JAKARTA – Pernyataan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana bahwa ICW menyesalkan sikap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai enggan mengambil alih kasus dugaan suap, yang menjerat jaksa Pinangki Sirna Malasari mendapat tanggapan dari praktisi hukum.
Pengamat dan Praktisi Hukum Syahrir Irwan Yusuf, SH., merespon pertanyaan wartawan tentang perihal sikap ICW yang seolah meragukan Firli Bahuri secara pribadi terkait pengambilalihan kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari Kejagung ke KPK,dia meminta ICW berpikir jernidan bijak bertindak.
“Saya akan terus mengamati dan menelaah pernyataan-pernyataan pihak pengurus/ peneliti ICW tentang proporsionalitas spirit mereka dalam pemberantasan korupsi. Apakah benar-benar obyektif atau malah subyektif dan tendentif…” terangnya, Kamis (3/9).
Syahrir pun siap mengkritik balik ICW. “Jika obyektif pendapatnya saya sebagai praktisi hukum, dan berkomitmen dalam Pemberantasan korupsi sudah tentu akan mendukung. Tapi jika pendapat mereka subyektif dan cenderung tendensius tentu juga saya akan meluruskan bahkan mengkritik balik,”
“Seperti pernyataan tentang meragukan Firli Bahuri secara pribadi, yang juga mungkin meragukan KPK secara institusi dalam mengambil alih perkara suap Jaksa Pinangki, ini sebaiknya pihak ICW jernih berpikir dan bijak bertindak. Jangan seperti terkesan seperti biro iklan pendapat-pendapatnya,” tukasnya.
Dilanjutkan Syahrir, mengutip pernyataan pimpinan KPK, Nawawi Pomolango, bahwa sesuai tugas pokok dan kewenangan KPK dalam hal supervisi perkara atau kasus korupsi mengacu pada pasal 6 huruf d UU No 19 tahun 2020. Begitu juga atas pengambil alihan suatu perkara korupsi dari instansi lain, KPK memiliki kewenangan sesuai pasal 10A berdasar UU No 19 tahun 2020.
“Jadi biarkan saja mekanisme penyidikan berjalan tanpa harus dikedepankan prasangka curiga, biarkan juga para institusi penegak hukum bekerja sesuai kewenangan yang dimiliki berdasar pada peraturan perundangan, termasuk juga KPK,” tuturnya.
Padahal, sebelumnya Firli mengatakan KPK akan mengambil alih kasus Pinangki jika perkara itu tidak selesai di tangan Kejagung. Dia mengatakan, KPK akan bekerja mengambil alih kasus Pinangki sesuai dengan aturan 10A UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.
“Dan kasus itu kita lakukan supervisi untuk penanganan selanjutnya. Tetapi kalau memang seandainya tidak selesai, sesuai dengan Pasal 10A, bisa kita ambil. Saya kira itu,” tandas Firli.
Diberitakan, ICW menyesalkan sikap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai enggan mengambil alih kasus dugaan suap, yang menjerat jaksa Pinangki Sirna Malasari. Perkara yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) itu didesak agar KPK mengambil alih sehingga tidak terjadi konflik kepentingan.
“Sejak awal ICW sudah memprediksi bahwa Komjen Pol Firli Bahuri memang tidak menginginkan KPK terlibat dalam penanganan dugaan tindak pidana korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari di Kejaksaan Agung. Sebab, pernyataan yang bersangkutan beberapa waktu lalu di gedung DPR, pada dasarnya tidak memberikan pesan apapun kepada publik,” kata dalam keterangannya, Rabu (2/8).
Kurnia menegaskan, ada beberapa alasan mengapa KPK harus segera mengambil alih penanganan perkara dugaan korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pertama, proses penindakan di Kejaksaan Agung berjalan lambat.
“Kedua, pelaku dugaan tindak pidana korupsi yakni Pinangki Sirna Malasari berasal dari aparat penegak hukum. Konteks ini relevan dengan Pasal 11 UU KPK,” ucap Kurnia.
Ketiga, suap tersebut dimaksudkan untuk mengurusi fatwa di Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, bagian ini juga relevan jika dikaitkan dengan historis pembentukan KPK yang dimandatkan untuk membenahi sektor peradilan dari praktik koruptif.
Kurnia pun menyayangkan, seharusnya sebagai Ketua KPK, Firli bisa bersikap untuk langsung mengambil alih penanganan perkara di Kejaksaan, dengan atau tanpa persetujuan Jaksa Agung.
“Publik dipaksa untuk dapat memaklumi pernyataan Firli Bahuri. Karena pada dasarnya KPK ingin dibawa fokus pada isu pencegahan, tanpa memikirkan aspek penindakan,” tukasnya. (*)