswi SMP di Palembang berinisial AA (13 tahun) ke panti rehabilitasi yang berada di kawasan Indralaya, Ogan Ilir. Ketiga pelaku  ini akan dibina sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 32 dengan status Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).

Kasus Pornografi
Ilustrasi (Foto hukumonline)

”Undang-undang melindungi mereka dari penahanan, mengingat usia dan status mereka sebagai anak-anak,” kata Kapolrestabes Palembang, Kombes Pol Harryo Sugihhartono.

Sangat disayangkan, karena perilaku mereka sudah tindak kejahatan, yang luar biasa memperkosa dan membunuh , dilakukan secara sadar, bukan lagi anak ingusan yang tidak tau apa-apa. Adilkah hukum saat ini ? Inilah juga bukti betapa lemahnya hukum buatan manusia saat ini.

BACA JUGA :  Marak Kasus Asusila Guru dan Siswa, Butuh Peran Negara!!

Darurat Pornografi

Pornografi merupakan salah satu penyebab pemicu terjadinya pemerkosaan. Mereka yang sering terpapar dan mengakses konten pornografi, berasumsi bahwa hal tersebut dapat memberikan mereka pelajaran tentang seksualitas.

Penggunaan internet yang semakin meluas di kalangan anak-anak Indonesia membawa kekhawatiran serius terkait paparan konten negatif. Menurut Aries Adi Leksono, Komisioner KPAI, sekitar 55 juta anak di Indonesia kecanduan pornografi, dan 2,1 juta lainnya terlibat dalam judi online.

 ”Situasi ini sangat memprihatinkan dan berbahaya bagi generasi kita. Indonesia bahkan menduduki peringkat kedua se-ASEAN dalam hal ancaman konten negatif bagi anak-anak,” ujarnya dalam perbincangan dengan RRI Ende dalam acara Pengarusutamaan Gender .Aries menjelaskan bahwa bentuk konten negatif yang sering diakses anak-anak meliputi judi online, pornografi, dan game yang mengandung kekerasan. Ketiga jenis konten ini dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan yang kemudian mempengaruhi kerja otak dan kesehatan mental anak . 

Ia menambahkan bahwa dampak dari kecanduan konten-konten ini bisa membuat anak-anak menjadi tertutup, tidak mau bergaul, dan berisiko terjerumus dalam pergaulan yang menyimpang. Dalam kasus yang ekstrem, kecanduan ini bahkan dapat memicu perilaku menyakiti diri sendiri atau orang lain.

Aries menegaskan bahwa kurangnya pengawasan dan perlindungan dari orangtua terhadap penggunaan internet oleh anak-anak adalah salah satu faktor utama dari permasalahan ini. 

”Orangtua belum memainkan perannya dengan baik dalam mengawasi dan melindungi anak dari konten negatif di era digital ini,” tegasnya.

Dengan meningkatnya kasus kecanduan konten negatif di kalangan anak-anak, KPAI terus mendorong pemerintah dan pihak terkait untuk memperkuat upaya edukasi dan literasi digital bagi orangtua. Langkah ini diharapkan dapat membantu menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan sehat bagi anak-anak. Selain itu, KPAI juga mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan melindungi anak-anak dari dampak negatif teknologi digital. (https://www.rri.co.id/daerah/824614/kpai-5-5-juta-anak-indonesia-kecanduan-pornografi )

BACA JUGA :  Marak Kasus Asusila Guru dan Siswa, Butuh Peran Negara!!

Indonesia darurat ponografi tak terkecuali Gorontalo. Media sosial menjadi pemicu kekerasan seksual di beberapa daerah di Provinsi Gorontalo. Kabupaten Gorontalo menduduki tempat tertinggi kasus kekerasan seksual yang dipicu oleh media sosial, dengan 100 kasus di Provinsi Gorontalo. Di Kabupaten Bone Bolango terjadi 63 kasus kekerasan seksual, 30 kasus kekerasan fisik dan 3 kekerasan psikis. Data kekerasan seksual yang dipicu aktivitas di media sosial ini dipaparkan oleh Yana Yanti Suleman Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2PA) Provinsi Gorontalo.

( https://makassar.kompas.com/read/2024/07/04/170057178/kasus-kekerasan-seksual-dipicu-media-sosial-di-kabupaten-gorontalo-tinggi).

