JAKARTA, MEDGO.ID – Di tengah-tengah riuhnya wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Republik Indonesia menjadi tiga periode, saat ini muncul gugatan yang dilakukan oleh para pihak tertentu ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan perpanjangan masa jabatan kepala daerah, yang menambah panasnya suhu politik di negeri ini.
Hal itu mendapatkan respon dari anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Guspardi Gaus, yang mempertanyakan apa dasar hukum dari gugatan tersebut.
“Tidak ada regulasi atau undang-undang yang mengatur tentang perpanjangan masa jabatan kepala daerah, dimana masa jabatan kepala daerah bukanlah soal keinginan pribadi melainkan harus mengacu kepada peraturan yang berlaku”, tandas Guspardi, Kamis (14/4/2022). Sebagaimana dikutip dari dpr.go.id.
Lebih jauh Guspardi menegaskan bahwa peraturan yang ada, sejauh ini hanya mengatur soal pembatasan masa jabatan kepala daerah dan tidak ada norma hukum yang mengatur perpanjangan masa jabatan kepala daerah.
Menurut Guspardi, jika kepala daerah melakukan perpanjangan masa jabatan, maka sangat jelas bahwa hal itu melanggar undang-undang yang berlaku.
Lebih lanjut Guspardi memaparkan bahwa masa jabatan kepala daerah diatur dalam Pasal 162 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemerintah Daerah, yang menyebutkan manakala masa jabatan Kepala Daerah (Bupati/Wali Kota dan Gubernur) berakhir dan terjadi kekosongan, maka pemerintah diberi kewenangan untuk menunjuk ASN untuk mengisi kekosongan jabatan itu sampai dengan terpilihnya Kepala Daerah melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
“Kepala daerah yang habis masa jabatannya, bisa menjabat lagi namun harus mengikuti dan terpilih pada pilkada selanjutnya. Jadi, bukan diusulkan atau didasarkan keingunan pribadi dan aspirasi masyarakat”, terang politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Guspardi menambahkan, terkait dengan mekanisme penunjukkan pejabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan jabatan itu apakah bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi atau bagaimana.
“Jika dianggap ada yang bertentangan, silakan saja masyarakat melakukan uji materi terhadap undang-undang yang mengatur tentang hal itu”, pungkas Guspardi. (*).