Ironi Hari Guru: Mewujudkan Kualitas Pendidikan di Tengah Persoalan Guru, Sanggupkah?

Oleh: Riska Indriani Malinta

(Aktivis Mahasiswa)

Hari Guru Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November memiliki makna penting bagi masyarakat Indonesia, terutama dalam mengapresiasi dan menyoroti peran penting guru. Di sampaikan bahwa peran guru dalam sejarah umat manusia selalu menjadi fondasi utama dalam membangun masyarakat yang maju. Guru bukan hanya sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai pembentuk karakter, inspirator, dan penjaga nilai-nilai moral. Mereka adalah penerang yang membimbing generasi muda menuju masa depan, memberikan arahan dan harapan bagi kemajuan bangsa.(kemenag.go.id, 24/11/2024)

Perayaan Hari Guru Nasional 2024 mengusung tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema tersebut menggambarkan peran guru hebat yang dengan penuh dedikasi mengabdikan waktunya untuk mendampingi dan membina generasi muda Indonesia, dengan harapan dapat berkontribusi dalam membangun Indonesia menjadi bangsa yang kuat.(Liputan6.com, Bandung 22/11/2024)

Kisruh Masalah Guru

Guru memiliki posisi yang sangat penting dalam duniapendidikan, karena mereka bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan memberikan nilai-nilai moral kepada generasi penerus bangsa. Cerminan masa depan Indonesia terlihat dari kualitas guru di masa kini. Guru yang berkualitas berperan penting dalam membentuk generasi emas. Namun, meskipun peranannya sangat vital, saat ini, para guru tengah menghadapi berbagai persoalan yang rumit dan kompleks, di antaranya yaitu:

Pertama, Masalah gaji yang tidak layak. Di lansir dari mediaindonesia.com – 25/11/2024 bahwa Gaji guru di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Indonesia: Rp2,4 juta – Rp5 juta per bulan (sekitar Rp28,8 juta per tahun). Data ini menempatkan gaji guru di Indonesia menjadi yang terendah dibandingkan dengan negara tetangga. Seperti Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Terlebih kondisi guru honorer yang juga memprihatinkan, banyak di antaranya menerima gaji sangat rendah hingga tidak layak. Sebagian bahkan hanya memperoleh Rp250.000 per bulan, yang dianggap tidak manusiawi.

Gaji yang rendah sering kali membuat guru kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka, sementara tekanan hidup yang mereka alami justru sangat tinggi. Penerapan sistem ekonomi kapitalisme oleh negara memaksa para guru menghadapi biaya hidup yang terus meningkat. Harga-harga barang yang terus melonjak tanpa diimbangi kenaikan gaji membuat banyak guru harus mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup. Seperti, harus mengajar les privat, jualan/berdagang, memilih menjalankan usaha lainnya yang menjanjikan, dan masih banyak lagi job yang di coba oleh guru, Dengan kondisi ekonomi yang menekan seperti ini, tentunya guru tidak dapat fokus dalam menjalankan tugasnyauntuk mendidik generasi penerus bangsa.

BACA JUGA :  Rumus Memilih Dalam Pilkada
Persoalan Pendidikan dan Hari Guru
Ilustrasi (foto pixabay.com)

Kedua, Pandangan rendah terhadap guru. Dalam sistem kapitalisme saat ini, guru tidak lagi dipandang sebagai pendidik yang membentuk generasi secara utuh, melainkan sebagai bagian dari proses produksi dalam sistem pendidikan yang berorientasi pada hasil semata. Pendidikan saat ini cenderung mengabaikan aspek spiritual, moral, dan pembentukan karakter manusia. Justru lebih berfokus pada hal-hal yang bersifat material, seperti pencapaian akademik, nilai ujian, keterampilan teknis, atau hasil yang dapat diukur secara ekonomi.

Hal ini tidak hanya mengurangi makna mendalam dari profesi guru, padahal tugas guru jauh lebih kompleks dan memiliki dampak langsung pada kualitas pendidikan serta masa depan generasi muda. Hal ini juga menyebabkan pendidikan kehilangan esensinya sebagai sarana untuk mencetak individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia dan memiliki kesadaran spiritual.

