Surabaya, MEDGO.ID — Rencana kenaikan pajak penambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen pada 1 Januari 2025, memunculkan kekhawatiran masyarakat akan efek kebijakan itu terhadap naiknya harga-harga sejumlah barang kebutuhan masyarakat.
Dita Indraswari, pelaku UMKM di Denpasar, Bali, menilai kenaikan PPN akan mempengaruhi harga-harga kebutuhan, khususnya di pusat wisata dunia seperti Bali, yang tidak sebanding dengan kemampuan daya beli masyaraka
“Dengan itu (PPN) kan naik, harga itu naik. Rate gaji di Bali kan tidak setinggi di Jawa. Itu gap-nya besar lho, sedangkan apa-apa, apa-apa kebutuhan-kebutuhan apalagi di tempat wisata, sektor wisata, jauh melebihi Jawa. Jadi, akhirnya kan kasihan juga, akhirnya kesenjangan itu tadi,” katanya.
Sektor bisnis properti juga mencemaskan rencana kenaikan PPN 12 persen di 2025. Sotya Parasto, seorang agen properti di Sidoarjo, mengatakan kenaikan PPN akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat atas properti baru maupun properti lama untuk bisnis. Pelaku bisnis properti, kata Sotya, masih menunggu kebijakan pemerintah yang berpihak pada sektor properti, agar daya beli tidak turun drastis akibat naiknya harga jual properti baru.
“Kami masih, mungkin mensisasati dengan cara memberikan bonus-bonus untuk setiap pemberian properti, tapi sekali lagi itu tidak akan berpengaruh banyak kepada minat orang untuk membeli properti baru, kemudian mereka akan hold untuk membeli properti baru ke depannya,” tutur Sotya.
Kebijakan Seperti PPN DTP
Kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen sebelumnya terbukti menurunkan daya beli masyarakat atas properti. Mengantisipasi hal itu, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan pajak penambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP), sehingga bisnis properti kembali terkerek naik. Sotya berharap, pemerintah mengeluarkan kebijakan serupa pada 2025, bila tetap menaikkan PPN menjadi 12 persen.
“Sebelumnya ketika PPN itu naik dari 10 ke 11 persen, pemerintah ketika itu memberikan kebijakan PPN DTP, pajak penambahan nilai ditanggung oleh pemerintah, besarannya 50 sampai 100 persen. Nah, sebenarnya harapan kami di dunia properti ini, PPN DTP itu akan diadakan lagi, untuk tahun 2025 ketika PPN 12 persen ini akan diadakan,” katanya.
“Jadi, sektor properti terutama property primery dari developer ini akan kembali bergairah. Kalau tidak diadakan PPN DTP lagi, maka sangat lesu dan kemudian penjualan properti akan jeblok,” imbuh Sotyo.
Ekonom: Kenaikan PPN Tidak Efektif
Pengamat ekonomi di Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Surabaya, Aluisius Hery Pratono, menilai kebijakan menaikkan PPN 12 persen itu tidak efektif dan tidak pas momentumnya.
“Dari sisi pemerintah tidak efektif ya, sudah cuma nambahnya 1 persen bikin gaduh, nambah 50 triliun bikin gaduh. Ekonomi kita itu kan didominasi oleh oligarki, beberapa pemain saja. Nah, ada kenaikan 1 persen, sama mereka jadi alasan untuk menaikkan harga. Nah, naiknya itu seringkali lebih dari 1 persen. Pemerintah dapatnya sedikit, tapi efeknya masyarakat nanti kena kenaikan harga yang multiplayer-nya itu terlalu besar,” kata Hery.
Meskipun demikian, Hery berpesan agar masyarakat tidak panik menyikapi rencana kenaikan PPN itu, dan lebih bijak membelanjakan uangnya.
“Naik turun harga itu sebuah siklus ya, jadi ada saatnya harga itu pasti naik, akan turun dan sebagainya. Saran saya sih, tidak usah panik, kalau panik nanti kenaikannya bisa efeknya dari cuma sekadar 1 persen bisa mungkin 10 persen, bisa 20 persen,” katanya.
“Orang panik kan kenaikkannya jadi harga lonjakannya itu bisa harga panik ya. Jadi, kalau supaya kenaikan harga itu tidak panik, ya harusnya masyarakat tidak perlu panik juga, lebih hati-hati saja dalam melakukan konsumsi sesuai dengan kebutuhannya,” lanjut Hery.
Selain sektor informal seperti UMKM, pekerja swasta dan properti, sektor pariwisata dan transportasi juga diyakini akan terimbas terhadap kenaikan PPN 12 persen. Hal itu tidak lepas dari keterkaitan berbagai sektor itu dengan konsumsi atau belanja masyarakat yang turut mengalami kenaikan, bahkan sebelum pajak dinaikkan. [pr/em]