Inilah potret generasi yang makin suram karena kecanduan pornografi yang berujung pada pelaku kejahatan dan bangga dengan tindakannya.

Kapitalisme Sekuler Adalah Akar Masalahnya

Anak sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah problem sangat serius. Persoalan ini sejatinya memberikan gambaran buruknya masyarakat yang berawal dari lemahnya keluarga dan pengasuhan anak demikian pula menggambarkan betapa anak belum terlindung secara nyata. Anakpun kehilangan masa kecilnya yang bahagia, bermain dan belajar dengan tenang.Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama. Namun, kapitalisme membuat peran keluarga ini makin tergerus. Di tengah Kerasnya sistem kapitalisme hari ini, membuat perekonomian keluarga semakin sulit, sehingga seorang Ibu terpaksa bekerja menguatkan ekonomi keluarga. Alhasil, berkurang perhatiannya kepada anak.

Lemahnya pengasuhan ini sejatinya juga menunjukkan lemahnya sistem pendidikan dalam mencetak calon ibu dan calon ayah yang memahami tanggung jawabnya terhadap anak. Akibatnya, pengasuhan tidak berkualitas sehingga anak kehilangan ruang untuk memiliki kesadaran penuh akan nilai-nilai moral. Kegagalan anak memahami nilai moral membuatnya terjerumus menjadi pelaku kejahatan. Apalagi anak yang telantar yang tidak mendapatkan pengasuhan dapat mudah masuk dalam perangkap pornografi. Dalam sistem kapitalisme bisnis pornografi seolah menjadi satu kebutuhan. Keuntungan materi menjadi tujuan utama, kerusakan moral tidak dipermasalahkan. Oleh karenanya, upaya mencegah kekerasan seksual dalam bingkai kapitalisme tidak akan pernah terwujud, malah kerusakan di masyarakat makin parah. Keluarga pun terkena dampaknya, peran dan fungsinya makin samar, bahkan kemudian hilang.

BACA JUGA :  Marak Kasus Asusila Guru dan Siswa, Butuh Peran Negara!!

Semua ini berpangkal pada sistem kehidupan saat ini, yaitu sekularisme kapitalisme yang meminggirkan aturan agama dan menjadikan manfaat sebagai hal utama yang diperjuangkan, tidak peduli dengan dampak kerusakannya.


Hanya Islam Penjaga Terbaik Generasi

Islamlah satu-satunya pengganti yang menyolusi tuntas berbagai persoalan manusia, termasuk kejahatan seksual. Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan dalam seluruh aspeknya, termasuk dalam membina generasi. Pendidikan Islam membangun ketakwaan individu sehingga taat aturan Allah. Demikian juga sistem pendukung lainnya, senantiasa berpegang pada aturan Allah. Sistem informasi akan tegas membentengi umat—khususnya anak-anak—dari konten-konten negatif, termasuk konten porno. Literasi digital akan ditanamkan pada setiap insan.

Sementara itu, negara akan menjaga fungsi dan peran kodrati perempuan sebagai ibu generasi sehingga bisa menjalankan tugas pengasuhan dengan maksimal. Mereka memahami seruan Allah untuk menjaga keluarga selalu taat Allah, sebagaimana dalam QS At-Tahrim: 6,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Sistem Islam itu akan memberikan perlindungan hakiki bagi anak sehingga anak terlindungi dari berbagai kejahatan. Demikian pula akan menjadikan anak senantiasa dalam kebaikan, jauh dari perbuatan buruk, termasuk menghindarkan diri dari perbuatan melanggar hukum.

Definisi “anak” menurut Islam adalah setiap orang yang belum mukalaf (akil, balig, dan punya daya pilih). Mereka tidak terkena sanksi jika melakukan kejahatan/kekerasan, hanya akan di-ta’dib dan orang tua akan ditakzir jika lalai. Jika seseorang sudah mukalaf, meski berusia di bawah 18 tahun, ia tidak lagi terkategori “anak” sehingga bisa dikenai sanksi hukum sesuai jenis kejahatannya.

Semua itu hanya akan terwujud dalam negara yang menjalankan sistem Islam kaffah, . Wallahualam.