Ketiga, Maraknya kriminalisasi terhadap guru. Hal ini mencerminkan kurangnya jaminan perlindungan yang memadai bagi para guru, baik dari segi hukum maupun dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Seperti kasus baru-baru ini yang tengah viral, ada guru yang ragu untuk menegur siswa yang tertidur di kelas atau terlibat perkelahian di halaman sekolah karena takut menghadapi hukuman, ada juga guru yang dituduh melakukan kekerasan terhadap muridnya hingga akhirnya dilaporkan ke polisi. Dan seorang guru dijatuhi hukuman tiga bulan penjara karena mencubit siswa yang enggan melaksanakan salat, sementara guru lain mengalami kebutaan permanen setelah diketapel oleh orang tua siswa yang marah karena anaknya ditegur akibat merokok.

Berbagai masalah yang dihadapi oleh guru, mencerminkan bahwa profesi guru tidak dihargai dengan seimbang atau adil, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Baik dari segi materi (gaji dan fasilitas) maupun perlindungan hukum dan sosial. Namun, ini semua cukup menunjukkan adanya ketidak seimbangan antara pentingnya tugas guru dan penghargaan yang mereka terima dari masyarakat dan negara.

Guru Menjadi Korban Sistem Rusak

Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian guru yang terlibat dalam perbuatan kontraproduktif yang merusak reputasi dan integritas profesinya. Mulai dari kisruh guru honorer, bongkar pasang kurikulum, guru terjebak pinjol dan judol, kriminalisasi guru, hingga kasus asusila yang melibatkan guru dan murid. Tindak kekerasan, Tentu inimencerminkan adanya masalah serius dalam sistem pendidikan dan lingkungan kerja guru.

Bagaimanapun, guru adalah korban dari sistem kapitalisme rusak yang tengah eksis di tengah-tengah masyarakat. Profesi mereka tidak sesuai dengan kemegahan slogan-slogan yang sering digaungkan dalam dunia pendidikan. Gaji yang rendah, kesejahteraan yang belum sepenuhnya terpenuhi, ditambah dengan nasib guru honorer yang belum menunjukkan perbaikan berarti, semakin memperburuk keadaan. Lebih parah lagi, guru juga dihadapkan pada ancaman kriminalisasi dari pihak orang tua siswa, yang semakin menambah beban mereka.

BACA JUGA :  Rachmat Gobel ; Pemimpin Inovatif dan Inspiratif

Ketidakstabilan ini tentu akan membuat guru kehilangan fokus, motivasi, atau rasa aman dalam bekerja, sehingga kualitas pendidikan yang mereka berikan kepada siswa pun terpengaruh. Dengan kata lain, masalah-masalah tersebut menghambat guru untuk berfungsi secara optimal sebagai pendidik generasi penerus bangsa. Maka selama sistem kapitalisme eksis, selama itupula kesejahteraan, penghormatan, dan perlindungan terhadap profesi guru tidak akan pernah tercapai.

Islam Menghormati Ilmu dan Guru!

Sangat berbeda dengan sistem Islam dalam memposisikan guru. Sistem Islam yang diterapkan secara praktis oleh negara memiliki aturan tertentu terhadap guru. Islam menghormati ilmu dan pembawanya. Maka, seorang guru dalam Islam mendapatkan jaminan perlindungan terhadapnya dan peningkatan kualitas ilmunya. Ini sebagai bentuk kebijakan negara dalam menghormati profesi guru.Demi mewujudkan peran guru yang mencerdaskan generasi secara optimal, Islam memiliki mekanisme yang tertib dan teratur dalam memperlakukan guru. Di antaranya:

Pertama, Memberikan gaji yang besar. Dalam kitab An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyyah, Dr. Rudhaifullah Yahya Az-Zahrani menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar.

Apabila gaji di konfersi dengan mata uang rupiah, kurang lebih gaji guru saat itu mencapai Rp12,75 miliar per tahun. Sedangkan pengajar Al-Qur’an dan hadis mencapai Rp25,5 miliar per tahun. Dengan asumsi harga 1 gram emas murni sekitar Rp1.500.000.

