JAKARTA, Medgo.ID — Ketua Dewan Pers, Prof. Azyumardi Azra menilai Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) saat ini sangat berbahaya dan lebih berpotensi memberangus kebebasan pers. Jumat, (15/07)
“Pers tidak bisa lagi memegang peran sebagai kekuatan cek and balance, kekuatan yang bisa memberitakan yang perlu diperhatikan pemerintah, termasuk dalam menyampaikan kritik-kritik kepada pemerintah dari tingkat pusat sampai tingkat paling bawah,” ujar Azyumardi Azra dalam acara jumpa pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta (15/7).
RUU KUHP yang sekarang ini, tambahnya, jauh lebih berbahaya dan lebih berpotensi untuk memberangus kebebasan pers, kebebasan berekspresi.
Ia juga sangat menyayangkan jika sejauh ini proses penyusunan RUU KUHP tidak melibatkan masyarakat sipil dan pers. Menurutnya, Dewan Pers tidak pernah lagi diajak duduk bersama membahas beleid tersebut.
“Pemerintah dan DPR agar kembali mengkaji RUU KUHP serta melibatkan atau mengundang seluruh pemangku kepentingan terkait. Misalnya jika soal pers, maka undang Dewan Pers bersama konstituennya guna membahas kembali pasal-pasal yang kontroversial,” kata Azyumardi Azra.
Dalam kesempatan itu Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana mengatakan ada sekitar sepuluh hingga 12 pasal yang menjadi sorotan, seperti pasal 241, 219, 247, 262, 263, 281, 305, dan 354. Pasal-pasal ini masih ada di dalam RUU KUHP yang saat ini sudah diserahkan kepada DPR oleh pemerintah.
“Padahal, pada tahun 2017 Dewan Pers sudah meminta pasal-pasal tersebut direvisi. Bukannya malah direvisi, pasal-pasal karet atau kontrovesi bagi dunia pers di RUU KUHP malah bertambah,” ungkap Yadi.
Sementara Ketua PWI Bidang Pendidikan PWI Pusat Nurjaman Mochtar meminta DPR untuk segera membuka RUUKUHP kepada publik. Dan meminta DPR untuk melakukan diskusi terbuka dengan para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat pers, sebelum RUUKUHP disyahkan.
“Meminta DPR untuk pro-aktif dalam melakukan penggalangan pendapat dari semua pihak dalam sebuah proses legislasi,” tegas Nurjaman.
Ketua PWI Bidang Pendidikan ini juga mengingatkan DPR agar seluruh perundang-undangan dibuat untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban warga negara tanpa kecuali.
“Mengingatkan DPR bahwa semakin banyak undang-undang yang diyudisial review ke Mahkamah Konstitusi maka semakin buruk proses legislasi di gedung DPR,” tandas Nurjaman. (*)