Mata Uang Rusia Rubel Merosot Anjlok, Pasca Sanksi Ekonomi Dunia

Warga Rusia kini berpotensi menghadapi harga komoditas yang lebih tinggi dan pembatasan perjalanan ke luar negeri karena sanksi-sanksi dari pihak Barat terhadap Rusia atas invasi yang mereka lakukan ke Ukraina, pada Senin (28/2), telah membuat nilai mata uang rubel anjlok, memicu kegelisahan dan mendorong banyak orang mengantre di bank dan ATM.

Rubel anjlok sekitar 30 persen terhadap dolar Amerika setelah negara-negara Barat mengumumkan langkah yang belum pernah diambil sebelumnya untuk memblokir beberapa bank Rusia dari sistem pembayaran internasional SWIFT, dan membatasi Rusia menggunakan cadangan mata uang asing yang besar.

Nilai tukar mulai pulih kembali setelah Bank Sentral Rusia dengan cepat melakukan intervensi.

Tetapi tekanan ekonomi semakin terasa ketika Amerika Serikat menyempurnakan sanksi-sanksi untuk melumpuhkan aset Bank Sentral Rusia di Amerika, atau yang dipegang oleh orang Amerika.

Pemerintah Biden memperkirakan langkah ini akan menimbulkan dampak pada “ratusan miliar dolar” pendanaan Rusia.

BACA JUGA :  Presiden AS Terpilih Donald Trump angkat Scott Bessent sebagai Menkeu

Sejumlah Negara Sasar Bank Sentral Rusia

Pejabat-pejabat Amerika mengatakan Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Jepang, Uni Eropa dan yang lainnya akan bergabung untuk sama-sama menarget Bank Sentral Rusia.

“Kami berada di wilayah yang belum dipetakan untuk memberikan semua opsi sanksi ini terhadap Rusia pada waktu sama di akhir pekan nanti,” ujar Elina Ribakova, Wakil Kepala Ekonom di Institute of International Finance, sebuah kelompok perdagangan perbankan.

“Menjatuhkan semua sanksi ini secara sekaligus akan memberi dampak yang sangat signifikan,” tambahnya.

Warga Rusia yang khawatir bahwa sanksi-sanksi ini akan memberi pukulan yang melumpuhkan kondisi perekonomian mereka, beberapa hari terakhir ini telah berbondong-bondong datang ke bank dan ATM. Media sosial menunjukkan antrean panjang dan mesin ATM yang kehabisan uang.

Warga di beberapa negara Eropa juga bergegas menarik uang dari anak perusahaan Sberbank milik Rusia, setelah bank induk Rusia terkena sanksi internasional.

BACA JUGA :  Jajaki Investasi, Empat Dubes Arab ke Gorontalo

Departemen Transportasi Umum di Moskow akhir pekan lalu memperingatkan warga kota itu bahwa mereka mungkin akan mengalami masalah ketika menggunakan Apple Pay, Google Pay dan Samsung Pay untuk membayar tarif kartu Metro, bis dan trem karena bank Rusia VTB sedang dikenai sanksi Barat.

Sejumlah ekonom dan analis mengatakan devaluasi rubel yang tajam berarti penurunan standar hidup rata-rata warga Rusia. Rusia masih bergantung pada banyak barang impor, dan harga barang-barang seperti iPhone dan PlayStations kemungkinan akan meroket.

Perjalanan ke luar negeri akan menjadi lebih mahal karena rubel akan memiliki nilai lebih rendah dibanding mata uang lain.

Gejolak ekonomi yang lebih dalam akan terjadi dalam beberapa minggu mendatang jika guncangan harga dan masalah rantai pasokan memicu penutupan pabrik-pabrik Rusia karena rendahnya permintaan.

BACA JUGA :  Kebijakan Pemerintah Naikan PPN 12 Persen, Memicu Sentimen Negatif Pasar

Bank Sentral Rusia Naikkan Suku Bunga Utama

Merosotnya nilai rubel memunculkan kenangan buruk tentang krisis sebelumnya. Mata uang itu kehilangan nilai pada awal tahun 1990an setelah runtuhnya Uni Soviet, di mana inflasi dan anjloknya nilai rubel tahun 1997 membuat pemerintah memotong tiga nol dari uang kertas rubel.

Penurunan lebih lanjut terjadi setelah krisis keuangan tahun 1998 di mana banyak deposan kehilangan tabungan mereka. Rubel kembali terjun bebas tahun 2014 karena jatuhnya harga minyak dan sanksi Barat atas aneksasi Krimea.

Pada Senin (28/2), Bank Sentral Rusia menaikkan dengan tajam suku bunga utamanya dari 9,5 persen menjadi 20 persen dalam upaya menopang nilai rubel dan mencegah pemborosan bank. Pihak berwenang mengatakan bursa saham Moskow juga masih akan tetap ditutup. [em/jm/voaindonesia]