Az-Zahrani juga menyebutkan bahwa makin tinggi tingkat keilmuan seorang ulama, gajinya makin besar. Imam Al-Waqidi, ulama ahli Al-Qur’an dan hadis paling populer pada masanya, mendapatkan gaji tahunan mencapai 40.000 dinar atau setara Rp255 miliar.

Jumlah gaji tersebut tentu sangat fantastis dan sangat cukup untuk menjamin kesejahteraan guru. Jika guru sejahtera, maka guru akan bisa fokus dan optimal mengajar. Mereka tidak sampai harus kekurangan gaji hingga rela mencari pekerjaan sampingan untuk menutupi kebutuhan.

Apalagi dalam Islam kebutuhan dasar publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan disediakan gratis lagi berkualoitas oleh negara. Maka gaji para guru bisa dikatakan lebih dari cukup jika hanya sekedar memenuhi kebutuhan pokok mereka dan keluarga.

Kedua, Negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, termasuk para guru. Sandang, pangan, dan papan tersedia dengan harga terjangkau. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan tersedia gratis. Hal ini mengkondisikan guru bisa fokus dan optimal pada tugasnya mendidik murid.

BACA JUGA :  Predator Anak Makin Marak, di mana Perlindungan Negara?

Ketiga, Negara memastikan kualitas guru dengan menetapkan kriteria yang tinggi. Terkait kualifikasi seorang guru negara menetapkan kriteria yang tinggi bagi seorang guru. Para guru haruslah orang-orang yang bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki ilmu pengetahuan yang mempuni, disiplin, profesional dan memiliki kemampuan mendidik. Kualifikasi ini akan menjadi seleksi negara dalam men-screening para calon guru sebelum dinyatakan layak mengajar.

Rasulullah Saw. bersabda: “Jadilah pendidik yang penyantun, ahli fikih, dan ulama. Disebut pendidik apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sedikit-sedikit yang lama-lama menjadu banyak.” (HR. Bukhari)

Dengan demikian kebijakan-kebijakan negara terkait penghormatan profesi guru akan memastikan para guru adalah orang-orang yang layak untuk menjadi pendidik, bukan orang-orang yang menyandang status guru namun perbuatannya mencederai profesinya yang mulia. Seperti melalukan bullying, kekerasan fisik dan seksual hingga terlibat judol.

Negara memberikan kebijakan yang mengatur kebijakan kualitas ilmu para guru. Seperti, pemberian secara gratis berbagai fasilitas pendidikan, pelatihan, diskusi ilmiah, penelitian, buku dan sarana prasarana penunjang lainnya sehingga kualitas guru bisa dipertanggung jawabkan.

Keempat, Negara menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam yang bertujuan mencetak output orang-orang yang berkepribadian Islam, yakni orang-orang yang bertakwa, sekaligus memiliki kualitas keilmuan yang tinggi, baik dalam tsaqafah Islam maupun sains teknologi.

Kelima, Negara memfasilitasi para guru untuk meningkatkan kualitasnya dengan berbagai fasilitas pendidikan, pelatihan, diskusi ilmiah, penelitian, buku, dan sarana prasarana penunjang lainnya secara gratis sehingga kualitas guru bisa dipertanggung jawabkan.

Keenam, Dukungan sistem. Di dalam Islam, semua pihak yang terkait dengan pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan negara bekerja sama dengan baik. Ketiganya menjalankan peran masing-masing dengan optimal dan bersinergi mencetak output pendidikan sesuai harapan Islam. Negara mendukung peran guru bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga penerapan sistem pergaulan, informasi, media massa, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak akan ada kasus orang tua yang lepas tangan terhadap pendidikan anak dan menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah/guru, kemudian ketika ada masalah justru menyalahkan guru.

Semua mekanisme ini akan mewujudkan profil guru sebagai pendidik generasi umat Islam. Sebagai hasilnya, umat Islam akan menjadi pemimpin dalam ketinggian ilmu pengetahuan dan kemuliaan akhlak. Itulah sebabnya, ketika dahulu peradaban Islam tegak, banyak orang-orang asing bahkan dari kalangan bangsawan yang ikut bersekolah di Negara Islam. Mereka ingin mencicipi pendidikan yang terbaik pada zamannya. Wallahu’alam bishawab[]