Oleh: Djudju Purwantoro
Sekjen IKAMI (Ikatan Advokat Muslim Indonesia)
MEDGO.ID- Sehubungan dengan penangkapan dan penahan seseorang, terutama kepada para aktifis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), terhadap Syahganda Nainggolan, Anton Permana, Jumhur Hidayat, dan aktifis KAMI lainnya.
Seiring dengan itu proses penangkapan, sprindik (BAP), penetapan Tersangka dan langsung ditahan, keseluruhannya dilakukan sebelum sehari (24 jam), sesuai pasal 14 ayat (1) KUHP. Kondisi demikian secara legal aspek dan prosedur tidaklah lazim dan sulit untuk dapat dimengerti.
Walaupun penyidik punya diskresi (alasan obyektif) tentang prosedur penangkapan dan penahanan tersebut, tentu caranya tidak bisa serta merta dengan melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) dan KUHAP.
Normanya, penangkapan menunjuk pada seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana. Tindakan penangkapan kepada sesorang, selain tertangkap tangan, tentu dugaan tindak pidananya disyaratkan harus didahului adanya minimal dua alat bukti, (pasal 1 angka 20 l, Jo pasal 17 KUHAP).
Demikian halnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, menyatakan bahwa frasa ‘bukti permulaan,’ yang dimaksud harus adanya ‘bukti permulaan yang cukup’ dan ‘bukti yang cukup’, sebagaimana ditentukan dalam 1pasal 1 angka 14, pasal 17, dan pasal 21 Ayat (1) tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) minimal dua alat bukti tersebut yakni ; Surat, Keterangan Saksi, Keterangan Ahli dan Keterangan terdakwa
Penyidikan kepada para aktifis KAMI tersebut, tampak dilakukan tergesa-gesa, seolah mengejar target. Proses penyidikannya bisa menimbulkan kecurigaan publik, apakah dilakukan sesuai due process of law yang berdasarkan hukum (formal dan materiil),
transparan dan profesional.
Sebelum penetapan Tersangka kepada sesorang, untuk menghindari adanya tindakan kesewenangan oleh penyidik, MK juga memutuskan bahwa proses BAP harus mengedepankan transparansi dan perlindungan HAM.
Seperti diketahui, mereka telah disangkakan dengan pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau pasal 45A Ayat (2) Jo pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal UU ITE tersebut, merupakan delik materil mengacu frasa ‘untuk menimbulkan’. Secara materiil penyidik harus bisa menunjukkan apakah para Tersangka secara nyata dan konkrit (kapan, dimana), telah terjadi/ timbul kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) .
Jadi berdasarkan (unsur SARA) ini menjadi klausul inti, apakah ada wujud atau akibat timbulnya kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu.
Kemudian, Pasal 14 Ayat (2) KUHP, tidak dapat dipisahkan) dengan Ayat (1), seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong,. Apakah para Tersangka juga telah ‘dengan sengaja’ menerbitkan keonaran di
kalangan rakyat.
Polri juga harus menerapkan keadilan yang sama (Equality before the Law) kepada semua pihak, sementara seperti Kasus-kasus ; Abu Janda, Deny siregar, Ade Armando, Sukmawati dll, sampai saat ini tidak jelas juga proses hukumnya.
Menegakkan hukum, tentu tidak bisa dengan cara melanggar hukum dan HAM.